Friday, August 19, 2016

REFORMASI KATA: BERAKAR DARI TRADISI SYI’IR DI PESANTREN

Karya bersama Osi Krismonika dan Lintang Kumalasari
Dunia sastra, hingga saat ini masih menjadi dunia yang ‘terasing’ bagi kebanyakan generasi muda zaman sekarang, saat ini mereka lebih disibukan dengan aktivitas ke alay-an dan gadget nya. Mereka terjebak dalam rutinitas yang tanpa batas, yaitu rutinitas keseharian yang membuat mereka ‘malas’ berkarya, apalagi untuk bersastra. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satunya persoalan masa lalu yang banyak membelenggu sebagian sastrawan. Diluar itu, kaum elit dianggap tidak menanggapi kritik para sastrawan dan cenderung tidak mau bergaul dengan mereka. Akibatnya, kebijakan kebudayaan dan terutama kesastraan tidak dapat perhatian yang serius.[1]
Perkembangan dunia sastra bisa dikatakan sedang menemukan momentum baru, apabila kita melihat toko-toko buku disekitar, tentunya akan dengan mudah melihat berbagai karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan hebat. Karya sastra ini berupa roman percintaan,puisi-puisi dan novel-novel yang ber-genre ramaja. Selain media cetak, media online manjadi tempat yang subur bagi pecinta sastra untuk menuntaskan dahaganya. Pada masa ini, kita sering melihat karya-karya sastra diangkat kedalam layar lebar, sebuah kenyataan yang tidak bisa dinikmati oleh sastrawan sekaliber Chairul Anwar sekalipun. Dalam dunia  pesantren, banyak sastrawan yang bermunculan dari kalangan santri yang mashur, hal ini bisa dilihat dari karya-karya penyair Emha Ainun Najib, sastrawan Ahmad Tohari, atau puisi dari K.H Mustofa Bisri.
Dibalik menggeliatnya dunia sastra sekarang, sastra tidak betul-betul menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia secara umum. Dalam dunia pendidikan misalnya, para pelajar hanya memandang sebelah mata dan menganggap dunia sastra tidak penting. Hal ini sudah dikatakan oleh Taufik Ismail sebagai ‘generasi nol buku’. Taufik Ismail membandingkan pelajar lulusan 13 Negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘generasi yang rabun membaca, dan pincang menulis’.[2]
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta tentang karya Ahmad Fuadi, sastrawan muda Indonesia produk pesantren, bahwa novel karyanya yang berjudul Negeri Lima Menara menjadi bacaan wajib bagi beberapa sekolah yang ada di Australia.[3] Pertanyaanya, sudah berapa lembaga pendidikan di Indonesia yang mewajibkan peserta didiknya untuk membaca karya lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor tersebut?

Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
Bila dilhat, pendidikan kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia secara utuh, lahir maupun batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.
Rendahnya tingkat apresiasi generasi muda terhadap sastra hingga kini masih menjadi problematika dikalangan pengamat dan pemerhati sastra. Kalau keadaan ini berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra didunia pendidikan semakin terpuruk dan terasingkan dari hiruk pikuk persaingan antar bangsa. Menghadapi persaingan global ini, dunia pendidikan menempati peran yang sangat penting untuk bisa mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan aspek kognitif, namun juga merambah kedalam aspek afektif dan psikomotor.
Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan karakter yang berbudaya literer berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan. Dunia sastra dan tradisi literer merupakan sarana untuk membentuk karakter suatu bangsa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[4] Buku tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan gambaran mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel Andrea Hirata berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk menuju sebuah kesuksesan.
Dalam dunia pesantren, tradisi sastra sangat kaya. Salah satu model kekayaan tersebut adalah model pendidikan 24 jam, yaitu model pengasramaan yang mengutamakan pendidikan karakter. Dalam prosesnya, dunia pendidikan dipesantren berakar dari intelektualise tokoh-tokoh yang mengarang dan menulis kitab-kitab. Ciri-ciri penting itu adalah tradisi menghafal puisi-puisi berbahasa Arab. Dalam dunia pesantren, sastra menjadi media untuk mengolah rasa, mengolah batin dan mengolah budi, sehingga diharapkan santri memiliki perilaku positif. Melalui karya sastra, santri akan mendapatkan sebuah pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa didapatkan dalam kehidupan nyata.[5]
Selain dapat menjadi media pembentukan karakter, secara umum sastra juga dapat menjadi saluran bagi terbangunnya budaya literer dalam masyarakat. Budaya literer tidak hanya berkenan dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah yang secara teknis serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan sehari-harilah yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer.

