Wednesday, February 15, 2017

Kisah Perjuangan Usman dan Harun

Cuplikan Dokumen di Museum Usman Janatin

Sejarah kedua Pahlawan Serda KKO Usman bin H. Ali dan Kopral KKO Harun bin Said tidak bisa dipisahkan dengan diumumkannya DWI KOMANDO RAKYAT atau DWIKORA pada 3 Mei 1964.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 95 tahun 1964 tentang pengerahan para Sukarelawan Indonesia dalam rangka penggayangan dan penghancuran proyek neo-kolonialisme “Malaysia”, pada masa itu banyak para sukarelawan yang diberangkatkan ke Daerah Persiapan di Kepulauan Riau dan Kalimantan.

TNI Angkatan Laut selain mengirimkan Brigade Pendarat Korps Komando juga mengirimakn sukarelawan terdiri dari anggota militer maupun pegawai negeri atau karyawan sipil.

Diantara para sukarelawan tersebut terdapat anggota KKO Harun bin Said dan Kopral KKO Usman bin Haji Moehamad Ali yang diberangkatkan dan bertugas didaerah Riau Kepulauan sebagai Prajurit dan Pejuang Prajurit.

Dengan menggunakan kapal Meriam (gunboat) Kopral KKO Usman dan kawan-kawan langsung menuju ke Pulau Sambu untuk menggabungkan diri dengan sukarelawan lainnya dalam Tim Brahma I dibawah pimpinan Kapten KKO paulus Subekti.

Di Pulau Sumbu inilah Usman alias Djanatin bin Haji Moehamad Ali berjumpa dengan Harun alias Tohir bin Said dan seorang Sukarelawan bernama Gani bin Aroeb yang untuk selanjutnya ditempatkan di Pulau Layang guna menyipakan diri melaksanakan tugas.

Pada tanggal 9 Maret 1965 mereka mendapat tugas menyusup di Singapura untuk melaksanakan sabotase terhadap instansi pemerintah.

Pada pertengahan malam disaat kota Singapura mulai berangsur-angsur sepi mereka bertiga sesuai dengna rencana pada sore harinya mulau menyusuri Orchard Road, dimana terletak Hotel Mac Donald yang diantaranya penghuninya terdapat perwira, swasta Inffris maupun warga asing lainnya. Untuk beberapa saat lamanya mereka belum berhasil melaksanakan tugas, sebab situasi sekitar Hotel Mac Donald belum memungkinakan karena masih ramai, namun demikian akhirnya mereka berhasil juga meletakan bom di gedung tersebut. Hasil gemilang ketiga sukarelawan Indonesia tersebut, hanya dengan bahan pelaedak 12,5 kg telah berhasil menghancurkan apartemen (flat) Hotel Mac Donald di ORCHARD ROAD . Ledakan bom tersebut menimbulkan kerusakan berat pada dua puluh buah toko disekitar hotel tersebut, menghancurkan dua puluh empat buah kendaraan/mobil, disamping enam orang meninggal dan tiga puluh lima orang mengalami luka berat dan ringan.

Dengan hasil yang gemilang ini, mereka kemudian kembali ke suatu tempat yang ditentukan dan pada hari yang cerah pada tanggal 11 Maret 1965 itu mereka bertemu kembali dengan diawali salaman yang mesra sebagai tanda rasa puas hasil gemilang. Mereka merundingkan kembali upaya melaksanakan tugas berikutnya menghancurkan suatu apartemen yang letekanya tidak jauh dari hotel tersebut.

Mengingat situasi dan kondisi tak memungkinkan, akhirnya mereka bersepakat untuk kembali ke induk pasukan di Pulau Sambu, tetapi ternyata semua jalan telah dijaga keras oleh alat keamanan Singapura, demikian pula perairan Selat Singapura yang terletak antara Pulau Sambu dan Singapura (Singapura Naval Police).

Oleh karena situasi yang sulit dan tidak memungkinkan keluar bersama, mereka sepakat untuk mencari jalan sendiri-sendiri dan salah seorang terlebih dulu sampai di Pulau Sambu serta berhasil menghadao Komandan, harus segera melaporkan hasil yang telah dicapai di Singapura.

Gani setuju kemudian memisahkan diri, tetapi Djanatin selaku Komandan tidak mau berpisah dengan Tohir, karena Djanatin sendiri belum begitu hafal akan seluk beluk Singapura, sedangkan bagi Tohir pelosok Singapura boleh dikatakan sudah seperti kampung halamannya sendiri.

