Thursday, May 25, 2017

Ndayeng ke Dieng dengan Gayeng

Keluarga Besar SMA Negeri 2 Purbalingga di Dieng
Agenda liburan tahunan sudah lama tidak diadakan lagi, terakhir kali kami, keluarga besar SMA Negeri 2 Purbalingga, mengadakan perjalanan wisata tahun 2014 silam. Waktu itu, kami menuju kota Kembang, Parisnya Jawa, alias Kota Bandung. Saat ini, setelah tiga tahun berlalu, kami akan berwisata menuju ke negeri atas awan, sebuah kota tertinggi di pulau Jawa.

Ketika saya ditawari untuk ikut, tentu dengan mantap jiwa dan raga saya sanggupi. Bagaimana tidak mau, sudah gratis diberi uang saku pula (meski ga banyak, tapi alhamdullilah;)

Agenda untuk berlibur ke Dieng dijadwalkan pada tanggal 21 Mei 2017. Tanggal ini dipilih karena memang bertepatan dengan kegiatan sebelum Ujian Akhir Tahun dan sebelum menjalankan ibadah puasa di Bulan suci Ramadhan. Kegiatan ujian dan bulan puasa ini pasti akan menguras energi dan hati.

Kegiatan ke Dieng sebenarnya baru saja saya jelajahi bersama teman-teman blogger (sekitar bulan September 2016, artikelnya bisa dilihat disini). Kali ini suasana dan kondisi yang jelas berbeda akan segera menyapa. Namun kondisi yang pasti sama adalah, sama-sama tidak mengeluarkan biaya;)

                                                                            ***
Rencana keberangkatan awalnya dijadwalkan pukul 23.30. Saya yang rumahnya agak jauh, sengaja berangkat lebih awal. Sekita pukul 8 malam, saya sudah sampai disekolah. Bukan semangat untuk pergi ke Dieng, tapi saya sudah janjian dengan anak-anak untuk mengumpulkan deadline pengumpulan film sosiodrama tentang sejarah desa. Ketika menunggu pemberangkatan dan pengumpulan tugas, saya mencoba untuk browsing internet. Sesuatu yang membuat kegiatan menunggu tidak membosankan.
Dengan Bocah-Bocah, Ini jam 9 malam loh (Dok Pribadi)
Namun, lagi-lagi WIB alias Waktu Indonesia Berubah. Mulur 1 jam, keberangkatan sendiri dimulai jam 12.30 malam. Kondisi perjalanan pun tak saya rasa, karena sedang mati rasa, alias bertemu dengan mimpi.

Perjalanan ke Dieng membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Tergantung kelancaran perjalanan dan kecepatan kendaraan. Kami sampai ditujuan sekitar jam 03.30 pagi diparkiran Bus. Tidak langusng naik, karena kami turun ditempat parkiran. Tempat pertama yang akan saya jelajahi adalah keindahan sinar matahari di Sikunir.

Mencari Golden Sunrise
Ternyata tidak semudah itu, untuk mendapatkan keindahan karya Tuhan ini harus ditempuh dengan jalan kaki. Belum lagi, udara dingin yang menusuk kedalam pori-pori. Perjalanan kaki ini sekitar 30 menit, itu dari parkiran kepintu masuk, belum ke puncaknya.
Kabut terlalu Semangat Menutupi (Dok Pribadi)
Karena dinginnya udara, kami sepakat untuk menghangatkan badan dengan makan mendo panas, meski tak terasa karena saking dinginnya udara. Setelah adzan Subuh berkumandang, kami berangkat menuju kepuncak, sekitar 900 Meter. Tidak main-main, jalananya menanjak keatas, dan dipastikan, kaki-kaki ini akan sangat bekerja keras.

Sampai dipuncak, ternyata bukan kami saja yang memburu Golden Sunrise ini, tapi dari berbagai daerah dan penjuru pelosok negeri ini. Apalagi, golden sunrise di Sikunir ini adalah yang terindah dan terbaik se-Asia Tenggara. Karena hanya di Sikunir kita bisa melihat warna jingga keemasan dilangit fajar saat menyinari gunung-gunung tinggi yang berselimut kabut ini.

