Gate Sapi 2 |
arifsae.com, cerpen - Suasana pagi yang dingin diiringi sahutan ayam berkokok
merupakan pagi yang tidak biasa aku rasakan sebelumnya. Aku mulai bangun dari
tempat tidur dan menuruni anak tangga yang seakan goyah. Di sekeliling rumah di
penuhi semak dan rumput liar, aku lihat butiran-butiran bening di ujung-ujung
semak itu. Indah sekaligus mengajakku berselancar dalam lamunan.
Aku tertegun, begitu indah embun pagi hari ini. Sudah berapa
tahun aku hidup di kota metropolitan yang penuh sesak, polusi, hedonisme,
makian klakson kendaraan, debu jalanan dan akrab dengan muka-muka para manusia
urban di kota metropolitan. Mereka sedang berlarian mengejar teknologi dan
kecanggihan dunia sehingga tidak peduli satu sama lain.
Pagi sekarang sangat-sangat berbeda dan aku sangat menikmati
suasana. Sekarang aku tersadar ini merupakan pagi pertama yang aku rasakan di sebuah perkebunan
sawit di negara tetangga yaitu negara bagian Sabah, Jiran Malaysia. Disini jauh
dari jalan raya dan kebisingan kendaraan ibu kota. Aku merasa berada di dunia
baru.
Tiga bulan sebelumnya, aku mendaftar sebagai pendidik untuk
anak-anak imigran di negeri Jiran Malaysia. Tanpa di sadari, sekarang aku telah
berada di sini, negeri Jiran Malaysia tepatnya di Sabah sebagai guru di
Community Learning Center (CLC) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Aku merupakan salah satu orang yang peduli dengan dunia pendidikan.
Kepedulian ku itulah yang mengantarkan ku jauh ke negeri seberang.
Aku merupakan salah satu guru Indonesia yang di tempatkan di
perkebunan-perkebunan di negeri Jiran untuk mendidik anak-anak garuda yang
terlahir disini maupun yang datang dari Indonesia. Disini orang tua mereka
menjadi buruh imigran yang memaksa untuk mengikuti kerasnya hidup disini.
Pagi ini matahari mulai menampakkan dirinya. Aku mulai
mengolah bahan-bahan masakan untuk sarapan pagi ini. Sembari aku asyik memasak
sarapan, terdengar suara panggilan dari luar rumah.
“Pak, Assalamualaikum Pak Guru, kami datang menjemput pak
guru.” Aku matikan kompor dan aku liat
keluar. Ternyata beberapa orang siswa datang menjemput.
“Waalaikumsalam bapak belom siap beres-beres ini masih pagi
baru jam 06:20. Naik dulu ke rumah” Sahutku.
“Tidak usah pak, kami tunggu aja di luar.” Jawab mereka.
“Kenapa diluar saja?” Sahutku.
“Tak apa-apa pak, kami kesini menjemput bapak pakai motor
karena jalan kaki agak jauh pak.” kata mereka. Aku lihat ke sisi lain tempat
motor mereka di parkir, aku melihat motor kecil penuh lumpur dan body motor
yang sudah hancur. Motor itu mungkin motor tahun yang di produksi tahun 90-an.
Kemudian aku bertanya “Apakah orang tua kalian mengijinkan
bawa motor?”
Salah satu siswa menjawab, “Kalau tidak pakai motor saya ke
sekolah pakai apa pak?” Jalan kaki jauh tidak sanggup.
“Oo begitu, ya sudah karena yang jemput bapak ramai kita
jalan saja bersama-sama ke sekolah yang bawa motor parkir aja di rumah bapak
ini ya?” Sahutku.
Aku mulai tertegun sesaat karena kedatangan mereka untuk
menjemputku.
“Sebegitu pedulikah mereka pada gurunya?” Kata-kata itu membuat campur
aduk antara haru dan sedih karena aku yang pernah mengajar di Indonesia belum
menemukan siswa yang seperti itu. Walau pakaian mereka lusuh, ada yang robek
tapi sikap dan perilaku mereka menghargai guru sangat luar biasa, sangat
berbeda dengan tampilan mereka. Hal seperti ini jarang aku temukan di
Indonesia, ditempat sebelumnya aku pernah mengajar.