Pada hari itu juga mereka berpisah sedangkan Djanatin dan Tohir tetap bersama meskipun tidak berdekatan guna menghindari kecurigaan petugas keamanan Singapura, sedangkan Gani sudah menghilang entah kemana. Setelah usaha menerobos daerah pantai dimana mereka dulu mendarat tidak berhasil, maka Djanatin dan Tohir tetap bersama meskipun tidak berdekatan guna menghindari kecurigaan petugas keamanan Singapura, sedangkan Gani sudah menghilang entah kemana. Setelah usaha menerobos daerah pantai dimana mereka dulu mendarat tidak berhasil, maka Djanatin dan Tohir bersama mencari jalan keluar melalui pelabuhan Singapura, tetapi ternyata jalan inipun tidak semudah yang mereka perkirakan.

Pemeriksaan tetap dilakukan dengan keras, setiap orang yang keluas masuk pelabuhan digeledah dengan teliti, Usman dan Tohir yang telah mendapatkan latihan dibidang intelejen dan berkat pengalamannya berhasil masuk kedalam pelabuhan dengan menunjukan kartu anggota PRM Singapura dan menyamar sebagai anak kapal dagang yang kebetulan sedang singgah di Pelabuhan Singapura.

Akhirnya mereka berhasil naik ke kapal dagang “Begama” yang waktu itu merencanakan akan berlayar menuju Bangkok, dengan menyamar sebagai pelayan dapur. Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka dengan aman bersembunyi dalam kapal tersebut, akan tetapi pada malam itu pemilik kapal “Begama” bernama Kie Hok mengusir janatin dan Tohir keluar kapal, padahal dia tahu bahwa kedua orang pemuda Indonesia itu adalah anggota KKO AL. Dengan alasan takut diketahui oleh petugas Singapura yang dapat mengakibatkan kapalnya ditahan, dia tetap berkeas hati mengusir kedua Sukarelawan kita itu. Akhirnya pada pagi hari mereka keluar dari persembunyaainya dan mereka berusaha mencari tempat lain tetapi tidak berhasil.

Ketika mereka sedang mencari-cari, tiba-tiba mereka melihat perahu bermotor yang dikemudikan oleh seorang Cina dan dengan keberanian yang luar biasa mereka berhasil merebut perahu bermotor tersebut dan digunakan untuk menyeberang menuju ke Pulau Sambu. Dalam pelayaran yang penuh ketegangan, mereka bernasib malang karena sebelum berhasil menyeberangi perairan perbatsan Indonesia-Singapura, mesin perahu motor mereka macet dan mengalami gangguan.

Akhirnya pada pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965 mereka tertangkap oleh Polisi Peronda Laut Perairan Singapura dan dibawa langsung ke Singapura.

Mereka ditahan dipenjara Changi. Keduannya diajukan ke pengadilan dan melalui proses yang dimulai tanggal 4 Oktober 1965 sampai dengan 20 Oktober 1965, mereka dijatuhi hukuman pidana mati oleh HIGHT COURT Singaura atas dasat section 302 PENAL CODE CHAPTER XVI.

Didalam proses peradilan itu, pemerintah Indonesia telah menyediakan empat orang pembela, yaitu: Mr. Braga dari Singapura, Noel Benjamin dari Malaysia, Prof. Dr. Mchtar Kusumaatmaja, SH dari Indonesia dan Letkol Laut (KH) Gani Djembet, SH Atase Ngkatan Laut RI di Singapura.

Kedua terpidana, terhadap putusan Hakim tersebut mengajukan banding kepada FEDERAL COURT OF MALAYSUA KUALA LUMPUR dan pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court tersebut tersebut mengeluarkan putusan seperti berikut:
1. Menola permintaan banding tersebut kedua
2. Menguatkan putusan dan hukuman yang telah dijatuhkan oleh HIGH COURT Singapura.

Atas putusan FEDERAL COURT tersebut terpidana mengajukan permohonan kasasi kepada PRIVY COUNCIL di London dan Badan Pengadilan ini pada tanggal 21 Me 1968 mengeluarkan putusan menolak permohonan kasasi itu.

Pada tanggal 22 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik mengajukan surat kepada Menteri Luar Negeri Singapura S. Rajaratnam untuk memohon klemensi bagi kedua terpidana tersebut, demikian pula pada tanggal 1 Oktober 1968, Presiden Soeharto mengutus Brigjen TNI Tjokro Pranolo, Sekertaris Militer menyampaikan surat kepada Presiden Singapura Yusuf bin Ishak dan Perdana Menteri Lee Kuan Yew dengan maksud yang sama.

