Monday, January 16, 2017

Mohammad Hatta: Negarawan Dan Cendekiawan



Mohammad Hatta (Sumber Gambar)
TULISAN INI DIMUAT DALAM SATELITPOST EDISI 19 JANUARI 2017
          Mohammad Hatta merupakan salah satu politikus paling berpengaruh di Indonesia abad 20. Dia berbeda pemikiran dengan Sukarno yang menonjolkan kharismatiknya, atau Tan Malaka dengan kemisteriusannya. Hatta lahir di Bukittinggi pada tahun 1902 dengan tradisi Minangkabau yang kental dengan nilai agama. Dalam perjuangannya dipengasingan hampir 8 tahun ditanah pengasingan Digul dan Banda Neira, dia mematangkan konsep bentuk pemerintahan Indonesia setelah merdeka. Pilihannya untuk menjadikan Indonesia menjadi sebuah negara dengan sistem Demokrasi Parlementer.
Sumbangan terbesar dari Hatta sangat terasa justru ketika pada masa revolusi, baik ketika berposisi sebagai Wakil Presiden maupun Perdana Menteri. Selain menjadi politikus, sumbangan lainnya berasal dari kecendekiawananya dalam berbagai tulisan-tulisan lintas disiplin ilmu, seperti ilmu sosial, politik dan ekonomi. Secara umum, kemampuan Hatta sulit dicari bandingannya, dia mampu meramu sikap, pemikirannya dan tulisannya secara komperhensif.

Pilihan Politik
Mohammad Hatta memulai pendidikan formalnya di Padang dan Batavia, kemudian dilengkapi dengan sekolah di negeri Belanda hingga mendapat gelar doktorandus (Drs). Di Belanda, teori-teori ekonomi sangat kuat mempengaruhi pemikirian Hatta. Namun, pengetahuannya diperluas dengan membaca permasalahan politik dan sosial termutakhir serta menguasai teori yang saat itu sangat menarik untuk dipelajar oleh hampir negara-negara di Eropa, yaitu teori Marxis.
Hatta sudah terjun kedunai politik sejak berusia 16 tahun sebgai sekertaris Jong Sumatra Bond cabang Padang. Setelah itu, Hatta menjadi sosok penting dalam organisasi Indische Vereeniging ditanah Belanda, yang kemudaian hari menjadi Perhimpunan Indonesia. Tujuan organisasi ini tidak hanya bertujuan dalam bidang sosial dan ekonomi tapi juga dalam politik untuk memerdekaan Indonesia. Lewat organisasi ini, Hatta juga sempat beberapa kali mengikuti berbagai konferensi internasioanl, seperti Kongres Perdamian di Prancis tahun 1926 juga Kongres Liga Perlawanan Kolonial di Brussel tahun 1927.
Pergerakan ini yang kemudian menjadikannya ditangkap pada bulan September 1927 oleh Belanda karena di tuduh mau menggulingkan pemerintah resmi. Pembelaan Hatta yang terkenal dengan judul “Indonesia Vrij” atau Indonesia Merdeka. Berbeda dengan pembelaan Sukarno yang ditolak, Hatta setelah membacakan pembelaanya di pengadilan diterima yang akhirnya menyelamatkannya dari penjara.
Perbedaan cara pandang inilah yang kadang tercermin dari dua sosok tadi. Hatta kadang mengkritik pola pembinaan PNI. Hingga partai PNI dibubarkan pada 1931 yang berakhir dengan penahanan Sukarno. Hatta sendiri menginginkan berdirinya partai alternatif pengganti PNI Sukarno. Pada 1931, setelah Hatta pulang ke Indonesia, Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) Baru. Sukarno sendiri setelah bebas dari penjara bergabung ke Partindo, partai bentukan Sartono, salah satu pengurus PNI Sukarno. Setelah kebebasan Suakarno, persaingan dua organisasi itu terus berlanjut untuk meraih posisi pemimpin gerakan nasional. Hingga akhrinrya, tahun 1934, partai-partai pergerakan tidak mampu mebendung pemerintahan kolonial. Akhinrya, banyak tokoh-tokoh yang berakhir dalam pembuangan. Dikemudian hari, mereka dipertemukan dengan hengkangnya Belanda dan datangnya fasisme Jepang.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, nampak berbagai perbedaan pendapat dengan Sukarno menjadi terpinggirkan. Keinginan merdeka menjadi lebih utama dibandingkan hanya perbedaan pemikiran. Puncak dari pejuangan Hatta yang hampir 20 tahun terjadi pada 17 Agustus 1945, Sukarno bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Masa-masa selanjutnya, Hatta lebih aktif berjuang untuk merebut kedaulatan dengan cara diplomasi. Puncaknya terjadi pada perundingan Konfrensi Meja Bundar tahun 1949, yang menghasilkan penyerahan kekuasaan kepada Republik Indonesia Serikat. Perananya berlanjut hingga mengubah wajah Indonesia menjadi Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950.
Pasca tahun 1950, Hatta nampaknya lebih menjauh dari pusat arena politik. Peran Hatta lebih terasa hanya sebagai pemain belakang layar. Masa ini, perbedaan dengan Sukarno tentang bentuk demokrasi yang cocok untuk Indonesai muncul lagu. Corak Demokrasi Perlementer yang diperjuangkan Hatta menjadi pertentangan dengan konsepsinya Sukano yang mengarah untuk merubah menjadi Demokrasi Terpimpin. Puncak dari perbedaan itu adalalah dengan mundurnya Hatta sebagai Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak saat itu, dwi tunggal revolusi memilih jalannya sendiri-sendiri.
Masa selanjutnya, Hatta seolah mempersilahkan konsepsi Demokrasi Terpimpin untuk diterapkan menggantikan Demokrasi Parlementer dengan Sukarno sebagai sosok sentralnya. Aktivitas Hatta selanjutnya lebih banyak menuangkan ide-ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, seperti mengumpulkan berbagai memoar politiknya dan menata tulisan yang memang sudah diteguhkan sejak era 1920-an.