Hari pertama aku tinggal di lokasi sawit ini telah membuat
ku tertunduk malu. Mereka yang seperti itu saja bisa menghargai, kenapa
sebagian siswa sekarang di negara ku sendiri yang mereka hidup penuh dengan
kecukupan, pakaian rapi, baru, bersih dan bermerk tapi memiliki sikap peduli
dan menghargai yang kurang. Pertanyaan seperti itu muncul di benak ku. Kalau
berbicara lebih dalam tentang karakter, banyak hal yang harus dipelajari dan
diajarkan lagi kepada penerus bangsa yang di Indonesia. Pendapatku ini muncul
seketika setelah pengalaman pertamaku ketika menghadapi anak-anak ladang sawit
yang sopan ini.
Pada hari ini pembelajaran sudah selesai. Kami mulai berbenah
untuk pulang. Selesai berdoa dan bersalaman salah satu siswa datang menemui ku
dan memperkenalkan diri lebih dekat. Namanya Syahril dia biasa dipanggil teman-temannya dengan
panggilan Aril.
“Pak... Bapak di Indonesia itu tinggal dimana pak?”
“Di Sumatera Barat, Aril.” Jawabku.
“Sumatera Barat itu dimana, Pak?” Katanya dengan wajah
penasaran.
“Itu salah satu pulau besar di Indonesia yang berada pada
bagian Barat Indonesia.”
“Kayak gimana bentuknya itu, Pak?” Tanyanya kembali.
Aku coba lihat di sekeliling dinding sekolah, siapa tahu ada
peta dunia atau peta Indonesia yang terpajang di salah satu pojok dinding. Tapi
ternyata tidak ada peta sama sekali karena sekolah ini adalah bekas rumah
tinggal pekerja yang di sulap menjadi tempat belajar. Akhirnya aku menjawab,
“Besok bapak akan pasang peta Indonesia di sini. Ada peta bapak bawa dari
Indonesia, nanti bantu bapak memasang di dinding ini ya”. Mereka nampak bahagia
mendengarnya.
Anak-anak
Indonesia yang tinggal di ladang sawit ini sebagian besar terlahir di Sabah.
Hanya sebagian kecil yang terlahir di Indonesia. Sangat wajar sekali mereka
tidak pernah tahu Indonesia itu sendiri. Sebagai guru di sini saya merasa
perkewajiban untuk memberikan penjelasan yang detail tentang Indonesia
tersebut.
***
Siang mulai terik. Aku mulai melihat mereka satu persatu
menjauh dari sekolah untuk pulang ke rumah. Aku mulai berdiri dari tempat duduk
ku menyusun buku. Ketika aku mulai melangkah untuk pulang, langkah ku terhenti
seketika karena mendengar suara Tupai melompat dari belakang rumah sekolah ini.
Aku taruh kembali tas di meja, dan mulai melangkah ke belakang rumah sekolah.
Dibelakang aku melihat ada wadah penampungan air bekas, dan
diatas tutupnya sengaja di buka. Aku melihat beberapa ekor Tupai yang sedang berada
di atasnya entah minum atau hanya sekedar bertengger saja. Aku mulai berpikir
tentang toilet di rumah sekolah ini karena saluran air dari penampungan air
sepertinya tidak ada. Aku mulai berjalan ke ruang belakang yang sepi di ruang
pertama sepertinya kamar tempat tidur para pekerja sebelumnya yang sudah kosong
dan dinding penuh coretan. Ruang kamar kedua aku melihat ada meja pingpong.
Terus aku coba liat ruang dapur pada bagian belakang, sekali aku melihat Toilet
dan ternyata itu toilet memang sudah tidak berfungsi karena sudah rusak dan
pecah. Aku pun bertanya dalam hati, “Berarti selama ini anak-anak kalau butuh
toilet pergi kemana?” Pertanyaan itu terbesit di kepalaku.
Aku mulai kembali berjalan ke ruang depan tempat anak-anak
belajar dan mata ku masih tertuju pada suatu hal yang menarik untuk dilihat
yaitu lemari kecil yang terbagi beberapa rak untuk menyimpan beberapa buku
pelajaran. Mulai ku lihat buku-buku tersebut, sangat minim sekali jumlahnya dan
tidak semua pelajaran ada bukunya. Aku mulai haru dan sedih melihat keadaan
seperti itu, kembali aku susun buku-buku ke rak dan aku kembali mengambil tas
dan dengan mata berkaca-kaca aku mulai melangkah pulang dan mengunci pintu. Aku
berniat untuk mencoba mencukupi buku-buku mereka nantinya dengan cara meminta
buku-buku dari sekolah pusat atau dengan menggandakan buku dengan cara di copy.
