Wednesday, November 15, 2017

Baju Lusuh dan Batu-Batu Jalan || Cerpen

Gate Sapi 2
arifsae.com, cerpen - Suasana pagi yang dingin diiringi sahutan ayam berkokok merupakan pagi yang tidak biasa aku rasakan sebelumnya. Aku mulai bangun dari tempat tidur dan menuruni anak tangga yang seakan goyah. Di sekeliling rumah di penuhi semak dan rumput liar, aku lihat butiran-butiran bening di ujung-ujung semak itu. Indah sekaligus mengajakku berselancar dalam lamunan.

Aku tertegun, begitu indah embun pagi hari ini. Sudah berapa tahun aku hidup di kota metropolitan yang penuh sesak, polusi, hedonisme, makian klakson kendaraan, debu jalanan dan akrab dengan muka-muka para manusia urban di kota metropolitan. Mereka sedang berlarian mengejar teknologi dan kecanggihan dunia sehingga tidak peduli satu sama lain.

Pagi sekarang sangat-sangat berbeda dan aku sangat menikmati suasana. Sekarang aku tersadar ini merupakan pagi  pertama yang aku rasakan di sebuah perkebunan sawit di negara tetangga yaitu negara bagian Sabah, Jiran Malaysia. Disini jauh dari jalan raya dan kebisingan kendaraan ibu kota. Aku merasa berada di dunia baru.

Tiga bulan sebelumnya, aku mendaftar sebagai pendidik untuk anak-anak imigran di negeri Jiran Malaysia. Tanpa di sadari, sekarang aku telah berada di sini, negeri Jiran Malaysia tepatnya di Sabah sebagai guru di Community Learning Center (CLC) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aku merupakan salah satu orang yang peduli dengan dunia pendidikan. Kepedulian ku itulah yang mengantarkan ku jauh ke negeri seberang.

Aku merupakan salah satu guru Indonesia yang di tempatkan di perkebunan-perkebunan di negeri Jiran untuk mendidik anak-anak garuda yang terlahir disini maupun yang datang dari Indonesia. Disini orang tua mereka menjadi buruh imigran yang memaksa untuk mengikuti kerasnya hidup disini.

Pagi ini matahari mulai menampakkan dirinya. Aku mulai mengolah bahan-bahan masakan untuk sarapan pagi ini. Sembari aku asyik memasak sarapan, terdengar suara panggilan dari luar rumah.

“Pak, Assalamualaikum Pak Guru, kami datang menjemput pak guru.”  Aku matikan kompor dan aku liat keluar. Ternyata beberapa orang siswa datang menjemput.

“Waalaikumsalam bapak belom siap beres-beres ini masih pagi baru jam 06:20. Naik dulu ke rumah” Sahutku.

“Tidak usah pak, kami tunggu aja di luar.” Jawab mereka.

“Kenapa diluar saja?” Sahutku.

“Tak apa-apa pak, kami kesini menjemput bapak pakai motor karena jalan kaki agak jauh pak.” kata mereka. Aku lihat ke sisi lain tempat motor mereka di parkir, aku melihat motor kecil penuh lumpur dan body motor yang sudah hancur. Motor itu mungkin motor tahun yang di produksi tahun 90-an.

Kemudian aku bertanya “Apakah orang tua kalian mengijinkan bawa motor?”

Salah satu siswa menjawab, “Kalau tidak pakai motor saya ke sekolah pakai apa pak?” Jalan kaki jauh tidak sanggup.

“Oo begitu, ya sudah karena yang jemput bapak ramai kita jalan saja bersama-sama ke sekolah yang bawa motor parkir aja di rumah bapak ini ya?” Sahutku. 
Aku mulai tertegun sesaat karena kedatangan mereka untuk menjemputku. 

“Sebegitu pedulikah mereka pada gurunya?” Kata-kata itu membuat campur aduk antara haru dan sedih karena aku yang pernah mengajar di Indonesia belum menemukan siswa yang seperti itu. Walau pakaian mereka lusuh, ada yang robek tapi sikap dan perilaku mereka menghargai guru sangat luar biasa, sangat berbeda dengan tampilan mereka. Hal seperti ini jarang aku temukan di Indonesia, ditempat sebelumnya aku pernah mengajar.

