Saturday, January 7, 2017

Sukarno: Pembentuk Wajah Indonesia

Sukarno dan Indonesia (Sumber Gambar)
Membicarakan salah satu founding father ini, tentu kita akan dihidangkan seorang tokoh yang kompleks. Pada masa muda, harapan orang Jawa menunggu sang Ratu Adil bertumpu dipundaknnya, beliau dijuluku Sang Ratu Jawa Berpeci, yaitu pemimpin tradisional dalam bentuk modern. Berbagai gelar disematkan dibelakang namannya, seperti Pemimpin Besar Revolusi atau Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, atau Panglima Tertinggi.
Tentunya gelar-gelar yang lain masih sangat banyak. Namun diakhir masa jabatannya, banyak catatan sejarah tidak menyenangkan tentang sang proklamator ini. Justru, masyarakat Indonesia yang pada masanya memintanya untuk turun takhta. Sukarno dan sejarah terus berdialektika terus menerus hingga saat ini, ideologi yang dipegang dari zaman muda hingga tutup usia menjadi prinsip nya. Mari sejenak melihat ideologi sang proklamator ini.

Ideologi Sukarno
Ideologi Sukarno sedikit banyak terpengruhi dari proses awal pendidikannya di HBS (sekolah menengah Belanda). Saat menjalani  pendidikanya ini, dia tinggal ditempat HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI), sebuah tempat kos yang dijuluki sebagai ‘miniatur Indonesia’, ini karena ada teman-teman satu kos yang menentukan wajah sejarah Indonesia selanjutnya, seperti Alimin (komunis), Kartosuwirjo (DI/TII) dan lainnya. Setelah lulus HBS, kemudian melanjutkan ke THS (sekarang ITB) untuk menuntut cita-cita serta peranan yang memang beliau inginkan.
Saat di THS inilah, kekuatan membaca Sukarno sangat terpuaskan, buku-buku mengenai nasionalisme, marxisme, sejarah, dan masalah-masalah internasional dilahapnya. Pengaruh buku-buku ini terlihat dari pidatonya dipengadilan tahuan 1930, ‘Indonesia Menggugat’. Pidato ini menekankan tentang hal ironi pada proses pengadilan yang dari awal berjalan sebagai sebuah proses politik kolonial. Banyak tokoh-tokoh yang disebut dari berbagai pidatonya, yang sebagian sarjana Eropa, seperti Karl Kautsky dari Jerman dan Jean Jaures dari Prancis.
Nampaknya pemikiran-pemikiran Sukarno inilah yang membedakan Hatta dan Sjahrir yang tumbuh sebagai hasil pendidikan luar negeri, sedangkan Sukarno tidak sekalipun mengenyam pendidikan luar negeri langsung. Hal inilah yang menyebabkan sosialisme Sukarno lebih terasa ‘ke-Indonesia-an’nya. Makanya Sukarno sering disebut Ideologinya sebagai ‘Sukarnois’. Namun, dasar dari semua itu adalah pemikiran-pemikirannya tentang kritik terhadap Kapitalisme dan Imperialisme.
Tahun 1926-1927, Sukarno tampil menjadi pemimpin politik dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didasarkan pada pergerakan Indonesia yang suram. Ini dikarenakan setelah Sarekat Islam mengalami kemunduran justru karen terbelah menjadi beragai organisasi lain, salah satunya menjadi cikal bakal PKI. PKI inilah yang mengadakan pembrontakan tahun 1928 kepada pemerintah Belanda, meskiupun akhirnya gagal. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri oleh Sukarno, dia melihat kekuatan Islam yang besar namun dicampur dengan semangat perlawanan secara nasional.
Pemikirannya ini dituangkan kedalam buku ‘Indonesia Muda: Nasionalisme, Islam dan Marxisme’, yang berisi tentang nasionalisme sebagai pokok isinya. Pada tulisannya itu, Sukarno mengajak kepada orang Islam dan Nasionalis untuk tidak terkena phobia Marxisme. ‘Saya bukan orang komunis, saya tidak memihak! Saya hanya menghendaki kesatuan dan persaudaraan diantara berbagai gerakan’, begitu ucapannya.
Konsep ini rasanya dihadirkan disaat waktu yang tepat, dimana perjuangan pegerakan sedang dihambat oleh pemerintah Belanda. Dengan berbagai gerakannya, Sukarno akhirnya beberapa kali diasingkan. Dalam pengasingan inilah Sukano mendefinisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut sehingga melahirkan ‘marhaenisme’ atau kekuatan semangat rakyat, senjata paling ampum menurut Sukarno.

