Tuesday, September 5, 2017

Lautan Rasa || Cerpen

Pantai Sandakan
arifsae.com, cerpen - Ini kali ke dua aku duduk dari pembaringan. Berulang kali aku mencoba menutup mata dan membuka pintu dunia mimpi, namun tetap gagal dipenghujung. Kutarik telepon genggam yang terletak di meja kecil berwarna merah muda, sekarang menunjukan pukul dua lewat lima belas menit dini hari waktu Sandakan. Berarti sudah lebih satu jam aku uring-uringan di tempat tidur, teringat cerita seharian tadi di sekolah.

Pagi itu langit terlihat cantik meski tidak terlalu cerah, ada purnama tengah tersipu malu saat disapa sinar sang mentari. Aku lihat awan seakan cemburu dengan tingkah mereka hingga bergegas menyembunyikan purnama dibalakang hitamnya. Mentari sepertinya bersedih kehilangan purnama yang entah kapan lagi bisa dilihatnya. Sama seperti gadis kecil di sudut ruangan, ketika aku mengajar di kelas tiga.

“Kenapa sayang? Kenapa menangis?” Tanyaku saat menghampirinya, tanganku langsung mengusap lembut kepalanya, terasa lembut rambut lurusnya yang di ikat dua kuncir kuda.

“Josep ibu, Josep mencoret latihan ku!” Terangnya dengan tangan tetap mengucek-ngucek matanya yang basah.

Tersenyum yang bisa kulakukan ketika mendengar jawabanya. Saat mataku mencari keberadaan Josep, kudapati dia tengah berada dimejanya. Berjarak dua meja dari sini, sibuk dengan pensil dan bukunya, ku tarik nafas panjang agar energi positifku tetap bertahan di tubuh. Dalam hati ku berkata “Dia lagi, dia lagi.” Tidak heran jika itu jawaban sang gadis kecil, karena memang selalu Josep, Josep dan Josep lagi.

“Ya sudah, sekarang diam ya nak, Josep kan sudah kembali ke mejanya, lihat lah di atas Pohon Kelapa itu, ada burung berkejaran dengan anaknya.” Ucapku sebagai usaha agar gadis kecil ini tidak lagi menangis. Dia mengikuti arah telunjuku, sambil melihat kearah burung yang bekejar-kejaran bersama anaknya di atas Pohon Kelapa itu.

“Sini ibu bantu padamkan coretan Josep tadi ya anak manis.” Sambil memberinya seulas senyum lagi padanya. Gadis kecil ini sekarang sudah berhenti menangis dan melanjutkan lagi latihanya. Untung kali ini kesalahan yang dibuat Josep padanya tidak terlalu membuatnya bersedih, dan aku tidak terlalu banyak mengeluarkan seni mendiamkan anak yang sedang menangis, aku sangat takut kalau Josep mengganggu gadis kecil ini. Aku takut masalah akan panjang jika kabar dia dinganggu Josep di dengar orang tuanya, orang tuanya sudah pernah memberi Josep peringatan terakhir untuk tidak mengganggu anaknya, setelah coretan dibuku latihanya hilang, aku segera meninggalkanya.

“Terima kasih ibu.” Ucapnya saat aku mulai melangkah.

“Sama-sama anak manis.” Jawabku sambil sambil berbalik melihat kepadanya dan mengusap kepalanya lagi.

Sekarang pandanganku kembali lagi Josep, ternyata dia sudah tidak lagi berada di mejanya. “Josep, Joseeep, Joooseeeep, kesini nak!” Panggilku.

Perlu beberapa kali memang untuk memanggilnya, sebab saat ini dia sedang membuat keributan dimeja temanya, menggoyang-goyang meja saat temanya menulis. Saat panggilanku sudah didengarnya dia berlari-lari kecil dan bernyanyi sambil menuju ketempatku.

“Ada apa ibu?” Jawabnya dengan nada tidak bersalah, seperti tidak terjadi keributan disana akibat perbuatanya

“Sudah selesai mengerjakan tugasnya?”

“Sudah ibu, dariiiii tadiii lagi.” Jawabnya dengan nada penuh tekanan menandakan pekerjaanya sudah siap dari tadi dan diikuti dengan gerakan kedua tanganya terbuka lebar kesamping.