Pada tanggal 9 Oktober 1968 permintaan Menteri Luar Negeri, Adam Malik dan Presiden Soeharto ditolak.

Sebagaimana diketahui kedua negara mempunyai perbedaan dalam sistem pengadilan dimana negara Singapura menggunakan pola hukum Inggris dimana sistem yudikatif atau pengadilan tidak dibawah pengaruh eksekutif melainkan sebagai lembaga mandiri, sedangkan Indonesia menganut pola Anglo Saxon.

Oleh karena hal itu, wajar apabila surat permohonan Presiden Soeharto ditolak oleh pejabat negara Singapura karena memang diluar wewenangnya, seharusnya kita meniru proses pembebasan penerbangan Allah Lauwrence Pope yang dihukume seumur hidup dengna menghadapkan istri dan anaknya meminta ampunan ke Presiden RI dengan mencium kakinya. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat setuju memberikan bantuan kepada Republik Indonesia diantaranya senapan M.I Garand untuk melengkapai TNI-AD.

Kedua anggota KKO AL setelah mengetahui semua usaha tidak berhasil, mereka minta agar jenazahnya dibawa kembali dan dimakamkan ditanah air. Permohonan itu disetujui oleh Presiden-Panglima Tertinggi disampaikan kepada kedua anggota oleh utusan Presiden-Brigjen TNI Tjokro Pranolo disertai Atase Pertahanan Letkol Laut (KH) Gani Djemat, SH.

Pada pertemuan tersebut sehari sebelum hukuman dilaksanakan kedua anggota KKO AL telah mencukur rambutnya pendek ala KKO AL dan meminta disampaiakan ucapan “terima kasih kepada Presiden-Panglima Tertinggi ABRI atas perhatian dan usaha yang telah dilakukannya, mereka telah siap mati demi kejayaan Bangsa, Negara, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Korps Komando khususnya”.

Pada tanggal 17 Oktober 1968 pagi hari menjelang waktu yang ditetapkan kedua anggota KKO AL dengan sikap seorang prajurit pejuang sejati, berjalan dengan angkah tegap menuju tiang gantungan tanpa mau ditutup kedua matanya guna melaksanakan hukumannya, dengan disaksikan dokter dan petugas pelaksana penjara Changi.

Pada pukul 06.00 waktu setempat kedua anggota KKO AL telah gugur ditiang gantungan Penjara Changi dan beberapa saat kemudian setelah diberitahu bahwa hukuman telah dilaksanakan, Atase Pertahanan Letkol Laut (KH) Gani Djemat, SH datang kepenjara Changi untuk menyekasikan dan menerima jenazah kedua pahlawan.

Pada hari itu juga jenazah kedua anggota KKO AL dijemput oleh tim penjemput ABRI diantaranya KKO Subiyantoro untuk dibawa kembali ketanah aitu dengan pesawat C-13 TNU-AU. Setibannya dilapangan udara Kemayoran diadakan penerimaan jenazah kedua pahlawan dengan Inspektur Upacara Menteri Panglima AL Laksamana TNI Moeljadi, untuk disemayamkan di Aula Departemen Hankam Markas Besar ABRI, utnuk selanjutnya pada keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata dengan upacara kebesaran.

Pada tanggal 18 Oktober 1968, rakyat Jakarta memberikan penghormatan terakhir kepada kedua pahlawan di sepanjang jalan dari Departemen Hankam Markas Besar ABRI sampai ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, sedangkan Sang Merah Putih berkibar setengah tiang.

Bermacam pernyataan keras dan ucapan simpati atas peristiwa penggantungan kedua anggota KKO AL tersebut mengalir dan Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 050/TK/1968 tertanggal 17 Oktober 1968 telah memberikan pangkat satu tingkat atau mengangkat Serda KKO (Anm) Usman dan Kopral KKO (Anm) Harun sebagai Pahlawan Nasional.

Perdana Menteri Republik Singapura Lee Kuan Yew pada kunjungan kenegaraanya, pada saat berziarah ke Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata melakukan ziarah ke pusara kedua Pahlawan Nasional Serda KKO (Anm) dan Kopral KKO (Anm) Harun.

Sumber: Dokumen yang ada di Museum Usman Janatin