Thursday, March 23, 2017

6 JAM UNTUK SELAMANYA: Refleksi Kisah SO 1 Maret 1949

Sumber
Semua hal besar didunia dimulai dari hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele, namun hal sepele itu bisa menjadi sesuatu yang besar apabila kita mau memaknainya. Seperti kata orang bijak, apabila kita menghargai suatu hal kecil, maka sesuatu yang lebih besar akan mudah dicapai, begitupun apabila kita menganggap remeh hal kecil, maka hal-hal besar sekalipun akan dengan mudah terabaikan. Seperti contoh, jam tangan yang sering kita pakai ditangan, akan terlihat hanya pergerakan jarum jam. Terlihat sepele. Namun, apabila kita mengerti setiap detik waktu memiliki nilai-nilai yang tersimpan didalamnya, maka waktu akan terasa sangat berharga, dan tak jarang menjadi bagian sejarah hidup yang tak terlupakan.

Itu baru sejarah kecil didalam waktu kehidupan kita, bagaimana kalau hal-hal yang dianggap kecil itu, ternyata berdampak besar pada perjalanan sejarah bangsa kita? Bangsa yang menopang bumi kita berpijak, lautan yang memberikan segala kekayaan didalamnya, udara segar yang menemani hirupan nafas kita, belum lagi kekayaan kebhinekaan yang tak dimiliki oleh sembarang negara lainnya. Apakah semua anugerah Tuhan yang kita nikmati saat ini tanpa melalui sebuah proses perjuangan panjang? Jelas jawabanya, Tidak! Sejak diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia tak serta merta menjadi negara seperti yang kita tinggali saat ini. Berbagai cobaan dari dalam melambai seolah tak terelakan, belum lagi serangan dari penjajah luar yang sudah terlanjur nyaman hidup ratusan tahun menggurita di nusantara.

Seantero Indonesia pasti tahu yang dimaksud penjajah itu, Belanda! Negara yang secara historis mempunyai catatan tak menyenangkan dalam mewarnai lahirnya Indonesia, terutama pada akhir 1940-an. Disaat itu, Belanda sudah menganggap ‘mati’ negara yang baru lahir ini, disaat pemimpin politik Sukarno-Hatta ditawan tak berdaya, disaat itulah, militer Indonesia membuktikannya. Hanya butuh 6 jam bagi militer kita, untuk membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia masih berdiri tegak gagah perkasa. Persitiwa yang hanya sebentar, peristiwa yang dianggap sepele, namun berdampak sangat besar bagi ‘wajah’ Indonesia kedepannya. Peristiwa itu adalah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949.

Sebuah sock terapy bagi Belanda sekaligus menjaga ‘nyawa’ proklamasi 45. Setelah peristiwa itu, dukungan dunia internasional mengalir deras, hingga puncaknya dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Meski untuk mencapai semua itu, Indonesia harus mengorbankan patriot-patriot terbaiknya demi tegaknya panji-panji NKRI. Seperti kobaran kata-kata semangat dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, “bahwa kemerdekaan suatu bangsa, yang didirikan diatas timbunan reruntuhan ribuan jiwa dan harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapapun juga”. Iya, oleh siapapun juga, termasuk oleh Penjajah Belanda.

Namun, apakah generasi muda saat ini masih mengingat peristiwa 6 jam itu? Mampukan kita mengisi kemerdekaan yang didirikan dengan timbunan korban jiwa dan harta benda ini dengan semangat nasionalisme? Dan, pantaskah kita mendapat predikat "Generasi Emas" pada tahun 2045 esok? Pertanyaan yang masih mengusik hati dan menggugah nurani. Mari, kita refleksi diridengan belajar dari ‘kaca spion’.

Serangan Umum yang di Rancang Khusus
Serangan Oemoem (SO) yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 ini tidak terjadi secara tiba-tiba dan tanpa rencana. Namun melalui proses yang panjang dan strategi yang matang. Peristiwa SO berawal dari Agresi Militer Belanda II[1] tanggal 19 Desember 1948 dibawah komando Jenderal Spoor. Belanda mengambil kesempatan ketika melihat kondisi Indonesia yang sedang berjuang tertatih-tatih diserang dari dalam (pembrontakan PKI di Madiun 1948), padahal disaat yang sama, wilayah Indonesia lebih sempit dari Perjanjian Linggarjati[2] dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948[3]. Belanda melihat kesempatan itu untuk merencanakan Agresi Militernya yang ke-II.