Demokrasi, Sosial dan Ekonomi
Mohammad Hatta seorang nasionalis yang tidak terikat dengan satu dogmatis tertentu, tapi selalu pemikirannya memiliki warna tersendiri dari tahun ketahun. Tiga pokok pikiran Hatta dari tahun 1920-an adalah, pertama, keyakinanya tentang demokrasi parlementer yang menjadi demokrasi terbaik bagi Indonesia, dua, perjuangan untuk mencapai ekonomi yang adil bagi rakyat dan ketiga, pentingnya pendidikan kader-kader partai sehingga tidak menciptakan sosok satu tokoh yang menonjol dalam suatu partai.
Hatta sangat meyakini tentang bentuk negara Indonesa setelah merdeka menjadi Demokrasi Parlementer dengan adanya banyak partai, tuntutan inilah yang menurutnya mengikat seumur hidup. Cita-citanya menjadikan Indonesia menjadi negara yang dihormati oleh dunia Internasional sebgai negaara demokrasi yang bermartabat dengan pemilihan umum yang benar-benar bebas dari tekanan.
Menurut Hatta, lewat Demokrasi Parlementer, suara rakyat akan semakin terdengar oleh negara dalam menyalurkan aspirasinya. Hatta melihat keanekaragaman Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga dengan menampung perbedaan itu menjadi bentuk partai, maka suara-suara mereka akan diwakili oleh partai dalam sebuah pemilihan umum. Pemikirannya ini tertuang dari berbagai tulisan-tulisannya diberbagai media dengan istilah “Kedaulatan Ra’jat”, sebuah sistem politik yang memberikan ruang yang sangat besar untuk memberikan keputusan yang diambil dari ruang terjauh dan ditingkat-tingkat daerah dalam kerangka pemikiran umum yang diletakan dipusat.
Dalam bidang sosial, pembaruan sosial sesudah peristiwa kolonialisme di Indonesa. Hatta sangat paham tentang sistem foedalisme dalam meletakan dasar golongan masyarakat kolonialsme. Golongan aristokrat lebih mendominasi posisi sosial, sementara golongan dibawahnya akan mengikuti terhadap kewenganan golongan dominan. Kekuatan yang mendorong untuk menghancurkan sistem hak-hak istimewa dalam masyarakat, yang menurutnya sebagai sebuah hubungan sosial dengan ekonomi. Korelasi ini merupakan perpaduan antara pemikiran ideologinya dengan ajaran agama Islam yang dianutnya.
Sumbangan dalam bidang ekonomi tentang sebuah koprasi menjadi sumbangan terpenting bagi Indonesia. Dia mempelajarinya di Denmark pada tahun 1920-an. Hal inilah yang menjadi dasar ilmu untuk mendirikan koperasi di Indoensia. Koperasi tumbuh dari jiwa rakyat Indonesia sendiri. Sistem kolektivitas koperasi tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk menyediakan keperluan hidup bagi mereka yang menjadi anggota koperasi. Hal ini didasari pada sikap gotong royong yang menjadi jiwa sejati orang-orang Indoensia. Itulah jiwa sejati kita. Sudahkan kita menjiwai jiwa sejati kita?