Aku mulai berjalan menyusuri pepohonan sawit untuk menuju
rumah, tidak beberapa lama aku melihat ada bapak-bapak separoh baya yang sedang
berjalan dengan pelan. Melihat barang yang di bawa ditangannya sepertinya dia
sedang habis belanja sesuatu di warung dekat rumah tinggal ku, karena itu
satu-satunya warung terdekat di daerah ini. Semakin dekat aku mulai mendengar
nafas bapak itu tersengal-sengal. Aku coba untuk mendekatinya.
“Assalamualaikum, Pakcik, apa kabar?” Aku mencoba bertanya.
“Waalaikumsalam, baik. Pak guru baru disini ya?” Jawabnya.
“Iya Pakcik, dari mana Pakcik tahu kalau saya guru baru?”
Tanya ku kembali.
“Oh,, tadi ada anak-anak dijalan bercerita tentang guru
baru.” Jawabnya.
“Sepertinya Pakcik lancar sekali logat Indonesianya, apakah
Pakcik orang Indonesia atau Malaysia?” Tanya ku kembali dengan wajah penasaran.
“He..he..he.. saya ini orang Bugis, dari masa remaja sudah
lama bekerja di sini dan sudah lama tidak pulang.” Bapak itu menjawab sambil
senyum sumringah.
“Kenapa bisa lama bekerja disini? Padahal di Kalimantan kan
juga ada ladang sawit Pakcik?” Lanjutku.
Bapak itu menjawab, “Dulu orang berbondong-bondong kesini
karena gajinya disini tinggi.”
“Ooo begitu Pakcik. Darimanakah asal pakcik?” tanya ku
sambil membantu dia membawa barang pulang ke rumahnya.
Bapak itu menjawab dengan suara lirih, “Saya berasal dari
salah satu desa di Bone Sulawesi Selatan.”
Kemudian dia melanjutkan ceritanya bahwa sangat banyak orang
Indonesia hidup disini dan memiliki keturunan, sebagian dari mereka ada yang
bisa memiliki kewarganegaraan Malaysia dan sebagian mereka tetap hidup sebagai
orang Indonesia dengan menggunakan passport sampai akhir hayat mereka.
Tak lama kami berjalan, akhirnya sampai juga ke rumah bapak
tersebut. Aku ditawarkan masuk rumah, tapi karena aku teringat mau membersihkan
semak-semak di sekeliling rumah, maka aku pamit saja untuk segera pulang ke
rumah. Sambil berjalan pulang aku sempat berpikir kenapa sampai sangat banyak
sekali orang Indonesia berada ditengah-tengah ladang sawit Malaysia ini?
Padahal di Kalimantan ladang sawit lebih luas daripada
disini? Salah satu alasannya mereka bisa turun temurun disini karena masalah
perbedaan gaji antara dua negara ini, gaji mereka lebih besar bekerja disini
daripada di Indonesia. Sangat di sayangkan kalau anak-anak Indonesia di ladang
Sabah ini tidak bisa mengenyam pendidikan layaknya anak-anak Indonesia yang ada
di negeri sendiri. Karena peraturan di Malaysia anak-anak buruh migran tidak
diperbolehkan bersekolah di Sekolah Kerajaan atau kita Sebutnya Sekolah Negeri.
***
Setelah hampir sebulan aku mengajar disini, dan berkenalan
dengan guru-guru Indonesia yang terlebih dulu bertugas di Sabah. Bulan ini
banyak yang habis kontrak, sehingga sebagian guru Indonesia yang di kirim ke
sini akan habis kontrak. Guru-guru dari Indonesia yang dikirim kesini hanya
memiliki masa tugas dua tahun, ada sebagian menyambung kontrak dan sebagian
dari guru-guru tidak menyambung kontrak kerja lagi sebagai guru disini dan
memilih untuk pulang. Tidak terkecuali dengan guru-guru yang dikirim di sekolah
tempat aku mengajar ini. Sekolah tempat aku mengajar ini memiliki kelas-kelas
yang terpisah karena faktor kondisi lapangan dan jumlah siswa yang tidak
memungkinkan untuk di buka sekolah sendiri maka dari itu ada sebanyak 9 sekolah
atau community menginduk pada satu sekolah yang berpusat pada community
learning center yang ada di ladang wilmar daerah Sapi Plantations.