“Ooo sudah ya, kalau sekarang ibu beri lagi tugas istimewa kepada Josep karena menyelesaikan tugas-tugas tadi dengan cepat, sanggupkah Josep?” Ucapku padanya dengan nada menantang kesanggupanya.

“Sanggup lah, Bu.” Jawabnya dengan tangan memberi hormat, laksana prajurit menyanggupi perintah konandanya

“Bagi yang banyak ya ibu, Josep ini Ibu, Josep.” Lanjutnya dengan memukulkan kedua tanganya di dada, seakan benar-benar mampu dan sanggup mengerjakan tugas selanjutnya. Bukan Josep namanya jika tidak terpancing dengan tantangan yang diberikan, dengan cepat kugiring dia ke mejanya, diapun dengan senang hati melangkah terlihat dari lompatan-lompatan kecil yang dilakukanya.

Sesampai dimejanya aku memberi sepuluh soal baru matematika, berharap dia akan sedikit lama mengerjakan hingga teman-temanya yang lain selesai mengerjakan soal sebelumnya.

Itulah Josep “anak ajaib” pintar matematika dan ceria, bahkan boleh dikatakan terlalu ceria dan riang, tidak pernah duduk diam kursinya, selalu berpindah dari meja satu ke meja lain. Meski dia hanya sekedar melihat kesiapan pekerjaan temannya, bahkan kadang hanya sekedar mengganggu. Setiap ada teriakan dan aduan dari peserta didik dikelas tiga, selalu nama yang disebut adalah Josep, baik itu laki-laki ataupun perempuan.

Meski demikian aku suka dengannya,  bagi ku dia adalah anak aktif bukan anak nakal seperti yang selalu dikatakan temanya, dia akan mencari kesibukan jika dimejanya sudah tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, anak aktif  biasanya pertanda anak cerdas, anak yang dengan keaktifanya itu dapat mengenal banyak hal. Oleh sebab itu, Josep sering aku beri tugas tambahan jika lebih awal menyelesaikan tugasnya, terkadang memberi soal lanjutan, kadang membimbingnya menghafalkan perkalian, bahkan kadang melukis. Aku berusaha mengalihkan prilakunya yang aktif dengan tambahan-tambahan tugas agar dia tidak mengganggu teman-temanya.

Saat masih mengurusi Josep, aku dihampiri oleh Aisyah siswa kelas lima yang langsung menyodorkan buku latihanya. Aku mengajar kelas rangkap yaitu kelas tiga dan kelas lima. Lokasi yang kami sebut kelas ini sangat istimewa, berada diruang terbuka di teras sekolah, tidak ada pembatas yang membedakan antara kelas tiga dan kelas lima, saat aku berada di kelas tiga aku bisa melihat siswa dan situasi kelas lima, bahkan aku bisa memanggil peserta didik kelas lima saat berada dikelas tiga. Jika ada orang lain yang melihat kelas kami, pasti meraka beranggapan kami hanya satu kelas dengan dua papan tulis, karena memang tidak ada pembatas dan seperti bergabung menjadi satu kesatuan. Itu sebabnya Aisyah bisa langsung berjalan ke kelas tiga mengantar latihanya yang sudah selesai dikerjakan.

“Sudah siap ya, Aisyah.” Tanya ku saat dia berada di dekatku yang masih menuliskan soal-soal kepada Josep.

“Sudah, Bu.” Jawabnya

Bukunya aku ambil, sambil melihat kearah kelas lima yang hanya berjarak satu meja dari tempat aku duduk. Aku melihat teman-temanya masih menundukan kepala dan menulis, ada yang membuka dan membengkokkan jarinya pertanda dia sedang menghitung, ada yang berdiskusi dengan temanya sambil menunjuk-nunjuk bukunya, dapat ku simpulkan mereka belum selesai mengerjakan latihanya, hingga aku putuskan untuk mengoreksi pekerjaan Aisyah, dengan cepat ku selesaikan menulis soal untuk Josep.

“Aisyah, ini salah nak.” Kataku sambil melihatkan kesalahanya, menandai tugasnya yang salah, dan aisyah memperhatikan coretan ku.