Sihir Sastra Pesantren dengan Syi’ir
Dalam dunia intelektual pesantren, tradisi keilmuan berbasis agama berakar dari tanah Arab (Hijaz, Baghdad dan lain-lain). Oleh karena itu, hampir semua sumber sastra pesantren menggunakan bahasa Arab. Di pesantren, para santri mempelajari sastra dengan cara menguasai bahasa Arab agar para santri bisa mempelajari langsung dari sumber aslinya. Dunia sastra pesantren sudah menyumbangkan tokoh-tokoh yang tidak hanya diakui di Indonesia, namun juga didunia (baca: dunia Arab), sebut saja Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani (Palembang) dan Syekh Nawawi al-Bantani (Banten) dan masih banyak ulama-ulama lainnya.[6]
Bila ditelisik, dunia sastra pesantren lebih dekat dengan tradisi sastra puisi (syi’ir). Dalam hal ini, puisi bahkan menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuan didunia pesantren. Puisi-puisi ini tidak hanya dipelajari, namun juga harus dihapalkan oleh para santri, kebiasaan menghapal ini tidak bisa dilepaskan dengan kebiasan puisi yang menjadi satu kesatuan. Sehingga jika santri belajar ‘amrithi atau alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus. Hapalan bukanlah tujuan utama, namun dengan menghapal bisa menjadi dalil argumen suatu saat bila dibutuhkan.
    Salah satu tradisi pesantren yang lain adalah dibacakannya ‘diba, sebuah antologi puisi karya Abdurrahman Ad-Dayba’i yang setiap minggunya akan dibacakan dilingkungan pesantren. Antologi puisi ini biasanya dibacakan pada acara penting, bahkan diba’ ini dianggap ‘magis’ sebagai doa utuk kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Bila dicermati, membacakan puisi untuk sebuah kesembuhan dan keselamtan, bukankah itu sesuatu yang luar biasa?
      Pertanyaan diatas nampaknya bisa dijadikan sebuah refleksi diri, bagaimana signifikannya hubungan kedekatan orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khusunya puisi dalam bingkai keilmuan. Selain itu, orang-orang pesantren juga mempunyai sebuah kompetensi yang mumpuni untuk membuat karangan, baik itu sastra maupun non sastra. Para Kiai dan juga sebagian santri biasa menyusun kitab, baik itu berupa syi’ir/nadham (puisi) atau natsar (prosa). Meskipun tidak semua karya-karya yang mereka hasilkan (sebagian besar) tidak dipublikasikan secara luas, namun terbatas dan tersebar dilingkungan pesantren tersebut.
    Namun, tidak jarang karya ulama pesantren yang melampaui lingkungannya, nama mereka sudah dikenal ke luar negeri. Sebut saja nama Kiai Hasyim Asy’ari dengan karyanya At-Tanbihat al-Wajibat, juga ada Kiai Ma’shum Ali dengan karyanya Amtsilat at-Thashrif. Dalam dewasa ini ada karya-karya Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin belajar ilmu nahwu-sharaf. Karangannya yang berjudul, Audhlahul Manahij, bahkan sudah diakui di negara-negara Arab.[7] Bukti diatas membuktikan, karya-karya pesantren telah banyak menyebar, terutama syi’ir atau puisi.