Kesembilan community itu dinamakan TKB (Tempat Kegiatan
Belajar). Salah satunya termasuk di sekolah tempat aku mengajar ini. Dengan
kepulangan beberapa orang guru tersebut, maka di tempat kegiatan belajar yang
ditinggal otomatis kekurangan guru dan
sama sekali ada tempat yang tidak ada gurunya lagi di situ. Maka dari itu
beberapa guru yang masih kontrak termasuk aku harus mengatur jadwal yang ada
untuk bisa mengajar ke sekolah yang tidak ada gurunya tersebut.
Rekan guru ku mengingatkan harus siap fisik untuk pergi
mengajar dengan perjalanan yang jauh untuk mengajar anak-anak Indonesia yang
ada di dalam ladang. Saat itu aku mendapat jadwal mengajar di 4 titik belajar termasuk tempatku
sekarang. Tantangannya adalah harus menempuh perjalanan dengan kendaraan motor
dengan perjalanan terbilang lumayan jauh dengan jalan tanah tanpa aspal dan
penuh bebatuan, tapi itu tidak menjadi kendala bagiku karena tujuan ku kesini
memang untuk mendidik anak-anak Indonesia yang kurang beruntung mengenyam
pendidikan dikampung halaman.
Hari
ini merupakan hari pertama ku pergi ke titik kegiatan belajar yang paling jauh
dari tempat tinggal ku. Pagi-pagi aku mulai menyalakan motor dan pergi ke
warung sebelah rumah untuk mengisi bahan bakar. Pemilik warung bertanya dengan
nada semangat.
“Pak guru, pagi-pagi mau kemana?” Tanyanya
“Mau pergi mengajar bang, ke Ladang Kiabau.” Jawabku sambil
tersenyum.
“Apa?? Ladang Kiabau? Jauh sekali itu. Baru datang kok sudah
mau pindah dari sini, siapa yang mengajar anak-anak disini lagi?” Tanyanya
dengan wajah penasaran.
Sambil tersenyum aku menjawab, “Bukan pindah bang, tapi juga
harus mengajar ke sekolah tersebut karena tidak ada gurunya disana.”
“Oo ya sudah, Pak guru hati-hati dijalan.” Pungkasnya.
Sepanjang jalan ada titik rasa senang di saat itu. Aku
merasakan di sepanjang jalan kicauan burung-burung seakan memberikan sebuah
nada indah kepada ku. Seakan-akan mereka mengiringi ku dalam perjalanan dengan
sebuah nyanyian, karena disini disepanjang jalan sangat banyak sekali
hewan-hewan yang dilindungi hidup berdampingan dengan penduduk. Pemandangan
seperti itu sangat jarang aku temukan di jalan-jalan yang ada di Indonesia.
Hari pertama perjalanan aku sudah menemukan ular yang
melintasi jalan, awalnya aku terkejut tapi melihat ukuranya yang terbilang
kecil aku hanya lewat dengan santai, sepertinya penduduk disini sudah terbiasa
dengan hal seperti itu, apalagi Biawak yang setiap saat melintasi jalan dan ada
di pinggir-pinggir jalan. Penduduk disini memang tidak mempermasalahkan
hewan-hewan tersebut mereka bisa hidup berdampingan.
Sesampai aku di sekolah tak disangka anak-anak berlarian
mendekati ku. “Pak, Pak.. selamat datang, Pak?” Kata mereka dengan senyum dan
tawa.
Sembari tersenyum aku berkata, “Selamat Pagi anak-anak.”
Dengan serempak mereka menjawab. Kemudian ada yang bertanya, “Bapak berasal
darimana?” dan aku menjawab “Dari Sumatera Barat Indonesia negara kita.”
Jawabku. Terus dia berkata, “Ayah sama Ibu ku juga berasal dari Indonesia pak.”
Sambil tersenyum aku menjelaskan ke mereka bahwa kita semua disini adalah
Indonesia. Kita harus mengetahui Indonesia dan mencintai negara kita Indonesia
dan pada saatnya nanti kalian harus kembali ke Indonesia.