“Coba lihat lagi cara penggalianya, mungkin ada kelupaan dalam penambahan angka yang disimpan dari perkalian sebelumnya.” Ucapku.

“Iya bu.” Jawab Aisyah sambil mengambil bukunya, dan bermaksud kembali ke tempat duduknya.

“Perbaiki disina saja Aisyah.” Pintaku menahanya, sambil menarik kursi disampingku dan memberikannya kepada Aisyah, karena ku tau kesalahan pada tugasnya hanya sedikit. Sekarang Aisyah duduk di dekat ku, satu meja dengan Josep yang juga sedang sibuk membuka dan menutup jari-jarinya, berusaha menyelesaikan tugas tambahanya dengan sungguh-sungguh.

Aisyah pun mencari halaman tempat dia mengalikan angka-angka tadi, setelah bertemu, dia langsung menghitung kembali, dengan sesekali membuka jari untuk membantu menghitung.

“Ooo. Iya kan, aku lupa menambahkan dengan angka satu yang disimpan tadi, hasil perkalian empat dengan tiga.” Celetupnya saat sibuk mengulangi perkalian bersusunya.

“Ini bu, sudah siap, kali ini sudah benar” jawabnya dengan tertawa kecil dan menyodorkan lagi bukunya.

Ku ambil bukunya lalu kutuliskan nilai sempurna seratus. Setelah itu, Aisyah kuminta kembali ke kelasnya, dengan tugas tambahan, membatu mengajarkan langkah-langkah pengerjaan soal-soal yang ada kepada temanya.

Beberapa ahli mengatakan dalam bukunya masing-masing, bahwa salah satu cara terbaik dan cepat untuk membantu pemahaman peserta didik tentang materi pembelajaran adalah dengan bantuan teman sejawat, itulah dasar aku meminta Aisyah membantu temanya. Sesampainya di tempat duduknya Aisyah langsung membantu teman satu meja dengannya, aku ingatkan lagi Aisyah untuk mengajarkan cara bukan memberi tahu hasil atau jawabanya.

Dari kejauhan aku melihat bahagia pada Aisyah yang mengajar temanya dengan sedikit canda dan tawa. Tapi tidak dengan aku yang sedih melihatnya tertawa riang, sebab ini hari terakhir aku melihat tawanya, hari terakhir aku memeriksa latihannya dan hari terakhir juga dia membatu temanya belajar, besok dia akan berhenti sekolah, besok tidak ada lagi Aisyah yang riang dan suka membantu temanya, sedih tidak berjumpa lagi dengan anak ku ini.

Bukan hanya sedih tidak berjumpa lagi tapi juga karena memikirkan pendidikanya, di tempat barunya tidak ada sekolah dan otomatis dia akan putus sekolah. Sangat disayangkan anak berbakat harus putus sekolah. Pernah aku sarankan padanya untuk tetap disini agar bisa sekolah, tinggal bersama keluarga Pak Ciknya. Pak Ciknya pemilik rumah yang kami sewa sebagai sekolah, selama ini dia selalu di rumah ini, namun ternyata masalahnya bukan dengan siapanya dia tinggal, masalahnya adalah dia harus ikut dengan ibu dan bapaknya untuk menjaga adik-adiknya. Apalagi ibunya baru melahirkan beberapa bulan yang lalu, dan dia juga yang akan membatu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah, terutama saat ibunya pergi membantu ayahnya dikebun Sawit.

Tidak hanya Aisyah yang berhenti sekolah dengan alasan seperti itu, beberapa peserta didik yang lain juga mengalami nasib yang sama. Bahkan ada yang rumahnya tidak jauh dari sekolah, ada yang sudah berumur dua belas tahun belum pandai membaca, baru masuk sekolah, harus berhenti dengan alasan yang sama, mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus berhenti dan tidak ada pilihan lain.

Sedih dan sangat sedih membayangkan seperti apa kedepanya mereka ini, apalagi kebanyakan dari orang tua mereka belum memiliki surat yang bagus, mereka tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Dalam hati aku bertanya, “Akankah mereka terus disini, dan akan terus masuk ke pedalaman ladang Sawit untuk mencari penghidupan dan menghindari polisi?”

