Thursday, November 16, 2017

Anak Sapi Sabah || Cerpen

Anak Anjung, Dok Pribadi
arifsae.com, cerpen - Di kesunyian dan dinginya fajar, musik alarm mengalun merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi. Mataku yang tadinya terpejam kini sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 05.10. Aku masih tetap terbaring, bukan berarti malas. Kuhayati setiap lirik dan irama musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff terdengar, semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun  dan langsung kubuka jendela kamarku. Angin pagi berhembus dingin menyegarkan seperti menusuk tulang, walaupun memang masih gelap. Bibir ini berbisik, ucapan do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak kukenal.

Aku siap melewati hari ini. Setelah melewati malam penuh kesunyian di bilik kayu, sendiri, sepi, hanya lolongan anjing yang saling bersahutan dan suara burung hantu menambah kecamnya malam. Di rumah yang sudah tua ini aku tinggal sendiri, rumah yang sudah lama ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya, hanya kasur sisa yang aku gunakan, tanpa lentera atau cahaya lain, karena memang lampu mati semalam. Aku kumpulkan semangat dan aku siap menjalani hari ini, kumulai dengan masak untuk sarapan pagi serta bersiap mandi, tak biasanya aku masak dirumah, tapi disini semua kemudahan itu hilang, semua harus mandiri. Semua harus dikerjakan sendiri.

Seperti biasa hari ini aku berangkat lebih pagi, perjalanan 1,5 KM ke sekolah yang harus kutempuh untuk memulai hari, bekerja demi mimpi, demi anak-anak Negeri. Perjalanan melewati hutan sawit dengan kabut yang menutupi, seakan berjalan di tengah-tengah awan, kondisi jalan yang rusak dan berbukit harus naik dan turun sampai keringat berpeluh. Orang-orang sudah berlalu lalang dengan membawa seperangkat alat kerjanya, Tombak, Sabit dan lain sebagainya. Mereka ramah, selalu tersenyum dan menegur sapa denganku, aku merasa dihormati dan aku merasa berharga, dari senyuman mereka seakan memberikan kekuatan tersendiri sehingga aku semakin bersemangat, sesekali aku melihat kanan dan kiri dalam perjalanan menuju tempat sekolah, deretan rumah warga yang tersusun rapi, tidak ada perbedaan bangunan, semua sama berderet menjadi satu.

Para ibu yang sudah didepan rumah juga bersiap untuk bekerja. Mereka selalu mengucap salam ketika aku lewat,

“Selamat Pagi Cikgu.” Sapa mereka.

“Selamat pagi juga, mau berangkat kerja, Macik?” Dengan senyuman aku menjawab.

Hampir setiap hari aku bertutur sapa dengan warga. Mereka sangat baik, sangat menerimaku disini. Serasa dirumah sendiri, padahal ini Pulau Borneo, ini Sabah, bukan Indonesia. Aku bertugas mengajar anak-anak Indonesia yang berada di Sabah. Sudah tujuh bulan aku disini, mecoba merajut mimpi bersama anak-anak Indonesia yang ada disini, mereka adalah anak-anak pekerja sawit, mereka butuh pendidikan, mereka butuh sekolah demi masa depan.

Jangan pernah membayangkan lengkapnya fasilitas disini, ruang guru yang bercampur menjadi satu dengan ruang kelas siswa. Ruang kelas tanpa sekat mulai dari Tadika (setingkat TK), Darjah satu sampai Darjah enam (Setingkat Sekolah Dasar). Kadang saat pembelajaran suara kami saling bersahutan antar kami para guru. Tempatku bertugas bernama Humana Andum, ada 3 Cikgu disni. Cikgu Lorni dan Cikgu Umi adalah guru asli dari Malaysia yang sama-sama mengajar di satu sekolah ini. Satu guru merangkap beberapa kelas, kelas kami dibagi menjadi tiga.

Kendala terbesar menjadi guru disini adalah bahasa yang berbeda. Bahasa pengantar itulah yang kadang-kadang membuatku kesulitan dalam menyampaikan materi, ditambah kurikulum yang berbeda. Aku diberikan tugas mengajar Pendidikan Agama Islam, Matematik dan Bahasa Inggris untuk tahap 2 (Kelas 4 sampai Kelas 6), tidak ada materi bahasa Indonesia, PKn, IPS atau materi lain yang berasal dari Indonesia. Padahal mereka ini sebagian besar berasal dari Indonesia, bagaimana mereka bangga pada negaranya, kalau dengan negaranya sendiri mereka tidak kenal. Itulah mengapa aku disini, karena tugasku adalah untuk membuat mereka mengenal dan cinta dengan negaranya, tentunya dengan menyisipkan materi PKn, IPS dan yang lain dalam pembelajaran.