Harapan besar bagi kami untuk bisa melihat maha karya besar Tuhan ini, setelah menunggu hingga matahari terbit, ternyata sinarnya tak tampak karena kuatnya kabut asap. Saya terus menunggu, tapi ternyata kecantikannya bersembunyi dibalik kabut malu-malu. Pasrah dan lelah bercampur mesra, foto yang didapat juga seadanya. Yang penting kami sudah pernah disini, menjejakan kaki menikmati dinginya udara pagi.

Hingga tak Terlihat Menampakannya (Dok Pribadi)
Turun menjadi pilihan terbaik. Kami turun dan menyusuri jalanan tajam ini, hingga menjumpai Pak Agus dan Mas Bagi sedang asik ngopi. Mereka memang tak naik, akhirnya pilihan yang tepat adalah ngopi bareng. Sampai turun sekitar pukul 06.00. Pak Agus dan Mas Bagi dengan gagahnya memamerkan kalau sudah mandi. Saya? Mungkin lain kali, udara dinginnya terlalu tak bersahabat.
Perjalanan Menuju ke Parkiran (dok Pribadi)
Untuk menuju ke parkiran bus, kami harus berjalan mengitari hamparan danau kecil. Perjalanan ke parkiran sendiri lumayan jauh, sekitar 20 menit dengan jalan kaki. Tapi hitung-hitung jalan sehat, kalau kita mau ojek, sebetulnya tersedia dengan harga sekitar 10.000-15.000.

Setelah dirasa sudah kumpul semua, kami menuju ketampat sarapan. Namun tempat sarapan ini tak biasa, karena ditempat terbuka dan di sebuah perataran candi.

Candi Terbesar di Dieng: Bima
Perjalanan dari Sikunir ke Candi Bima tak lama. Kami yang lelah karena baru naik ke Sikunir sebenarnya ingin memejamkan mata sekejap saja. Namun, jangankan memejamkan mata, membersihkan badan pun tak bisa, jarak yang membuat itu tak terlaksana. Iya, jaraknya sangat dekat.

Candi Bima (dok Pribadi)
Dieng merupakan sebuah destinasi wisata dimana jarak antara satu tempat wisata ketempat lainnya sangat dekat jaraknya. tidak hanya kaya wisata alamnya, namun peninggalan sejarah juga terpampang dimana-mana. Salah satunya adalah Candi Bima. Setelah sampai di plataran Candi Bima, kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Udara dingin terobati dengan sinar panas matahari, dijamu dengan sarapan pagi.

Sarapan dulu (dok Pribadi)
Suasana yang mempesona. Udara dingin ditemani sinar mentari pagi, dan dilatari sebuah candi. Candi Bima sendiri merupakan salah satu candi terbesar di kawasan Dieng. Perbedaan bentuk Candi Bima dengan candi-candi di Dieng lainnya juga terlihat, perbedaan seperti memiliki arca kudu disetiap sisi dindingnya. Namun saat ini arca-arca itu dalam keadaan kosong, karena ada yang beberapa dimusiumkan ada juga yang dicuri orang.

Setelah selesai sarapan, kami sempatkan untuk berfoto ria bersama sanak saudara di SMANDA. Dengan berlatar cerahnya langit, kami beraksi untuk mengabadikan momen ini.

Eksotisme Candi Bima (dok Pribadi)
Ketika perut kenyang, foto sudah terselesaikan, kami semua berangkat menuju ketempat wisata melanjutkan perjalanan, yaitu sebuah kawah, kawah Sikidang namanya.

Menarinya Kawah Sikidang
Selesai makan sekitar pukul 08.00. Ketika sinar hangat mulai menyelimuti kulit, kami harus rela naik bus lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan menuju sebuah kawah yang diberi nama Kawah Sikidang. Diberi nama Kawah Sikidang karena aktifitas dari kawah ini seperti meloncat-loncat bak hewan Kijang.

Kawah-Kawah Kecil (dok Pribadi)
Kawah ini unik karena biasanya sebuah kawah tercipta didaerah puncak gunung. Kawah Sikidang seperti kawah dihamparan daratan, dan uniknya lagi banyak kawah kecil yang tidak tetap, tapi bisa berubah-ubah. Kawah-kawah kecil sering bermunculan dan kadang menghilang, tapi kawah utamanya tetap.