Entahlah aku tidak bisa menjawabnya, jangankan untuk menjawab, membayangkan ini semua sangat sulit bagiku. Aku hanya bisa berdo’a, berharap dan berserah kepada sang pemilik alam semesta ini, semoga mereka generasi bangsa bisa menemukan jalan terbaik untuk menjumpai kesuksesanya, jika memang tidak bisa melalui pendidikan formal.
                                                     ***
Kulirik lagi jam di telepon genggam, sekarang menunjukan pukul dua empat puluh lima dini hari, makin terasa dinginnya malam menusuk tulang, aroma tanah makin lama makin kental terasa menyusup hidung, petir mengelegar dilangit malam, cahaya kilat berkelap kelip samar-samar terlihat dari penutup jendela. Namun Josep dan Aisyah masih menari di otak ku serta teringat semua peserta didik yang selama ini menghabiskan harinya dari pukul tujuh pagi hingga pukul dua belas siang.

Tidak bisa aku berlama-lama uring-uringan seperti ini, malam semakin larut mataku tidak bisa tidur, besok harus kesekolah dan aku tidak mau terlambat, akhirnya aku putuskan untuk menulis semua yang menjadi beban fikiranku di malam ini. Kuambil pena dan buku catatan harian, kumulai menulis kembali kejadian tadi siang, dan semua kisah tentang Josep dan Aisyah, serta mereka anak didikku.

Bagiku mereka mereka adalah lautan rasa yang membuatku selalu ingin menyelaminya lagi, lagi dan lagi, entah itu lewat penyampaian materi pelajaran, entah itu lewat lukisan soal-soal, entah itu lewat drama ujian yang terpadu dalam, bahagia, kecewa, canda tawa dan teriakan kenakalan dari mereka.

Lautan rasa yang dimana aku merasa ada kesenangan tak terlukiskan, ada satu rasa “bahagia” yang membuat hati yang tadinya menahan sedih maupun penat, seketika itu bisa menjadi bahagia maupun hilang penat, serta mampu menarik sebuah senyuman di bibir ini. Rasa bahagia berperan sebagai obat, sebagai penyembuh, sebagai penguat, sebagai pelipur lara dan sebagai embun dan menjalani hidup di tempat ini. Tingkah lucu, canda tawa, kata-kata canda rayu dari mulut mungil mereka yang menjadi sumber penyembuh itu, belum tentu esok masih ku jumpai pada mereka, bahkan tak jarang mereka membalikan rasa yang ada, saat senyum semringah yang sudah terpancar di wajahku harus berubah menjadi kesedihan. Seperti ketika wajah ibu peri menjelma padaku dengan mudahnya dapat mereka ubah menjadi wajah nenek sihir yang menakutkan yang dapat mengeluarkan api.

Itulah istimewanya menjadi guru, setiap hari bertemu dengan anak yang sama di tempat yang sama, namun selalu mengalami pengalaman berbeda setiap harinya. Hari demi hari mereka juga tumbuh secara fisik dan berkembang secara fikiran, hari demi hari selalu berbeda. Tingkahlaku mereka itu tidak bisa kita kendalikan, karena itu milik mereka sendiri, tapi sebagai guru, aku harus bisa mengalihkan dan merubah arah tingkah laku itu menjadi hal-hal menyenangkan dan menghasilkan kebaikan pada dirinya sendiri dan semua orang.

Katanya dulu Josep sempat akan di berhentikan dari sekolah, gara-gara menganggu temannya, setiap hari selalu ada anak yang menangis olehnya, setiap hari juga neneknya di telpon orang tua peserta didik untuk memberitahu bagaimana keadaan anak mereka sampai dirumah. Meski banyak aduan permasalahan Josep, tetap tidak mau diberhentikan sekolah, dia ingin belajar, dia ingin sekolah. Tapi sekarang Josep sudah mulai berubah, dengan cara pengalihan tingkah laku dari aktif mengganggu temanya menjadi aktif mengerjakan tugas tambahan yang menyenangkan.