Kondisi sebelum ada sekolah ini sungguh miris. Banyak dari mereka yang terpaksa bekerja di blok-blok ladang sawit dengan membantu memetik biji sawit, kondisi mereka sangat memprihatinkan karena tidak mempunyai dokumen resmi seperti paspor dan akta kelahiran. Mereka seperti imigran gelap, mereka selalu bersembunyi dari kejaran polis yang siap menangkap mereka. Tidak hanya anak-anak, bahkan orang tua mereka pun tidak punya dokumen resmi. Untuk menikah saja, mereka hanya “di bawah tangan” tanpa surat resmi, hanya dinikahkan oleh seseorang yang mereka sebut imam kampong. Mereka seperti terjebak dan terperangkap oleh keadaan yang memaksa mereka untuk tetap disana dan tidak bisa kemana mana.

Kondisi inilah yang terjadi di lapangan, menjadi guru disini harus mampu multi tasking dan multi talented, tidak hanya mengajar saja tapi harus bisa melayani masyarakat Indonesia yang berada disini dan mengembalikan mereka ke negara Indonesia, melalui pendidikan. Formula ini dinilai sangat tepat karena akses pendidikanlah yang dapat mengantarkan mereka menggapai cita-citanya dan bisa memutus rantai anak-anak yang tetap tinggal ladang sawit ini.

Humana bukan satu-satunya sekolah yang berada di Ladang ini, disini juga ada CLC (Comunity Learning Center) atau setingkat SMP. Aku sangat bersyukur ada CLC disini, karena CLC sepenuhnya menggunakan kurikulum Indonesia. Semua muridnya juga berasal dari Indonesia, waktu pembelajaran dilaksanakan setelah pembelajaran di Humana berakhir, dari pukul 14.00 sampai dengan 17.30. Jangan heran kalau banyak dari mereka sudah berusia lebih dari 15 tahun, itu karena terlambat masuk dan akhirnya berhenti bersekolah.

Awalnya mereka tidak mau sekolah lagi, karena bagi mereka sekolah hanya membuang waktu, dan tidak akan mengubah nasib. Mereka lebih memilih untuk bekerja karena bisa mendapatkan uang yang lebih cepat. Namun aku tak mau menyerah, dengan susah payah semua anak aku data, meski harus singgah dari satu rumah ke rumah lainnya. Aku mengajak mereka kembali sekolah, sering kali penolakan yang aku dapat. Penolakan itu tidak hanya dari orang tua mereka, tapi dari mereka sendiri. Aku tidak menyerah, kalau aku menyerah disini bagaimana dengan nasib mereka kedepanya. Aku mencoba meyakinkan mereka dan orang tua tentang bagaimana pentingnya pendidikan demi masa depan mereka, sedikit demi sedikit usahaku membuahkan hasil.

Diluar dugaan banyak dari mereka yang usianya sudah lewat juga menjadi tertarik untuk ikut sekolah lagi, tapi sayang karena usia yang membatasi untuk sekolah reguler di CLC. Namun aku arahkan mereka untuk menempuh program Paket A, Paket B maupun Paket C. Banyak dari mereka yang belum bisa membaca dan menulis. Tidak hanya membaca dan menulis beribadah kewajiban seperti solat saja tidak bisa. Kondisi masyarakat ladang yang tidak religius menyebabkan semua ini terjadi, orang tua mereka bekerja dari jam lima pagi sampai jam tiga sore, yang menyebabkan mereka jauh dari kasih sayang orang tua. Mereka terbiasa bicara kasar karena orang tuanya juga melakukan hal sama, ini menyebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang tua.