Hari pertama aku tinggal di lokasi sawit ini telah membuat ku tertunduk malu. Mereka yang seperti itu saja bisa menghargai, kenapa sebagian siswa sekarang di negara ku sendiri yang mereka hidup penuh dengan kecukupan, pakaian rapi, baru, bersih dan bermerk tapi memiliki sikap peduli dan menghargai yang kurang. Pertanyaan seperti itu muncul di benak ku. Kalau berbicara lebih dalam tentang karakter, banyak hal yang harus dipelajari dan diajarkan lagi kepada penerus bangsa yang di Indonesia. Pendapatku ini muncul seketika setelah pengalaman pertamaku ketika menghadapi anak-anak ladang sawit yang sopan ini.

Pada hari ini pembelajaran sudah selesai. Kami mulai berbenah untuk pulang. Selesai berdoa dan bersalaman salah satu siswa datang menemui ku dan memperkenalkan diri lebih dekat. Namanya Syahril  dia biasa dipanggil teman-temannya dengan panggilan Aril.

“Pak... Bapak di Indonesia itu tinggal dimana pak?”

“Di Sumatera Barat, Aril.” Jawabku.

“Sumatera Barat itu dimana, Pak?” Katanya dengan wajah penasaran.

“Itu salah satu pulau besar di Indonesia yang berada pada bagian Barat Indonesia.”

“Kayak gimana bentuknya itu, Pak?” Tanyanya kembali.

Aku coba lihat di sekeliling dinding sekolah, siapa tahu ada peta dunia atau peta Indonesia yang terpajang di salah satu pojok dinding. Tapi ternyata tidak ada peta sama sekali karena sekolah ini adalah bekas rumah tinggal pekerja yang di sulap menjadi tempat belajar. Akhirnya aku menjawab, “Besok bapak akan pasang peta Indonesia di sini. Ada peta bapak bawa dari Indonesia, nanti bantu bapak memasang di dinding ini ya”. Mereka nampak bahagia mendengarnya.

Anak-anak Indonesia yang tinggal di ladang sawit ini sebagian besar terlahir di Sabah. Hanya sebagian kecil yang terlahir di Indonesia. Sangat wajar sekali mereka tidak pernah tahu Indonesia itu sendiri. Sebagai guru di sini saya merasa perkewajiban untuk memberikan penjelasan yang detail tentang Indonesia tersebut.
                                                  ***
Siang mulai terik. Aku mulai melihat mereka satu persatu menjauh dari sekolah untuk pulang ke rumah. Aku mulai berdiri dari tempat duduk ku menyusun buku. Ketika aku mulai melangkah untuk pulang, langkah ku terhenti seketika karena mendengar suara Tupai melompat dari belakang rumah sekolah ini. Aku taruh kembali tas di meja, dan mulai melangkah ke belakang rumah sekolah.

Dibelakang aku melihat ada wadah penampungan air bekas, dan diatas tutupnya sengaja di buka. Aku melihat beberapa ekor Tupai yang sedang berada di atasnya entah minum atau hanya sekedar bertengger saja. Aku mulai berpikir tentang toilet di rumah sekolah ini karena saluran air dari penampungan air sepertinya tidak ada. Aku mulai berjalan ke ruang belakang yang sepi di ruang pertama sepertinya kamar tempat tidur para pekerja sebelumnya yang sudah kosong dan dinding penuh coretan. Ruang kamar kedua aku melihat ada meja pingpong. Terus aku coba liat ruang dapur pada bagian belakang, sekali aku melihat Toilet dan ternyata itu toilet memang sudah tidak berfungsi karena sudah rusak dan pecah. Aku pun bertanya dalam hati, “Berarti selama ini anak-anak kalau butuh toilet pergi kemana?” Pertanyaan itu terbesit di kepalaku.

Aku mulai kembali berjalan ke ruang depan tempat anak-anak belajar dan mata ku masih tertuju pada suatu hal yang menarik untuk dilihat yaitu lemari kecil yang terbagi beberapa rak untuk menyimpan beberapa buku pelajaran. Mulai ku lihat buku-buku tersebut, sangat minim sekali jumlahnya dan tidak semua pelajaran ada bukunya. Aku mulai haru dan sedih melihat keadaan seperti itu, kembali aku susun buku-buku ke rak dan aku kembali mengambil tas dan dengan mata berkaca-kaca aku mulai melangkah pulang dan mengunci pintu. Aku berniat untuk mencoba mencukupi buku-buku mereka nantinya dengan cara meminta buku-buku dari sekolah pusat atau dengan menggandakan buku dengan cara di copy.