Pondasi dengan Antologi Puisi: Salah Satu Solusi?
Harapan itu selalu ada. Tidak sedikit generasi muda yang mau dan berani untuk bersastra, sebab masih banyak serpihan ‘mozaik-mozaik’ anak muda yang masih menjunjung tinggi dunia sastra. Bila dilihat, tanpa sadar mereka sebenarnya sering bersentuhan dengan dunia sastra. Salah satu contohnya adalah ketika kita melihat status dimedia sosial. Sebagian dari mereka, entah itu di facebook, twitter, path dan media sosial yang lainnya, status mereka rata-rata puitis dan penuh ‘mistis’, karena banyak dari mereka menuangkan alam pikiran distatus sosialnya, dan banyak kata sajak-sajak mengalir tanpa mereka merasa.
Dari semangat itu, penulis ‘menantang’ mereka untuk menyatukan puisi-puisi kedalam sebuah buku kecil. Untuk mengumpulkan itupun tidaklah mudah, karena membutuhkan waktu yang sedikit menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka yang mau berdamai dengan masalah-masalah dikelas, mereka disatu sisi harus berkutat pada pelajaran dan tugas yang jelas segudang jumlahnya, namun harus mengumpulkan dan membuat karya sastra berbentuk puisi.
Mereka mencoba berolah sastra, belajar membuat dan menuliskan puisi serta mengapresiasikannya lewat bentuk sebuah antologi. Mereka memadukan dan mengimajinasikan, hal ini seusuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shahnon Ahmad bahwa sebuah kata dipadukan, maka akan mendapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pembaca, kiasan dan perasaan yang bercampur baur menjadi sebuah rangkaian kata.[8]
Untuk membuat sebuah puisi saja membutuhkan waktu dan suasana yang mendukung terutama harus mempunyai sebuah tema atau ide. Faktor tersebut harus ada dalam proses pembuatan sebuah puisi, karena untuk mencari tema dan ide itu sifatnya hanya sepintas terfikirkan. Pertanyaanya bagaimana menumbuhkan ide? Ide itu datangnya tiba-tiba, maka kita perlu menyediakan catatan kecil, semisal buku harian atau catatan di smartphone. Ide-ide yang datang tiba-tiba itu, setelah ditulis dalam bentuk catatan-catatan kecil tersimpan maka dibuka lagi ketika kita dalam keadaan yang tenang, dari hasil perenungan ini bisa digali terus menjadi sebuah puisi.
Apalagi dalam kondisi anak muda yang sedang menyemai jati diri mereka. Mereka sedang menumbuhkan apa yang terpendam dalam diri mereka, entah itu tentang pertemanan maupun masalah cinta. Biasanya tema-tema seperti itu yang terlintas dibenak para anak muda. Puisi mereka biasanya merupakan media yang paling tepat untuk terus menuangkan perasaan mereka yang galau ataupun baper (terbawa perasaan). Hal ini bisa berdampak positif, karena secara tidak langsung mereka menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya. Meskipun budaya membaca mereka masih sedikit lemah, karena bisanya puisi yang mereka buat bukan karena dari membaca, namun disebabkan karena pengalaman pribadi mereka yang sudah dialami.
Hal ini meskipun belum lengkap, budaya menulis ini akan diimbangi dengan sendirinya karena mereka setelah mau menulis, biasanya akan ‘terpaksa’ membaca, sehingga budaya yang timbul akan lengkap dengan budaya membaca dan menulis. Kedua aspek ini tentunya akan menumbuhkan karakter mereka menjadi karakter-karakter yang berpotensi membangun bangsa. Namun apabila bakat terpendam mereka tidak di ‘bangunkan’ maka hal ini bisa melayukan semangat budaya membaca dan menulis.
Ada dua hal yang mengancam budaya membaca dan menulis ini, yaitu pertama, vokasionalisme baru, dimana lembaga-lembaga pendidikan hanya menekankan aspek ketrampilan teknis. Semisal, banyak jurusan disekolah-sekolah yang hanya menjuruskan minat siswa namun tidak melihat sisi-sisi yang lain, atau bakat yang ‘tertidur’ mereka. Dan yang kedua, terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya media televisi yang menampilkan budaya-budaya konsumtif dan pragmatis, semisal sinetron-sinetron yang sama sekali tidak ada nilai pendidikannya, yang ada hanya pihak televisi hanya mengejar rating dan pemasukannya, sehingga secara tidak langsung televisi akan membunuh budaya menulis dan membaca.[9] Oleh karena itu, semangat untuk melawan dari serangan-serangan untuk mengkerdilkan semangat anak muda ini harus terus dikobarkan.
Melalui semangat ini, kiranya penulis berusaha terus menjaga tradisi bersastra untuk kaum muda. Sebab, seperti yang sudah dibahas, kebiasaan membaca dan menulis merupakan indikator majunya sebuah peradaban bangsa. Misalkan di negara Jepang, penggunaan media kertas ternyata lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan tisu toilet. Tradisi bersastra ini akan (setidaknya) menjaga agar sedikit usaha menyemai jatidiri mereka terabadikan oleh karya puisi. Sehingga diharapkan generasi sekarang tidak menjadi generasi yang menurut Taufiq Ismail sebagai generasi yang ‘rabun membaca dan pincang menulis’ itu.
Sekarang banyak tersedia berbagai penerbit-penerbit yang mau menerbitkan  berbagai tulisan kita. Hal ini mendorong penulis dan siswa bersama-sama untuk membangunkan budaya literer ini kedalam sebuah buku antologi  puisi. Penerbit yang sudah menerbitkan buku antologi ini adalah Mer-C Publising yang berada di Jakarta Selatan. Cetakan pertama pada bulan Februari 2016, dan ber ISBN 978-602-71073-2-8 dengan judul buku “Retorika Cinta dalam Senja: Antologi Puisi Menyemai Jati Diri”. Sebuah langkah awal dan pemicu bagi bibit-bibit yang berbakat untuk mengembangkan dan mendorong supaya lebih semangat untuk menuangkan semua ide kedalam bentuk tulisan. 
         Meskipun buku antologi ini masih terbatas penulisnya (3 orang penulis), namun setidaknya penulis mencoba menyumbangkan pikiran dan tenaga, untuk tetap membuat ‘lilin kecil tetap menyala dan berubah menjadi kobaran api yang besar’ lewat generasi muda yang berpotensi untuk bersinggungan secara langsung dengan dunia sastra. Akhirnya penulis menyadari bahwa dunia sastra pada umumnya dan sastra pesantren khusunya akan ‘bangun’ dari tidurnya selama masih ada pena-pena anak muda yang berani menerobos dan menuangkan buah pikirannya meski hanya sekedar antologi puisi sederhana. Semoga dunia sastra pada umumnya, dan sastra pesantren khusunya akan terus menggeliat dan mengeluarkan taringnya. Esai ini penulis tutup dengan sepenggal puisi dalam antologi buku Retorika Cinta dalam Senja:

DIMANA CINTA SESUNGGUHNYA?
Cinta, bila kau datang tiba-tiba
Kedekatan jiwa, kecantikan mesra
Rindu nan penuh khayal merajut jiwa
Seisi hati menggenap untuknya
Asa mencinta tuk menyatu sepenuh tenaga
Rasa menjadi hidup hampa
Jika tanpa dia
Cinta, sekarang bila kau tahu
Dasar niat itu dibawah pusarmu
Nafsu raga jadi tujuanmu
Keduannya bersama cinta
Pasangan cinta itu idaman, alasannya
Cinta, sesatkah kamu cinta?
Sesat,! Jika sekumpul alasan akan pecinta
Pola tata krama dianggap tercela
Asal haram jadi halal, cinta untuk pecinta
Cinta, sekarang belum waktunya?
Siksaan adzab selanjutnya
Neraka akibatnya
Apa??? Neraka? Belakang urusannya
Itu masih lama
Cinta, sekarang kamu siapa?
Syariat, dihantam alasan apa saja
Lingkungan, berdukung berduyun mengiya
Keluarga, bila sudah ‘ada’, pasti setuju diterima
Apa??? Neraka? Masih kasat mata
Itu masih lama
Cinta, dimana kamu cinta yang sesungguhnya?
Hanya lewat jalan restu-Nya
Yang bisa memborgol modus cinta
Minta restulah pada-Nya
Semoga petunjuk-Nya
Datang untuk cinta yang sesungguhnya

Purbalingga, 8 November 2013






[1]  Lihat Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April 1979.
[2]  Lihat makalah dari Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[3]  “Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
[4]  Lihat buku Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[5]  Ahmad Baso. 2012. “Kembali ke Pesantren, Kembali ke Karakter Ideologi Bangsa”, dalam Jurnal KARSA, Vol. 20 No. 1 Tahun 2012, hlm 1-20.
[6]  Lihat buku Mastuki HS dan Ishom El-Saha (eds). 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
[7] Em Syuhada, Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 April 2008, online melalui http://www.ronas.sch.id/2015/11/secercah-sinar-dari-lirboyo.html, diakses tanggal 12 Mei 2016.
[8]  Lihat Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
[9]  Yudi Latif. 2009. ibid.., hlm 19.