Kondisi ini harus dirubah, pelan-pelan. Caranya dengan mengajak mereka ke mushola untuk praktik solat, sedikit demi sedikit usahaku membuahkan hasil, mereka sekarang banyak yang sudah pandai solat walaupun bacaan masih banyak yang salah. Mushola panggung yang diberi nama Nurul Iman ini menjadi saksi bisu langkah perubahan hidup mereka, mushola yang sudah sangat tua ini jarang sekali di kunjungi masyarakat, bahkan tak jarang saat waktu sholat tiba mushola ini kosong tidak ada jamaah yang pergi ke mushola, perubahan harus dimulai sedikit demi sedikit. Dari siswa yang aku ajak setiap hari ke mushola membuat sedikit warga melihat dan ikut serta sholat berjamaah, bahkan sekarang mushola sudah di renovasi dan di cat ulang sehingga terlihat lebih baik dan menarik, sekarang sudah banyak yang ke mushola pada saat jam solat walaupun kebanyakan di penuhi oleh anak-anak CLC.
                                                       ***
Waktu berlalu begitu cepat. Malam itu kami ditugaskan untuk mengikuti pelatihan Kurikulum 2013 di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), pelatihan ini terbuka untuk masing-masing guru CLC di wilayah Sabah, aku bersama Pengeleola CLC, namanya Pak Susmin Ito. Beliau adalah guru tahap 6 yang ditugaskan di CLC, beliau sering membantuku saat pertama kali datang di negeri Sabah ini. Kami janjian bertemu di Batu 32 Check Point sebuah lokasi persimpangan yang menghubungkan tiga kota besar di Sabah (Tawau, Kota Kinabalu dan Sandakan).

Tujuan kami menunggu di batu 32 Check Point adalah agar memudahkan kami dalam mendapatkan bas, karena selain bas yang dari Tawau, lewat juga bas dari Sandakan. Dari gate Andum menunggu Lori (Truk Besar pengangkut Biji Sawit), berharap ada Lori yang lewat batu 32 Check Poin, karena sudah tidak mungkin ada kendaraan yang bisa mengantar ku pergi ke Check Poin, setelah lama aku menunggu akhirnya ada lori yang lewat, aku menghadang lori tersebut dengan melambaikan tangan tepat berada didepan lori,

“Pak Cik, mau ke Tawau kah?” Tanyaku ke Driver Lori itu.

“Iya Cikgu, ini mau ke Tawau.”

“Boleh ka saya ikut?” Tanyaku menegaskan lagi.

“Boleh Cikgu, naiklah.” Jawabnya

Ukuran lori yang sangat besar membuatku agak kesusahan naik ke atas, di tambah barang bawaanku yang lumayan banyak. Melihatku yang kesusahan naik Lori, ada Pak Cik penjaga gate yang menwarkan bantuan,

“Bole kah Cikgu naik tu lori?” Tanya nya.

“Susah Pak Cik, apalgi barang bawaan saya banyak.” Jawabku.

“Mari saya bantu Cikgu.” Pakcik penjaga gate menawarkan bantuannya. Dengan senang hati aku mempersilahkan.

“Terimakasih Pak Cik.” Sahutku.

Badanku didorong naik keatas, kemudian barang bawaanku terangkat dan di masukkan kedalam Lori,

“Terimakasih, Pak Cik.” Jawabku kepada Pak Cik yang sudah menolongku.

Lori itu melaju pelan. Karena jalan yang dilewati menurun, badanku ikut terbawa. Pak Cik sopir memuka percakapan,

“Mau kemana, Cikgu?” Pakcik Driver lori Tanya.

“Saya mau ke Batu 32 Check Poin, Pak Cik.” Jawabku.

“Mau ada acara apa, Cikgu?” Tanyanya lagi.

“Ini ada pelatihan di KK, Pak Cik.”

“Oh, ke KK.” Sahutnya lagi.

Jarak ladang Andum ke Batu 32 cukup dekat, hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja. Tidak lama kemudian, aku sampai Batu 32, Pak Ito sudah menunggu disana. Aku langsung datang menghampiri, kami berdua menunggu bas cukup lama dan kami memutuskan untuk makan di Restoran Sri Sentosa yang ada di Batu 32,

Suasana pada malam itu sungguh sangat dingin, sehingga kalau minum yang panas akan terasa sedap dan nikmat, Tea Tarik (Teh Susu Panas) menjadi pilihanku. Jam sudah menunjukkan jam 22.14 dan belum nampak juga bas yang lewat, padahal kami di restoran sudah cukup lama dari jam 21.05, kami sudah masuk restoran, karena minuman kami sudah habis dan bas belum juga nampak akhirnya kami memtuskan untuk memesan kembali makanan ringan, sepotong kue hangat. Lama kami menunggu dan belum ada juga, padahal jam sudah menunjukkan jam 23.00, akhirnya Pak Ito memutuskan untuk menunggu bas di jalan raya, di sebuah Bas Stop (Halte) yang sudah gelap, karena penerangan tidak ada di kawasan ini.