Aku mulai berjalan menyusuri pepohonan sawit untuk menuju rumah, tidak beberapa lama aku melihat ada bapak-bapak separoh baya yang sedang berjalan dengan pelan. Melihat barang yang di bawa ditangannya sepertinya dia sedang habis belanja sesuatu di warung dekat rumah tinggal ku, karena itu satu-satunya warung terdekat di daerah ini. Semakin dekat aku mulai mendengar nafas bapak itu tersengal-sengal. Aku coba untuk mendekatinya.

“Assalamualaikum, Pakcik, apa kabar?” Aku mencoba bertanya.

“Waalaikumsalam, baik. Pak guru baru disini ya?” Jawabnya.

“Iya Pakcik, dari mana Pakcik tahu kalau saya guru baru?” Tanya ku kembali.

“Oh,, tadi ada anak-anak dijalan bercerita tentang guru baru.” Jawabnya.

“Sepertinya Pakcik lancar sekali logat Indonesianya, apakah Pakcik orang Indonesia atau Malaysia?” Tanya ku kembali dengan wajah penasaran.

“He..he..he.. saya ini orang Bugis, dari masa remaja sudah lama bekerja di sini dan sudah lama tidak pulang.” Bapak itu menjawab sambil senyum sumringah.

“Kenapa bisa lama bekerja disini? Padahal di Kalimantan kan juga ada ladang sawit Pakcik?” Lanjutku.

Bapak itu menjawab, “Dulu orang berbondong-bondong kesini karena gajinya disini tinggi.”

“Ooo begitu Pakcik. Darimanakah asal pakcik?” tanya ku sambil membantu dia membawa barang pulang ke rumahnya.

Bapak itu menjawab dengan suara lirih, “Saya berasal dari salah satu desa di Bone Sulawesi Selatan.”

Kemudian dia melanjutkan ceritanya bahwa sangat banyak orang Indonesia hidup disini dan memiliki keturunan, sebagian dari mereka ada yang bisa memiliki kewarganegaraan Malaysia dan sebagian mereka tetap hidup sebagai orang Indonesia dengan menggunakan passport sampai akhir hayat mereka.

Tak lama kami berjalan, akhirnya sampai juga ke rumah bapak tersebut. Aku ditawarkan masuk rumah, tapi karena aku teringat mau membersihkan semak-semak di sekeliling rumah, maka aku pamit saja untuk segera pulang ke rumah. Sambil berjalan pulang aku sempat berpikir kenapa sampai sangat banyak sekali orang Indonesia berada ditengah-tengah ladang sawit Malaysia ini?

Padahal di Kalimantan ladang sawit lebih luas daripada disini? Salah satu alasannya mereka bisa turun temurun disini karena masalah perbedaan gaji antara dua negara ini, gaji mereka lebih besar bekerja disini daripada di Indonesia. Sangat di sayangkan kalau anak-anak Indonesia di ladang Sabah ini tidak bisa mengenyam pendidikan layaknya anak-anak Indonesia yang ada di negeri sendiri. Karena peraturan di Malaysia anak-anak buruh migran tidak diperbolehkan bersekolah di Sekolah Kerajaan atau kita Sebutnya Sekolah Negeri.
                                                             ***
Setelah hampir sebulan aku mengajar disini, dan berkenalan dengan guru-guru Indonesia yang terlebih dulu bertugas di Sabah. Bulan ini banyak yang habis kontrak, sehingga sebagian guru Indonesia yang di kirim ke sini akan habis kontrak. Guru-guru dari Indonesia yang dikirim kesini hanya memiliki masa tugas dua tahun, ada sebagian menyambung kontrak dan sebagian dari guru-guru tidak menyambung kontrak kerja lagi sebagai guru disini dan memilih untuk pulang. Tidak terkecuali dengan guru-guru yang dikirim di sekolah tempat aku mengajar ini. Sekolah tempat aku mengajar ini memiliki kelas-kelas yang terpisah karena faktor kondisi lapangan dan jumlah siswa yang tidak memungkinkan untuk di buka sekolah sendiri maka dari itu ada sebanyak 9 sekolah atau community menginduk pada satu sekolah yang berpusat pada community learning center yang ada di ladang wilmar daerah Sapi Plantations.