Serangan pertama ini menargetkan objek-objek vital di Yogyakarta[4], seperti Bandara Maguwo dan Istana Kepresidenan. Tujuan utamanya tentu melenyapkan Pemerintahan Republik Indonesia dan menghancurkan TNI. Serangan Agresi Belanda ini membuahkan hasil dengan ditangkap dan diasingkannya para pemimpin Indonesia ke luar Jawa. Namun, sebelum ditangkap Presiden Sukarno sudah memberikan kewenangan kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan Darurat di Bukittinggu dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Menteri Negara Koordinator Keamanan untuk mengambil alih kendali pemerintahan di ibukota negara, Yogyakarta.   

Setelah sukses melancarkan aksinya. Belanda dengan ke-PD-annya menganggap Indonesia sudah ‘musnah’, dan meminta pihak internasional tak menghiraukan Republik yang baru berdiri ini. Disisi lain, melihat kondisi politik yang semakin suram, Panglima Besar Jenderal Soedirman sudah memprediksi sikap Belanda ini dengan mengelurkan Perintah Siasat Nomor 1 tanggal 12 Juni 1948 untuk melakukan ‘Perang Gerilya Rakyat Semesta’. Sebuah perang gerilya total yang didukung oleh semua lapisan masyarakat dan memaksimalkan semua potensi yang ada di Indonesia.

Selama melakukan perang gerilya, Jenderal Soedirman tetap berhubungan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengadakan sebuah siasat perang balasan terhadap Belanda, meski komunikasi saat itu masih menggunakan jasa kurir.[5] Untuk menindaklanjuti kesepakatan antara Jenderal Soedirman dan Sri Sultan, maka Letkol Soeharto selaku Komandan WK (Wehrkreise) III/Yogyakarta dari pihak militer, diundang ke Keraton Yogyakarta pada 13 Februari 1949 untuk bertemu Sri Sultan dan menyepakati sebuah serangan besar-besaran. Dengan hanya waktu dua minggu, Letkol Suharto merencanakan serangan umum yang akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949.

Sebelum serangan umum itu dilancarkan, dilakukan terlebih dahulu serangan-serangan penyesatan atau serangan tipuan terhadap Belanda. Penyerangan Pos-Pos diluar Yogyakarta dilakukan dengan baik, terutama di pos Bantar, pos Cebongan, Bantul dan Pucung. Tujuan penyerangan ini tentunya untuk mengikat kekuatan Belanda tersebut agar tidak memberikan bantuan kearah Yogyakarta, serta melindungi punggung satuan-satuan WK III pada saat melakukan SO 1 Maret 1949.[6] Selain itu, dengan keterbatasan alat komunikasi, kordinasi-kordinasi antar satuan-satuan dikuatkan melalui jasa kurir.

Tepat pada 1 Maret 1949, pasukan-pasukan yang sudah memasuki Yogyakarta malam sebelumnya sudah siap melancarkan gempuran besar-besaran. Akhirnya, tepat pukul 06.00, bertepatan dengan sirine tanda jam malam berakhir, pasukan-pasukan yang sudah bersembunyi serentak keluar. Letkol Suharto, selaku Komandan WK III dengan sandi ‘Janur Kuning’ menyerang Kota Yogyakarta dari empat penjuru mata angin. Dari arah Selatan, pasukan SWK (Sub-Wehkreise) 102 pimpinan Mayor Sardjono; arah Barat pasukan SWK 103A pimpinan Mayor H. N Soemoeal; arah Utara pasukan SWK 104 dipimpin oleh Mayor Soekasno; dan arah Timur pasukan SWK 105 dibawah pimpinan Mayor Soedjono.[7] Serangan dari penjuru ini masih disuplai dengan bantuan-bantuan militer dari Bataliyon dan Kompi-Kompi yang dikendalikan oleh SWK-SWK diatasnya.