Sembari menunggu bas kita menghabiskan waktu dengan ngobrol panjang lebar, tentang pengalaman Pak Ito selama berada di Sabah. Setelah lama menunggu, terdengar suara kendaraan lewat dan memberi sinyal lampu, akhirnya basnya datang juga, kami bergegas untuk ikut bas itu, tapi karena terlalu gelap disitu sepertinya driver bas tidak melihat kami sedang menunggu, Pak Ito lari mengejar bas itu dan aku menyiapkan barang yang akan kami bawa, terdengar suara jatuh “Broak.”

“Kenapa, Pak Ito?” Tanyaku.

“Saya jatuh pak, hati-hati pak disitu ada parit.” Sambil menunjuk parit itu, Pak Ito sambil berlalu dan terus mengejar bas itu.

Aku pun hati-hati dan mencari dimana letak paritnya, alih-alih menghindari parit itu, “Gubrak” saya pun jatuh di parit yang sama dengan Pak Ito. Sakit sekali.

Pak Ito yang terus mengejar bas itu, bas itupun berhenti, dan menurunkan penumpang dan langsung berlalu tanpa menunggu kami, ternyata benar bas itu tidak melihat kami sedang menunggu, sayapun menceritakan sama Pak Ito kalau terjatuh juga di parit yang sama, kami berdua tertawa terbahak-bahak, bodohnya diriku yang tak belajar dari pengalaman.
                                                    ***
Siang itu Jam 12.15 selepas aku mengajar Humana, aku pulang dengan diantar Cikgu Lorni, seperti biasa kami pulang bersama, setiap hari aku selalu menumpang kereta Cikgu Lorni. Walaupun perempuan Cikgu Lorni pandai membawa mobil, beliau adalah wanita kekinian yang hebat, yang bisa mengendarai dengan kondisi jalan yang naik turun seperti bukit, belum lagi ditambah dengan jalan yang rusak. Kalau hujan tiba bisa dibayangkan jalan yang berlumpur licin itu menyusahkan kendaraan untuk melalui jalan itu, dengan lincahnya Cikgu mengendarai mobil, kadang-kadang aku sampai pegangan sangat kuat untuk melewati jalan yang licin itu, Cikgu Lorni layaknya driver off road professional.

“Okey Cikgu, ready?” Tanyanya.

“Siap Cikgu Lorni, siap.” Jawabku.

Sambil memegang tuas rem tangan, cikgu Lorni bersiap-siap untuk melewati jalan licin yang menanjak itu,

“Brum brum brum.” Suara knalpot mesin mobil Cikgu Lorni yang meraung-raung siap menghdapai jalan itu, dengan sedikit ancang-ancang, gas mulai di injak, tuas rem tangan dilepaskan, badanku terhentak dengan sedikit goyangan, mobil Cikgu Lorni sedikit selip, dan bau ban yang sudah tercium karena tidak bisa jalan kerana selip, kaki Cikgu melepas rem dan mobil mulai mundur lagi, kali ini dengan kecepatan yang tinggi Cikgu Lorni mulai injak pedal gas, sekali lagi dengan sedikit goyangan akhirnya mobil Cikgu Lorni dapat melewati jalan yang licin berlumpur dan menanjak itu,

“Akhirnya berhasil juga, Cikgu.” Sahutku.

“Iya, Cikgu.” Dengan senyuman beliau menjawab,

Tidak lama kemudian kita sampai dirumah, aku buka pintu mobil Cikgu Lorni sambil mengucapkan terimakasih,

Sesampainya dirumah tugas sehari-hari sudah menunggu, mulai cuci piring, masak dan membersihkan rumah. Siang itu cuaca panas, aku istirahat di kamar tidur. Belum lama terlelap ada suara motor dan memanggil namaku,

“Pak Majid.” Teriaknya dari luar rumah.

“Pak Majid..Pak Majid.” Dia mengulangi. 

Aku keluar kamar dan melihat ternyata ada si Raizwan, murid CLC yang menjemputku, belum sempat istirahat sudah dijemput lagi, keluhku dalam hati,

“Iya Raizwan, sudah jam 2 kah?” Jawabku.

