Sunday, February 12, 2017

Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 [Resensi]

Buku Keraton dan Kompeni (Koleksi Pribadi)
Identitas buku :
Judul Buku      : Keraton dan Kompeni: Surakarta Dan Yogyakarta 1830-1870
Penulis            : Vincent J.H Houben
Penerjemah     : E. Setiyawati Alkhatab
Penerbit          : Benteng Budaya bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI
Kota Terbit      : Yogyakarta
Tahun terbit    : Cetakan Pertama, Desember 2002

Resensi Buku:
Buku ini merupakan desertasi yang ditulis oleh Vincent J.H Houben di Universitas Leiden yang dipertahankan pada tahun 1987. Dalam buku ini, Houben telah berhubungan dengan berbagai pihak di Belenda maupun Indonesia. Dalam bukunya, Houben menganggap masih ada beberapa fakta sejarah yang tidak selalu diyakini secara umum. Meskipun dalam sejarah Mataram Islam antara tahun 1830-1870, “kebenaran” sejarah menjadi hal yang lumrah. Tapi tidak bagi Houben.
Menurutnya, paling tidak ada dua hal yang adapat dikategorikan sebagai ironi dalam proses mempelajarai sejarah Jawa periode 1830-1870 selama ini. Pertama, berkaitan dengan dugaan banyak orang, bahwa ternyata tidak pernah kebijakan Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel yang diselenggarakan sejak 1830 tidak pernah dilaksanakan diwilayah Vorsttenlanden, Surakarta dan Yogyakarta. Tidak pernah dijelaskan secara rinci, tantang hal ini pada beberapa karya sejarah.
Hal kedua yang menjadi ironi adalah, menyangkut masa awal dimulainya penanaman modal oleh para pengusaha swasta “asing” dalam usaha perkebunan besar di Jawa pada masa kolonial. Pada tradisi Historiografi Indonesia, tahun 1870 selalu dianggap sebgai titik awal dari perkembangan penanaman modal swasta pada sektor perkebunan di Jawa. Padahal beberapa studi secara jelas menggambarkan bahwa para investor swasta sudah mulai menanamkan modal mereka jauh sebelum 1870.

Dalam buku ini, terbagi kedalam 6 BAB. BAB yang pertama membahas tentang divede et impera, reorganisasi kerajaan-kerajaan, 1830-1831. Dalam bab ini, dijelaskan tentang penyerahan kekuasaan yang terjadi pasca tahun 1830 setelah berakhirnya perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Bab 2, berbicara tentang Pemerintahan Belanda Pasca 1830, Bab 3 membahas tentang Intervensi Belanda di Kedua Kerajaan pasa 1830. Di Bab 4, tanggapan orang-orang Jawa terhadap keberadaan Belanda di Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Bab 5 membahas perubahan-perubahan ekonomi: pertanian komersial barat di keedua kerajaan dan Bab 6 tentang perubahan sosial di Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Menurut Bambang Purwanto, kekurangan dalam buku ini merupakan sebuah catatan historiografi-metodologis perlu dilakukan terhadap karya yang sangat kaya dengan data dan interpretasi baru ini. Perspektif sejarah yang dilihat dari dalam juga belum dimaksimalkan. Sesuai dengan judulnya, buku ini terkesan elitis dan bersifat keraton atau negara sentris yang kurang memberi ruang kepada masyarakat sebagai sebuah entitas, kecuali sebgai penyulut dan pelaku keonaran.
Namun, karya Vincent Houben tetap saja telah memberikan seumbangan yang sangat penting bagi historiografi Indonesia, terutama untuk memahami kembali sejarah Yogyakarta dan Surakarta yang ternyata masih banyak menyimpan banyak hal yang belum diketahui atau salah dipahami selama ini. Mudah-mudahan kenaifan dan kesalahan seperti yang telah disampaikan pada awal pengantar ini tidak terjadi lagi setelah selesai membaca buku ini.