Praktis, dalam waktu yang relatif singkat, kekuatan militer Indonesia berhasil menguasai setiap sudut-sudut kota Yogyakarta. Rakyat menyambut kemenangan ini dengan mengibarkan bendera Merah Putih dan turun kejalan untuk menyambut para pasukan gerilya yang baru saja meneklukan kepongahan Belanda. Dengan segala kerjasama dari berbagai komponen militer dibawah komando Letkol Suharto, pasukan gerilya bisa mengalahkan Belanda meski dalam kondisi senjata yang serba terbatas. Bahkan menurut Pierre Heijboer, “ketika bangsa Indonesia benar-benar melancarkan serangannnya pada tanggal 1 Maret 1949, bagi pasukan Belanda serangan itu sungguh sangat mengejutkan”.[8]

Iya, memang sangat mengejutkan. Termasuk dampak yang diberikan, pastinya sangat mengejutkan dan bahkan memalukan wajah Belanda didunia internasional. Secara psikologis, kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan TNI dapat bangkit lagi, serta berkobarnya kekuatan mental para pejuang yang telah merosot terutama setelah ditangkapnya para pemimpin politik, seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir. Dampak yang lebih mengejutkan lagi adalah nilai tawar Indonesia diarena diplomasi. Nilai tawar ini bisa dilihat dari Perjanjian Roem- Roijen, satu bulan semenjak SO itu dilancarkan. Perjanjian ini diinisiatifi UNCI pada tanggal 14 April 1949 di Jakarta antara Dr. J.H Van Roijen (Delegasi Belanda) dengan Mr. Mohamad Roem (Delegasi Indonesia), dengan Amerika sebagai pimpinan pertemuan.[9]

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Roem-Roijen ini, konfrontasi senjata antara Belanda dan Indonesia dihentikan, Belanda juga akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia secara utuh, serta  Belanda dipaksa untuk duduk dalam meja perundingan lagi di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir tahun 1949. Sebuah konfrensi yang benar-benar memberikan kemerdekaan sepenuhnya dikemudian hari. Selain itu, para pemimpin Indonesia kembali dari pengasingannya, termasuk kembalinya pasukan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang telah melakukan ‘Gerilya Semesta’ dengan jarak lebih dari 1000 km meski dengan kondisi sakit. Beliau kembali dengan didampingi sang Komando WK III, Letkol Soeharto yang telah merebut Yogyakarta meski ‘hanya’ menguasainya selama 6 jam.

Spirit Nasionalisme dengan ‘Kaca Spoin’
Peristiwa Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 yang sudah terjadi 68 tahun yang lalu saat ini mulai memudar spirit perjuangannya. Terutama kami[10], sebagai generasi muda saat ini lebih terlena dengan pola hidup hedonis yang tak menghargai semangat nasionalisme para pejuang. Contoh kecilnya adalah ketika dilaksanakannya upacara bendera, masih banyak dari kita yang berbicara sendiri dan tak memaknai upacara tersebut. Padahal, upacara merupakan wadah untuk mengingatkan dan mengharai para pahlawan dalam mempertahankan bendera Sang Saka Merah Putih berkibar diangkasa. Ditambah lagi jarangnya generasi muda yang hafal lagu-lagu nasionalisme, mereka lebih hafal dengan lirik lagu-lagu K-Pop Korea, yang artinya pun kadang tak tahu.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana reaksi para pejuang kemerdekaan apabila melihat kondisi generasi muda saat ini. Malu rasanya, apabila kita sebagai penentu masa depan bangsa ini tak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah, terutama peristiwa SO 1 Maret ini. Untuk membangkitkan rasa nasionalisme, maka terlebih dahulu harus mengerti akan sejarah bangsanya sendiri. Apabila kita tak mampu membangkitkan semangat sadar sejarah, maka mustahil semangat nasionalisme dapat tumbuh dikalangan generasi muda.[11] Dengan kata lain, lewat kisah-kisah heroik para pejuang kemerdekaan ini, nilai-nilai nasionalisme bisa merasuk kepada benak sanubari generasi muda. Karena apabila rasa nasionalisme ini sudah tersisih dari sanubari, maka tinggal menunggu ‘kematian’ bangsa tercinta kita ini. Naudzubillahi min dzalik.

Terkadang masih banyak yang menyepelekan pelajaran sejarah, bahkan ada pameo, ‘mempelajari sejarah sama saja tidak bisa move on’. Sebuah candaan sepele yang mengandung potensi bahaya, karena menurut Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para pahlawannya”. Sesuatu yang mustahil apabila kita mau menghargai pahlawan tanpa mengetahui sejarahnya terlebih dahulu. Ibarat kendaraan bermotor, ada sebuah benda kecil namun mempunyai manfaat yang sangat besar, barang itu bernama spion. Apabila kita berkendara tanpa spion, maka akan sangat membahayakan nyawa kita. Jadi, supaya dalam berkendara kita sampai ketujuan dangan selamat, maka lihatlah sesekali kekaca spion ketika mau belok kekiri atau kekanan, namun fokus kita tetap menuju tujuan kedepan.[12]