Kesembilan community itu dinamakan TKB (Tempat Kegiatan Belajar). Salah satunya termasuk di sekolah tempat aku mengajar ini. Dengan kepulangan beberapa orang guru tersebut, maka di tempat kegiatan belajar yang ditinggal otomatis  kekurangan guru dan sama sekali ada tempat yang tidak ada gurunya lagi di situ. Maka dari itu beberapa guru yang masih kontrak termasuk aku harus mengatur jadwal yang ada untuk bisa mengajar ke sekolah yang tidak ada gurunya tersebut.

Rekan guru ku mengingatkan harus siap fisik untuk pergi mengajar dengan perjalanan yang jauh untuk mengajar anak-anak Indonesia yang ada di dalam ladang. Saat itu aku mendapat jadwal  mengajar di 4 titik belajar termasuk tempatku sekarang. Tantangannya adalah harus menempuh perjalanan dengan kendaraan motor dengan perjalanan terbilang lumayan jauh dengan jalan tanah tanpa aspal dan penuh bebatuan, tapi itu tidak menjadi kendala bagiku karena tujuan ku kesini memang untuk mendidik anak-anak Indonesia yang kurang beruntung mengenyam pendidikan dikampung halaman.

Hari ini merupakan hari pertama ku pergi ke titik kegiatan belajar yang paling jauh dari tempat tinggal ku. Pagi-pagi aku mulai menyalakan motor dan pergi ke warung sebelah rumah untuk mengisi bahan bakar. Pemilik warung bertanya dengan nada semangat.

“Pak guru, pagi-pagi mau kemana?” Tanyanya

“Mau pergi mengajar bang, ke Ladang Kiabau.” Jawabku sambil tersenyum.

“Apa?? Ladang Kiabau? Jauh sekali itu. Baru datang kok sudah mau pindah dari sini, siapa yang mengajar anak-anak disini lagi?” Tanyanya dengan wajah penasaran.

Sambil tersenyum aku menjawab, “Bukan pindah bang, tapi juga harus mengajar ke sekolah tersebut karena tidak ada gurunya disana.”

“Oo ya sudah, Pak guru hati-hati dijalan.” Pungkasnya.

Sepanjang jalan ada titik rasa senang di saat itu. Aku merasakan di sepanjang jalan kicauan burung-burung seakan memberikan sebuah nada indah kepada ku. Seakan-akan mereka mengiringi ku dalam perjalanan dengan sebuah nyanyian, karena disini disepanjang jalan sangat banyak sekali hewan-hewan yang dilindungi hidup berdampingan dengan penduduk. Pemandangan seperti itu sangat jarang aku temukan di jalan-jalan yang ada di Indonesia.

Hari pertama perjalanan aku sudah menemukan ular yang melintasi jalan, awalnya aku terkejut tapi melihat ukuranya yang terbilang kecil aku hanya lewat dengan santai, sepertinya penduduk disini sudah terbiasa dengan hal seperti itu, apalagi Biawak yang setiap saat melintasi jalan dan ada di pinggir-pinggir jalan. Penduduk disini memang tidak mempermasalahkan hewan-hewan tersebut mereka bisa hidup berdampingan.

Sesampai aku di sekolah tak disangka anak-anak berlarian mendekati ku. “Pak, Pak.. selamat datang, Pak?” Kata mereka dengan senyum dan tawa.

Sembari tersenyum aku berkata, “Selamat Pagi anak-anak.” Dengan serempak mereka menjawab. Kemudian ada yang bertanya, “Bapak berasal darimana?” dan aku menjawab “Dari Sumatera Barat Indonesia negara kita.” Jawabku. Terus dia berkata, “Ayah sama Ibu ku juga berasal dari Indonesia pak.” Sambil tersenyum aku menjelaskan ke mereka bahwa kita semua disini adalah Indonesia. Kita harus mengetahui Indonesia dan mencintai negara kita Indonesia dan pada saatnya nanti kalian harus kembali ke Indonesia.