Sampai di Kawah Sikidang sekitar pukul 08.15, memang tidak lama dari Candi Bima, karena jaraknya memang tidak terlalu jauh. Ketika memasuki area parkir, kita akan disuguhi tulisan-tulisan Kawah Sikidang yang besar dengan latar belakang Kawah. Dipintu masuk kita akan disambut penjual yang menawarkan dagangannya dengan ramah, tentunya dengan harga yang murah.

Tepat di Belakang Kawah Sikidang (dok Pribadi)
Banyak area spot selfie disini, ada yang gratis tapi ada juga yang berbayar. Tinggal pilih sesuai selera kita. Disamping itu, tersedia telor yang direbus dari kawah langsung. Saya sempat mencicipi meski gratis dari Pak Anis, dan setelah dimakan ternyata memang rasanya sedikit berbeda.

Setelah puas menikmati keindahan kawah, kami akhirnya melanjutkan perjalanan berikutnya. Perjalanan berikutnya menuju sebuah tempat dimana kita bisa melihat Dieng hanya dengan duduk belaka.

Melihat Seluruh Dieng di DPT
Tujuan selanjutnya adalah sebuah tempat yang khusus untuk mengetahui kisah tentang Dieng dengan hanya duduk manis, namanya Dieng Plateau Theater (DPT). Bangunan ini diresmikan langsung oleh Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006.
Pintu Masuk ke DPT
Dieng Plateau Theater (DPT) merupakan sebuah tempat untuk mengetahui sejarah Dieng Pleteau dari sisi geografis, objek-objek wisata yang ada di Dieng, Budaya dan Kearifan Lokal, Sejarah, sampai festival Dieng yang memotong rambut anak-anak yang gimbal ada disini. Total durasi sekitar 23 menit, dengan 23 menit kita tau semua aspek-aspek diatas dengan ringkas.
Menonton di DPT (dok Pribadi)
Setelah 23 menit menonton bioskop khusus tentang Dieng ini, tiba saatnya untuk branjak kelokasi lainnya. Lokasi berikut yang dituju adalah sebuah telaga yang berjuta warna, Telaga Warna. 

Bermacam Warna di Telaga Warna

Perjalanan menuju ke Telaga Warna juga dekat. Jam sudah menunjukan pukul 10.30 ketika sampai di Telaga Warna. Telaga warna ini sagat rindang, asri dan sejuk karena masih banyak pohon-pohon besar dimana-mana. Ketika kita memasuki pintu masuk, pemandangan danau langsung menyambut. Warna Hijau bercampur dengan putih kekuningan jelas terlihat. Inilah yang membuat Telaga Warna menjadi unik.
Pintu Masuk Telaga Warna (dok Pribadi)
Perubahan warna itu sendiri tergantung dari sudut pandang kita, juga karena efek sinar matahari sehingga terjadi pembiasan warna-warna yang indah di permukaan. Langsung saja saya memposisikan foto, karena ada beberapa pohon yang tumbang sengaja dibiarkan, cocok untuk dijadikan tempat sandaran ketika ingin berfoto ria.
Pinggiran Telaga (dok Pribadi)
Tidak hanya pemandangan telaga saja, tapi ada pilihan wisata lain di Telaga Warna, yaitu beberapa gua-gua yang dipercaya mistisnya. Saya harus berjalan sebentar untuk mencapainya, tapi tenang saja, hamparan indah telaga tidak akan membuat kita bosan ketika berjalan. Disepanjang jalan juga ada jajanan dan hiburan, salah-satunya badut.

Setelah kita berjalan, sampailah pada pemandangan gua-gua itu, ada Gua Sumur Eyang Kumalasari, Gua Pengantin, Gua Jaran Resi Kendaliseto dan yang paling menyedot perhatian adalah Gua Semar. Ada juru kunci khusus untuk memasuki Gua Semar ini, konon para petinggi negara pada masa lalu juga pernah kesini dan bermeditasi. Bahkan pada hari-hari tertentu, umat Hindhu di Bali sengaja datang kesini untuk mengadakan ritual keagamaan. Sayang saya tidak bisa masuk ke Gua Semar, karena ada yang sedang bermediasi sehingga dikunci.
Gua Semar (dok Pribadi)
Banyak teman-teman yang tidak ikut ke gua-gua ini, mereka lebih senang duduk-duduk sambil memandang danau dengan iringan musik. Setelah selesai jelajah gua-gua, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi terakhir di sekitar Dieng, yaitu komplek Candi Deng.