Itulah sejarah, terutama peristiwa SO 1 Maret yang membuka mata dunia meski hanya merebut dan mempertahankan Yogyakarta hanya 6 jam saja. Andai tak ada kobaran keberanian melawan kepongahan Belanda saat itu, mungkin tak akan ada Republik Indonesia saat ini. Dengan keberanian meski hanya bermodal senjata yang serba terbatas, Bangsa yang baru berdiri ini berani menantang tank-tank dan peralatan tempur serba canggih. Mereka tak mengenal takut kehilangan nyawa, apalagi harta benda, yang terpenting adalah harkat martabat bangsa terjaga dan tak rela apabila kehormatan bangsa diinjak-injak oleh Belanda.

Generasi muda harus optimis dalam memikul tanggung jawab ‘Generasi Emas’, karena dalam kata ‘generasi muda’ tersimpan potensi, semangat dan mimpi Indonesia kedepannya. Generasi saat inilah, yang akan menjadi pemimpin 2045 yang akan datang, disaat 100 tahun Indonesia berdiri dengan gagah perkasa. Namun, untuk menjadi Generasi Emas 2045 tidaklah mudah, butuh semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme yang tinggi. Dengan tetap optimis, harapan Generasi Emas masih terbuka lebar. Dengan keyakinan dan tekad yang kuat, maka tak diragukan lagi bahwa generasi saat ini akan menjadi agen perubahan Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya.

Dengan belajar dari SO 1 Maret ini, kita belajar akan pentingya sebuah waktu, meski hanya 6 jam, namun berefek untuk selamanya. Dengan menyandang predikat ‘generasi emas’, selayaknya kita juga memantaskan diri untuk menjadi generasi emas yang sesungguhnya, bukan hanya label yang menempel dalam tanggal lahir saja. Tentunya, dengan belajar dari sejarah, karena menurut kata-kata bijak orang Yunani bahwa sejarah adalah guru kehidupan (Historia Vitae Magistra). Dari kata-kata ini, yang terpenting bukan hanya ‘bagaimana belajar sejarah’, tetapi ‘bagaimana belajar dari sejarah’. Kita belajar dari peristiwa sejarah SO 1 Maret 1949, untuk mengambil hikmah dan pelajaran demi menjalani hari ini, dan menjemput masa depan yang gemilang.

Daftar Refereni:
Aboe Bakar Loebis. 1995. Kilas Balik Revolusi: kenangan, Pelaku dan Saksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Adrian Vickers. 2011. Sejarah Indonesia Modern (terj). Yogyakarta: Insani Madani.
Sartono Kartodirjo. 1993. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Seskoad. 1991. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: Citra lamtoro Gung Persada.


[1] Agresi Militer Belanda I dilakukan pada 21 Juli 1947, sehingga batal lah Perjanjian Linggarjati. Belanda sebetulnya mendapatkan keuntungan dari Perjanjian Linggarjati itu, hal ini dikerenakan wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Namun, Belanda tidak puas dengan hasil itu, sehingga melancarkan serangan terhadap sumber-sumber penghasil devisa seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera. Menurut istilahnya Adrian Vickers, serangan ini merupakan kesalahan ‘Fatal’ yang dilakukan Belanda. Lihat Adrian Vickers. 2011. Sejarah Indonesia Modern (terj). Yogyakarta: Insani Madani. Hlm, 171. 
[2] Dalam perjanjian Linggarjati, Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa dan Madura.
[3] Hasil dari Perjanjian Renville membuat wilayah Indonesia hanya Jawa tengahYogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
[4]Ibu kota dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta sejak tanggal 4 Januari 1946 karena keamanan Jakarta yang semakin tidak terkendali.
[5]Jasa kurir memang sering digunakan untuk menghubungkan antar pemimpin, hal ini dikarenakan gerakan yang dibatas oleh Belanda.
[6] Seskoad. 1991. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: Citra lamtoro Gung Persada., Hlm 220.
[7]Seskoad. 1991. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya. Jakarta: Citra lamtoro Gung Persada., hlm 228-229.
[8]Seskoad, Op. cit, hlm 248.
[9] Aboe Bakar Loebis. 1995. Kilas Balik Revolusi: kenangan, Pelaku dan Saksi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia., Hlm 323.
[10] Saya mengingatkan diri sendiri, dan sebagai cambuk untuk selalu berbagki pada negeri.
[11] Sartono Kartodirjo. 1993. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama., Hlm 53.