Revolusi Belum Selesai
Setelah kenyang dengan pembuangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, Sukarno akhirnya dipertemukan dengan Hatta (yang terkadang dalam beberapa sisi berbeda pandangan) dan mau berkolaborasi dengan Jepang. Kedua proklamator ini akhirnya dipertemukan menjadi ‘dwitunggal revolusi’. Pada zaman revolusi, nampaknya ideologi Sukarno tidak terrealisasi dengan baik. Namun warisan terbesar dari idelogi Sukarno adalah Pancasila, sebuah ideologi yang menyatukan berbagai golongan.
Saat masa diplomasi, Sukarno lebih memilih Hatta dan Sjahrir untuk menjalankan diplomasi dengan Belanda. Sukarno mendukung seluruh perjuangan dengan sistem pemerintahan parlementer, termasuk mendukung diatasinya pembrontakan-pembrontakan dalam negeri, seperti Pembrontakan PKI Madiun 1948. Sukarno berdiri sebagai sosok pribadi yang identik dengan revolusi Indonesia, kharismannya selalu dinanti rakyat dari berbagai penjuru wilayah Indonesia.
Setelah tahun 1950, kemerdekaan Indonesia dicapai dengan bentuk RIS (Republik Indonesia Serikat) yang kemudian menjadi NKRI hingga kini. Sukarno merasa seolah menjadi presiden titipan Hindia Belanda secara sosial politik, seperti pembentukan Uni Belanda-Indonesia. Sukarno menuntut untuk membubarkan Uni. Banyak yang melihat hal ini menjadi suatu ancaman perjalanan stabilitas politik, terlebih setelah 1955 dengan banyaknya partai dan pemberian ruang kepada PKI untuk mendampingi konsepsi Sukarno yang lama diidam-idamkan, NASAKOM. Perbedaan ini yang akhirnya memisahkan dwitunggal revolusi dengan mundurnya Hatta sebagai wakil presiden tahun 1958.
Sebagai pemimpin Revolusi, Sukarno menuntut untuk kembali kepada UUD 45, dengan cara Dekrit Presiden 1959. Dekrit ini dikeluarkan karena macetnya kehidupan politik karena perpecahan partai-partai dan ancaman kup diberbagai daerah. Setelah dekrit itu diikrarkan, praktis Indonesia memasuki babak baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Sistem ini menuntut untuk menggabungkan kekuatan partai dan militer dibawah pimpinan presiden, sang pemimpin besar revolusi.
Kelemahan dari sebuah Demokrasi Terpimpin terletak pada kekuatan Sukarno sendiri, dan beliau sadar bahwa fisiknya tidak abadi. Banyak pihak-pihak yang menunggu andai pemimpin besar revolusi itu terjadi sesuatu. Memang proses itu terus berlanjut, namun hal inilah yang menjadi awal kejatuhannya. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi puncak pecahnya ‘gelas’ persatuan kebangsaan saat itu.
Persoalan saat ini bukan lagi mengenai “siapa Sukarno”. namun yang terpenting adalah “dimana kita memposisikan ideologi warisan Sukarno”. Jasa Sukarno bagi kehidupan kebangsaan saat ini adalah kebhinekaan yang diwariskan untuk selalu dijaga. Karena perjuangan Sukarno sejatinya belum selesai, kita semua yang memperjuangkan cita-citanya, merawat berbagai macam golongan dalam bingkai ke-Indonesia-an.