Sambil terdiam mereka menganggukkan kepala. Sangat jauh berbeda dengan anak-anak di kota. Mereka sangat serius mendengarkan setiap cerita yang aku sampaikan. Mulai dari keadaan Indonesia sampai pada kebiasaan-kebiasaan yang ada di Indonesia. Sesekali mereka sambil tertawa mendengar ceritaku yang seakan-akan lucu mereka dengar.

Jalan tanah penuh batu dan kerikil merupakan hal yang biasa ditempuh setiap hari. Begitupun dengan sebagian anak-anak untuk menuju sekolah maupun pulang ke rumah. Terkadang tidak ada kendaraan membuat mereka harus jalan kaki sejauh 5 kilometer untuk menuju ke sekolah maupun pulang ke rumah. Kebiasaan ini merupakan hal biasa bagi mereka. Semangat perjuangan mereka untuk bersekolah tidak bisa aku temukan di Indonesia sendiri. Sore ini merupakan sore yang berbeda dari sebelumnya. Aku melihat banyak orang naik truk untuk menuju ke sesuatu tempat, sehingga disekitar rumah ku menjadi sepi. Aku coba keluar rumah dan melihat sekitarnya. Aku melihat ada anak muda yang sedang duduk di warung sebelah.

Aku bertanya, “Mas, orang-orang menuju kemana itu?”

Sambil tersenyum dia menjawab, “Mereka ke pasar gaji pak guru.” Aku terheran-heran apa itu pasar gaji. Karena tidak mengerti maksud dari jawabannya kembali aku coba bertanya.

“Apa itu pasar gaji mas?” Dia menjawab.

“Pasar gaji itu pasar yang diadakan setiap bulan di sini pak guru.” Jawabnya.

“Apakah disana orang menerima gaji?” Tanyaku dengan penasaran.

Sambil tertawa dia menjawab, “Ha..ha..ha.. bukan pak guru. Pasar gaji itu seperti pasar biasa menjual makanan dan sebagainya. Diadakan pasar itu karena para pekerja abis menerima gaji, jadi untuk memudahkan belanja mereka, maka diadakan lah pasar gaji.”

“Oo begitu mas, maaf mas saya tidak tahu.” Jawabku dengan tersenyum malu.

“Tidak apa-apa, Pak Guru. Biasa itu.” Pungkasnya dengan sedikit candaan.

Setiap kisah perjalanan disini merupakan pengalaman yang baru dalam hidup ini. Tidak ada seorang pun yang dinyatakan telah menguasai semua pengetahuan dengan sempurna. Masih banyak berbagai hal yang perlu dipelajari. Karakter belajar seperti itu selalu aku terapkan pada anak-anak disini. Untuk tidak merasa puas dengan setiap ilmu yang di dapat tapi selalu berjuang dan berjuang terus mempelajari kehidupan disetiap langkah hidupnya. Baik di alam, disekolah, dilingkungan sekitar maupun dimana saja dia berada.

Tidak terkecuali dengan aku sebagai guru mereka yang terkadang tetap belajar dengan mereka tentang kebiasaan dan bahasa masyarakat disini.  Bertemu dengan orang baru selalu membuat ku mendapatkan pengetahuan baru, pengalaman baru dan informasi baru. Penerapan pembelajaran seperti itu selain ke anak-anak juga pada diri sendiri dalam mendapatkan pengetahuan dan pelajaran hidup.
                                              ***
Berbagai kegiatan diadakan oleh guru-guru di sekolah ini untuk anak-anak. Tujuannya supaya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan maupun kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan ini dilakukan satu sekolah maupun antar sekolah. Dengan diadakannya kegiatan tersebut, bisa diketahui bakat anak-anak. Mereka memiliki bakat masing-masing walau pun itu tidak terasah dengan baik, karena kondisi dan keadaan yang tidak mendukung.  Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, anak-anak bisa mengembangkan bakatnya dengan baik. Pada kondisi seperti aku sebagai guru memang dituntut untuk kreatif dengan berbagai cara untuk mampu membantu anak-anak untuk mengembangkan bakat mereka.