“Ini hampir jam 2 Pak Majid, temen-temen sudah menunggu dibawah.” Jawabnya.

“Tunggu bentar ya, Raizwan.” Sambil bersiap-siap berangkat sekolah lagi.

“Ayo berangkat.” Sahutku.

“Ayo, Pak.” Jawabnya.

Kami berangkat menggunakan sepeda motor untuk memulai kelas sore dari CLC. Aku selalu dijemput anak-anak, mungkin karena kasihan, jarak sekolah dengan rumah saya agak jauh dengan jalan kaki, itulah alasan mereka selalu menjemputku untuk pergi ke sekolah.

Siang itu mata pelajaran Matematika, pelajaran yang agak tidak disukai oleh mereka, terlihat dari gestur mereka, dan ekspresi mereka, seperti malas-malasan kalau sedang pelajaran Matematika,

“Baik anak-anak, hari ini kita belajar Matematika ya?”

“Yaaaaah.” Jawab mereka kompak menjawab dengan nada kecewa.

“Ayo semangat.” Aku beri motivasi mereka, sambil mencari ide agar mereka tetap semangat belajar, muncul ide untuk memberi mereka permainan tebak-tebakan, dari muka mereka langsung bersemangat.

“Kalau kami menang nanti pulang lebih awal ya Pak.” Si Ardi menyahut, salah satu muridku yang paling kecil.

“Oke.” Dengan berat hati aku menjawabnya.

“Siapa yang mau tebak-tebakan dulu? Saya atau kalian?” Tanyaku pada mereka.

“Pak guru dulu.” Jawaban mereka kompak

“Baik, pertanyaanya adalah, barang apa yang dicari dengan susah payah, tapi setelah ketemu malah dibuang begitu saja?” Tanyaku. Mereka semua berfikir sejenak dan ada yang mulai nyeletuk.

“Tai hidung, Pak.” Si Ardi menjawab.

“Apa itu tahi hidung?” Tanyaku

“Upil, Pak.” Jawabnya lagi. Seluruh kelas tertawa keras karena si Ardi menjawab dengan benar.

“Baik, jawaban si Ardi benar ya.” Sahutku.

“Yeeessss.” Jawab si Ardi dengan mengepalkan tanganya dan mengayunkanya kebawah.

“Oke, sekarang Ardi yang tanya Pak Guru.” Tawarku.

“Oke pak, hewan apa yang mirip Sapi, kakinya empat, warnanya putih, pokoknya hewan ini sangat mirip dengan Sapi, tapi bukan Sapi, hayooo?”

“Hewan apa ya, sebentar saya pikir dulu.”

“Menyerah pak?” Tanyanya.

“Sebentar, Kerbau.”

“Salah”

“Ayo apa pak, menyerah saja pak.”

“Oke bapak menyerah, apa jawabanya?”

“Jawabanya adalah, gambar Sapi.” Jawabnya.

Seluruh kelas riuh karena jawaban dari si Ardi ini, sambil usap kepala aku geleng-geleng, ada-ada ini anak satu,

“Hahahaha. Baik bapak kalah, ada yang mau tanya lagi”

Lagi-lagi si Ardi mengacungkan tangan.

“Oke si Ardi lagi, kali ini apalagi Ardi?” Tanyaku.

“Oke pak, sekali lagi ya, hewan apa yang mirip Sapi, kakinya empat, pokoknya hewanya mirip Sapi, tapi bukan Sapi dan bukan gambar Sapi.” Tanyanya.

Tanpa pikir panjang akun langsung jawab, “Saya menyerah.” Jawabku.

“Alah Pak Majid bah, pikir dulu bah.” Tekanya.

“Kuda.” Jawabku menyerah.

“Salah bah.”

“Lalu apa?” Tanyaku lagi.

“Bapak meyerah?” Tanyanya lagi.

“Iya bah, kan memang bapak sudah menyerah dari tadi.”

“Jawabanya adalah,........”

“Apa bah.” Tanyaku lagi.

“Jawabanya adalah, Anak Sapi.”, Jawabnya.

“Gubrak.” Seluruh kelas tertawa riuh. Itulah mereka, keceriaan tak hilang meski berhadapan dengan ganasnya hidup ditangah Ladang Sawit ini. Dari senyum mereka, masih ada secercah harapan untuk masa depannya. Dan semoga kontribusi kecilku terasa.
Oleh: Nur Kholis Majid, CLC Prolific TKB Andum