Sambil terdiam mereka menganggukkan kepala. Sangat jauh
berbeda dengan anak-anak di kota. Mereka sangat serius mendengarkan setiap
cerita yang aku sampaikan. Mulai dari keadaan Indonesia sampai pada
kebiasaan-kebiasaan yang ada di Indonesia. Sesekali mereka sambil tertawa
mendengar ceritaku yang seakan-akan lucu mereka dengar.
Jalan tanah penuh batu dan kerikil merupakan hal yang biasa
ditempuh setiap hari. Begitupun dengan sebagian anak-anak untuk menuju sekolah
maupun pulang ke rumah. Terkadang tidak ada kendaraan membuat mereka harus
jalan kaki sejauh 5 kilometer untuk menuju ke sekolah maupun pulang ke rumah.
Kebiasaan ini merupakan hal biasa bagi mereka. Semangat perjuangan mereka untuk
bersekolah tidak bisa aku temukan di Indonesia sendiri. Sore ini merupakan sore
yang berbeda dari sebelumnya. Aku melihat banyak orang naik truk untuk menuju
ke sesuatu tempat, sehingga disekitar rumah ku menjadi sepi. Aku coba keluar
rumah dan melihat sekitarnya. Aku melihat ada anak muda yang sedang duduk di
warung sebelah.
Aku bertanya, “Mas, orang-orang menuju kemana itu?”
Sambil tersenyum dia menjawab, “Mereka ke pasar gaji pak
guru.” Aku terheran-heran apa itu pasar gaji. Karena tidak mengerti maksud dari
jawabannya kembali aku coba bertanya.
“Apa itu pasar gaji mas?” Dia menjawab.
“Pasar gaji itu pasar yang diadakan setiap bulan di sini pak
guru.” Jawabnya.
“Apakah disana orang menerima gaji?” Tanyaku dengan
penasaran.
Sambil tertawa dia menjawab, “Ha..ha..ha.. bukan pak guru.
Pasar gaji itu seperti pasar biasa menjual makanan dan sebagainya. Diadakan
pasar itu karena para pekerja abis menerima gaji, jadi untuk memudahkan belanja
mereka, maka diadakan lah pasar gaji.”
“Oo begitu mas, maaf mas saya tidak tahu.” Jawabku dengan
tersenyum malu.
“Tidak apa-apa, Pak Guru. Biasa itu.” Pungkasnya dengan
sedikit candaan.
Setiap kisah perjalanan disini merupakan pengalaman yang
baru dalam hidup ini. Tidak ada seorang pun yang dinyatakan telah menguasai
semua pengetahuan dengan sempurna. Masih banyak berbagai hal yang perlu
dipelajari. Karakter belajar seperti itu selalu aku terapkan pada anak-anak
disini. Untuk tidak merasa puas dengan setiap ilmu yang di dapat tapi selalu
berjuang dan berjuang terus mempelajari kehidupan disetiap langkah hidupnya.
Baik di alam, disekolah, dilingkungan sekitar maupun dimana saja dia berada.
Tidak terkecuali dengan aku sebagai guru mereka yang
terkadang tetap belajar dengan mereka tentang kebiasaan dan bahasa masyarakat
disini. Bertemu dengan orang baru selalu
membuat ku mendapatkan pengetahuan baru, pengalaman baru dan informasi baru.
Penerapan pembelajaran seperti itu selain ke anak-anak juga pada diri sendiri
dalam mendapatkan pengetahuan dan pelajaran hidup.
***
Berbagai
kegiatan diadakan oleh guru-guru di sekolah ini untuk anak-anak. Tujuannya
supaya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan maupun kegiatan ekstrakurikuler,
kegiatan ini dilakukan satu sekolah maupun antar sekolah. Dengan diadakannya
kegiatan tersebut, bisa diketahui bakat anak-anak. Mereka memiliki bakat
masing-masing walau pun itu tidak terasah dengan baik, karena kondisi dan keadaan
yang tidak mendukung. Dengan
kegiatan-kegiatan tersebut, anak-anak bisa mengembangkan bakatnya dengan baik.
Pada kondisi seperti aku sebagai guru memang dituntut untuk kreatif dengan
berbagai cara untuk mampu membantu anak-anak untuk mengembangkan bakat mereka.