Pada suatu pagi ada sebuah pembelajaran yang mengharuskan kami menyediakan alat dan media tetapi keterbatasan alat dan media membuat aku dan anak-anak harus menggunakan cara alternatif lain untuk pembelajaran. Seperti memanfaatkan lingkungan dan benda-benda disekitar sebagai media pembelajaran.

Sore itu terik matahari sangat menyengat. Rumah tempat tinggal ku yang terbuat dari kayu dan terkena cahaya matahari langsung membuatku sangat gerah dan tidak betah di dalam rumah. Ku coba nyalakan kipas tapi masih terasa panas luar biasa, aku nyalakan dua kipas angin baru sedikit terasa panasnya berkurang. Begitu lah cuaca di ladang sawit tempat ku ini. Malam terasa dingin dan siangnya terasa sangat panas. Aku berencana untuk mandi agar sore itu terasa sedikit sejuk, menghilangkan rasa panas yang mengalahkan tiupan udara yang bertugas menyejukkan suasana. Aku mulai melangkah ke kamar mandi dan ku buka kran air. Tapi air tak menetes. Aku heran. Baru kali ini aku mengalami kehabisan air. Aku penasaran, dan coba hubungi tetangga rumah.

“Assalamualaikum, Makcik?” Sambil melangkah naik ke tangga rumahnya aku mengucapkan salam dengan nada rendah. Aku mendengar derap langkah kaki menuju ke pintu sambil menjawab salam yang aku ucapkan sebelumnya. 

“Waalaikumsalam.” Jawabnya sambil membuka pintu dengan memegang seutas kipas dan memegang kain penutup kepalanya.

“Ada apa, Cikgu?” Lanjutnya. Aku mulai tersenyum di panasnya cuaca yang membuat bajuku mulai basah dengan keringat.

Aku menjawab, “Maaf Makcik, tidak ada apa-apa, cuman mau bertanya apakah air tidak menyala makcik?” Tanya ku.

Dengan nada terburu-buru iya menjawab, “Oo iya, Cikgu air mati. Maaf saya lupa memberitahu Cikgu.” Sambil tersenyum aku menjawab.

“Ooo tumben air mati. Sering beginikah Makcik?” Tanya ku kembali.

“Kadang-kadang saja, Cikgu. Ayo  masuk kerumah dulu cikgu.” Lanjutnya.

“Oo makasih, Makcik tidak usah. Saya cuma mau menanyakan itu saja, maaf merepotkan, kalau begitu aku mohon pamit Makcik. Assalamualaikum.” Jawabku sambil melangkah turun dari tangga. Dengan wajah tersenyum sambil mengayunkan kipas ditangannya untuk membuang rasa panas dia menjawab, “Waalaikumsalam, Cikgu.”

Ini merupakan kali pertama aku merasakan mati air di sini. Hal itu membuat ku memiliki pengalaman pertama membeli air mineral beberapa botol untuk dipergunakan mandi dan mencuci baju. Karena disekitar sini selain air dari estate tersebut, hanya ada tadah hujan. Kebetulan pada waktu air habis karena sudah lama tidak hujan juga. Sumber air sangat penting bagi kehidupan. Matinya sumber air ini membuat aku berpikir untuk membuat saluran air hujan untuk bisa dialirkan ke bak penampungan air di kamar mandi ku.

Aku mencoba memotong-motong seng bekas yang ada tertumpuk di dekat dapur untuk disambungkan ke pembuangan air hujan di atap, agar air bisa mengalir ke bak kamar mandi. Ku beli paku di warung dekat rumah. Penjaga warung yang selalu akrab dengan ku mencoba bertanya. “Buat apa Cikgu?” Aku jawab dengan bercanda, “Untuk memperluas rumah” sambil diselingi tawa.

Kami sedikit tertawa bersama. Kemudian aku menjelaskan kalau akkan membuat saluran penampungan air hujan agar mengalir ke bak penampungan air di kamar mandi. Tanpa kusangka ternyata dia mencoba membantu untuk membuat penampungan air tersebut. Dengan bantuan dia aku bisa membuat saluran penampungan air dengan mudah. Tetangga warung ku itu merupakan orang yang sering memberikan bantuan kepada ku. dia berasal dari Sulawesi dan keturunan bugis. Dia merantau kesini sudah semenjak tamat SMA sampai sekarang dan sudah memiliki anak istri di sini. Istrinya juga orang bugis berasal dari Sulawesi Utara.