Berbeda dengan Aisyah siswa kelas lima yang pintar, semangat, pantang menyerah, riang dan bercita-cita tinggi, harus merelakan angan dan cita-citanya kandas tanpa syarat lantaran ikut orang tua terus masuk kepedalaman ladang Sawit, dan mengabdikian diri menjaga dan mengurusi adik-adiknya, meski tetap ingin mendapat pendidikan di sekolah. Aisyah sangat sedih harus meninggalkan sekolah, air matanya tidak bisa dibendungnya saat dia bercerita padaku tentang penolakan batinya terhadap keadaanya saat ini, tetapi yang lebih menyedihkan dia tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima, terlepas dari suka tidak suka, mau tidak mau, yang membuatku sedikit tenang adalah dia berjanji mengingat dan mengamalkan pesanku “Dimanapun kita berada lakukan yang terbaik setiap harinya karena bagaimana kita esok tergantung bagaimana kita menjalani kehidupan hari ini, belajar dan terus belajar meski tidak bisa belajar disekolah, bukan berarti tidak akan belajar lagi. Kamu terhenti hanya belajar ilmu pengetahun disekolah tapi ilmu pengetahun dimasyarakat tentang seni kehidupan tetap ada dan masih harus dipelajari, belajar belajar dan belajarlah, karena belajar dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun, karena sejatinya kita hidup adalah untuk belajar, setiap hari kita harus berubah, berubah menuju arah yang lebih baik dan berusaha sebaik mungkin.”

Benar kata penyair jika, “Perasaan bisa naik turun.” Hari ini senang besok sedih. Seperti Aisyah yang sekarang sedih meninggalkan sekolah, Josep yang senang dan tertawa jika mengganggu temanya harus menangis dan bersedih saat dimarahi oleh orang tuanya sebagai balasan kenakalanya.

Orang bisa berubah jadi lebih baik atau jadi lebih buruk, seperti Josep yang dulu nakal, sekarang sudah mulai tidak nakal lagi dan memperbaiki tingkah lakunya.

“Nasib juga bisa berganti.” Hari ini bahagia, besok penuh duka cita ataupun sebaliknya, layaknya Aisyah yang tidak lagi menebar kebahagiaan disekolah saat belajar dan mengajarkan temanya, begitu juga dengan Josep yang tetap tertawa setelah menangis saat dimarahi.

“Pun beban kehidupan.” Hari ini lapang besok terasa sempit, atau pun sebaliknya, seperti Aisyah yang sekarang mengabdi kepada orang tuanya, berkorban demi adik-adiknya dan meninggalkan dunia pendidikannya di sekolah. Begitu juga Josep yang pernah menanggung beban kesedihan karena ingin diberhentikan dari sekolah oleh neneknya.

Tetapi bagi orang-orang yang paham, “Komitmen selalu tetap, akan terus bersama melewati apapun situasinya.” Seperti Josep yang tetap ingin belajar dan sekolah meski terancam akan di berhentikan, tetap ada keinginan untuk belajar meski mengganggu temannya, begitu juga dengan Aisyah yang berjanji akan melakukan yang terbaik setiap harinya, dimanapun dan dalam keadaan apapun meski sudah tidak berada dilingkungan pendidikan formal. 

Dan aku seorang guru akan selalu berusaha mendidik dengan baik, merubah tingkah laku anak didik kearah yang lebih baik, bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, meski ada dan tidak ada Aisyah, aku harus mendidik sebaik mungkin. Siapa dan bagaimana keadaan peserta didiknya, sekolah dan tidak sekolah mereka tetap anak-anak didikku. Perubahan sikap yang aku harapkan dari mereka berubah kerah yang lebih baik, perubahan yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan orang lain. Aku jadi teringat kata motivasi,

“Perasaan bisa naik turun
Orang bisa berubah
Nasib juga bisa berganti pun beban kehidupan
Tetapi bagi yang paham komitmen selalu tetap”
                                     “Tere Liye”

Berakhirlah malam yang dingin ini dengan cerita Josep dan Aisyah di dalam lautan rasa yang mengganggu pikiranku, semua ceritanya ku tulis dalam buku harian bersampul merah yang membuatku dapat tertidur malam ini.

Oleh: Evo Mardila, CLC Nusantara