Candi Terganteng: Arjuna
Rasa lelah sudah tak terasa, ingin rasanya memejamkan mata sebentar saja. Tapi lagi-lagi, lokasi dari Telaga Warna ke Candi Dieng tak jauh. Hanya butuh sekitar 15 menit, saya sampai di Candi Dieng sekitar pukul 11.45. Sebetulnya waktunya untuk sholat Dhuhur, tapi kami sempatkan dulu untuk menjelajah Candi Dieng atau yang mempunyai nama asli Komplek Candi Arjuna.
Candi Arjuna (dok Pribadi)
Komplek Candi Arjuna ini merupakan komplek candi tertua di Jawa yang dibangun pada masa Mataram Kuno. Keindahan candi bisa terlihat dari Candi Arjuna, Srikandi, Puntadewa, dan Candi Sambadra. Disebelah Barat ada Candi Semar, selain itu Candi-candi lain yang ada disekitarnya masih banyak, seperti Candi Gatotkaca, Setyaki, dan Dwarawati.
Indahnya Candi Arjuna (dok Pribadi)
Tidak lama memang, karena harus melanjutkan perjalanan. Tapi sebelum berangkat menuju kelokasi lainnya, kami foto-foto terlebih dulu. Tepat jam 1, kami melanjutkan ke lokasi berikutnya, bukan di Deing lagi. Tapi turun kebawah kaki pegunungan Dieng, yaitu ke sebuah danau terluas di Wonosobo, Danau Menjer.

Danau Luas yang (sedikit) tak Terurus: Menjer
Untuk menuju Danau Menjer, jarak tempuh yang harus dilalui lumayan jauh, sekitar 1 jam perjalanan. Cukup untuk menutup mata sejenak. Jalan menuju ke Danau Menjer sedikit berliku dan sempit. Danau yang terbentuk secara alami ini tidak hanya dijadikan wisata, tapi juga dijadikan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Nama PLTA ini adalah ini PLTA Garung.
Pintu Masuk Telaga Menjer (dok Pribadi)
Danau Menjer terletak di Desa Menjer, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Posisi Danau Menjer yang tepat berada di kaki pegunungan Dieng ini sebenarnya berpotensi dijadikan tempat wisata unggulan, tapi terlihat tidak terlalu terurus. Banyak sampah enceng gondok, dan sampah-sampah lainnya. Kapal yang disediakan juga tidak banyak, bahkan tempat makan dan spot selfi sudah rusak.
Keliling dengan Perahu (dok Pribadi)
Saya sendiri baru dengar dan lihat Danau Menjer, papan nama yang jarang ditemui juga jadi penyebab sepinya tempat ini. Padahal untuk ke Dieng, dari arah Wonosobo tempat ini terlewati karena satu jalur.

Pemandangan yang asri dan indah bisa kita nikmati dengan naik perahu. Kami sempatkan untuk naik. Tarif yang dikenakan cukup murah, hanya 15.000, kita sudah bisa diajak keliling seluruh danau yang luasnya sekitar 70 Ha dengan kedalaman 45 m ini. Sebuah bentangan alam yang indah dengan panorama bukit-ukit kecil yang mengitarinya.

Membeli oleh-oleh: Habis
Di lokasi terakhir ini, kami sampai pukul 15.00-an. Disana juga ada dangdut yang sedang pentas. Ada beberapa orang yang sedang joged dan nyawer. Saya hanya bisa melihat ambil duduk manis.

Setelah kumpul semua, kami mempersiapkan diri untuk pulang. Tapi sebelumnya, kami makan dan membeli oleh-oleh terlebih dahulu. Perjalanan pulang dilalui dengan candaan dan nyanyian. Banyak ibu bapak yang karokean, atau hanya sekedar bercanda. Sampai di SMA Negeri 2 Purbalingga pukul 19.30. Kami lalui hari ini dengan sebuah kenangan yang akan menghampiri pada waktunya;( 
Pusat Oleh-oleh (dok Pribadi)
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Lensa Wisata Tour yang menemani perjalanan ini. Kru-krunya juga ramah dan fasilitasnya juga mantap. Biro wisata ini juga yang mengantarkan kami ke Bali bulan April silam. Artikelnya bisa dilihat DISINI.
Hanya catatan perjalanan kecil, kesalahan murni dari penulis. Mohon maaf apabila ada kata yang tidak berkenan.