Rata-rata orang Indonesia yang berada di Sabah Malaysia ini merupakan orang Sulawesi yang bersuku Bugis. Ada juga beberapa dari suku lainnya, seperti Jawa, Papua dan lainnya.  Walau pun bersuku kan Bugis Indonesia tapi sebagian dari anak-anak di sini tidak mengenal budayanya sendiri. Memperkenalkan budaya ke mereka merupakan salah satu tujuan ku disini.

Berbagai pengalaman dalam pembelajaran budaya sangat unik yang aku alami di sini. Seperti anak-anak yang heran dengan pakaian-pakaian budaya yang pernah aku ajarkan kepada mereka. Pada hari ini aku mengadakan pembelajaran tentang budaya yang kebetulan dengan topik budaya Jakarta yaitu Ondel-Ondel. Aku mulai membuka laptop dan menyalakan nya. Aku coba mencari tentang gambar-gambar serta video tentang budaya Betawi di folder-folder laptop ku yang telah aku persiapkan sebelumnya. Mulai aku menyambungkan laptop ke proyektor yang sudah di nyalakan sebelumnya.

Aku mulai dengan topik asal usul budaya dan kemudian tentang pakaian-pakaian dan tarian budaya Betawi. Sementara anak-anak terlihat takjub dan memandang layar proyektor dengan fokus. Sepertinya mereka tertarik untuk belajar budaya Betawi. Ketika aku asyik menjelaskan, tibalah pada penjelasan tentang Ondel-Ondel mulai terlihat di LCD Proyektor di depan kelas video tarian Ondel-Ondel.

Seketika itu seorang anak yang bernama Hisyam bertanya, “Pak, kok itu bentukannya mirip raksasa?” Pertanyaan tersebut disambut tawa kelakar teman sekelasnya. Suasana yang sebelumnya hening berubah jadi riuh. Aku pun melihat tingkah mereka dengan senyum. Setelah mereka agak diam dari tawa aku mulai menjelaskan.

“Anak-anak, Ondel-Ondel memang terlihat seperti raksasa. Ondel-ondel tersebut digerakkan oleh orang yang berada di dalamnya.  Seakan-akan dia menari-nari gembira. Itu tidak bergerak sendiri.”

Terus seorang anak mulai bertanya kembali, “Ooo jadi itu semacam sebuah tarian ya pak?” Tanyanya. Aku menjawab dengan sedikit tersenyum, “Betul sekali anak-anak.” Pungkas ku. Tidak hanya budaya Betawi yang pernah aku ajarkan. Budaya lain seperti budaya Minangkabau yang merupakan asal daerah ku juga juga pernah aku ajarkan. Sampai pada Tari Piring dan ada yang sampai memecahkan piring dalam tarian. Meskipun seperti itu mereka sangat antusias untuk belajar budaya-budaya tersebut.
                                                     ***
Tak terasa sekarang aku sudah tujuh bulan berada disini. Itu merupakan beberapa penggal pengalaman yang aku alami selama disini. Dari aku berumur 13 tahun aku adalah seorang perantau. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, itu merupakan pepatah lama yang selalu aku jalankan dan aku aplikasikan ke dalam kehidupanku. Sejauh tujuh bulan pengalamanku mengajar disini pepatah tersebut bisa aku tambahkan menjadi sebuah kalimat “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung dan disitu juga kita tanamkan budaya kita”.

Banyak pengalaman lain yang tidak sempat aku tuangkan menjadi sebuah tulisan. Pengalaman-pengalaman yang aku alami tersebut membuatku mendapatkan banyak pelajaran. Kemana pun setiap manusia melangkah tetaplah selalu belajar. Baju yang semakin lusuh dan batu-batu jalanan tidak akan pernah membuat surut semangat. Setiap pengalaman yang di alami merupakan sebuah palu tempaan yang akan selalu menempa dan meperbaiki kehidupan setiap manusia. Pengalaman pada dasarnya merupakan guru sejati dalam melanjutkan langkah perjalanan hidup.[]

Oleh: Akmal Husada, CLC Sapi 2, TKB Labuk