Pada suatu pagi ada sebuah pembelajaran yang mengharuskan
kami menyediakan alat dan media tetapi keterbatasan alat dan media membuat aku
dan anak-anak harus menggunakan cara alternatif lain untuk pembelajaran.
Seperti memanfaatkan lingkungan dan benda-benda disekitar sebagai media
pembelajaran.
Sore itu terik matahari sangat menyengat. Rumah tempat
tinggal ku yang terbuat dari kayu dan terkena cahaya matahari langsung
membuatku sangat gerah dan tidak betah di dalam rumah. Ku coba nyalakan kipas
tapi masih terasa panas luar biasa, aku nyalakan dua kipas angin baru sedikit
terasa panasnya berkurang. Begitu lah cuaca di ladang sawit tempat ku ini.
Malam terasa dingin dan siangnya terasa sangat panas. Aku berencana untuk mandi
agar sore itu terasa sedikit sejuk, menghilangkan rasa panas yang mengalahkan
tiupan udara yang bertugas menyejukkan suasana. Aku mulai melangkah ke kamar
mandi dan ku buka kran air. Tapi air tak menetes. Aku heran. Baru kali ini aku
mengalami kehabisan air. Aku penasaran, dan coba hubungi tetangga rumah.
“Assalamualaikum, Makcik?” Sambil melangkah naik ke tangga
rumahnya aku mengucapkan salam dengan nada rendah. Aku mendengar derap langkah
kaki menuju ke pintu sambil menjawab salam yang aku ucapkan sebelumnya.
“Waalaikumsalam.” Jawabnya sambil membuka pintu dengan memegang seutas kipas
dan memegang kain penutup kepalanya.
“Ada apa, Cikgu?” Lanjutnya. Aku mulai tersenyum di panasnya
cuaca yang membuat bajuku mulai basah dengan keringat.
Aku menjawab, “Maaf Makcik, tidak ada apa-apa, cuman mau
bertanya apakah air tidak menyala makcik?” Tanya ku.
Dengan nada terburu-buru iya menjawab, “Oo iya, Cikgu air
mati. Maaf saya lupa memberitahu Cikgu.” Sambil tersenyum aku menjawab.
“Ooo tumben air mati. Sering beginikah Makcik?” Tanya ku
kembali.
“Kadang-kadang saja, Cikgu. Ayo masuk kerumah dulu cikgu.” Lanjutnya.
“Oo makasih, Makcik tidak usah. Saya cuma mau menanyakan itu
saja, maaf merepotkan, kalau begitu aku mohon pamit Makcik. Assalamualaikum.” Jawabku sambil melangkah
turun dari tangga. Dengan wajah tersenyum sambil mengayunkan kipas ditangannya
untuk membuang rasa panas dia menjawab, “Waalaikumsalam, Cikgu.”
Ini
merupakan kali pertama aku merasakan mati air di sini. Hal itu membuat ku
memiliki pengalaman pertama membeli air mineral beberapa botol untuk
dipergunakan mandi dan mencuci baju. Karena disekitar sini selain air dari
estate tersebut, hanya ada tadah hujan. Kebetulan pada waktu air habis karena
sudah lama tidak hujan juga. Sumber air sangat penting bagi kehidupan. Matinya
sumber air ini membuat aku berpikir untuk membuat saluran air hujan untuk bisa
dialirkan ke bak penampungan air di kamar mandi ku.
Aku mencoba memotong-motong seng bekas yang ada tertumpuk di
dekat dapur untuk disambungkan ke pembuangan air hujan di atap, agar air bisa
mengalir ke bak kamar mandi. Ku beli paku di warung dekat rumah. Penjaga warung
yang selalu akrab dengan ku mencoba bertanya. “Buat apa Cikgu?” Aku jawab
dengan bercanda, “Untuk memperluas rumah” sambil diselingi tawa.
Kami sedikit tertawa bersama. Kemudian aku menjelaskan kalau
akkan membuat saluran penampungan air hujan agar mengalir ke bak penampungan
air di kamar mandi. Tanpa kusangka ternyata dia mencoba membantu untuk membuat
penampungan air tersebut. Dengan bantuan dia aku bisa membuat saluran
penampungan air dengan mudah. Tetangga warung ku itu merupakan orang yang
sering memberikan bantuan kepada ku. dia berasal dari Sulawesi dan keturunan
bugis. Dia merantau kesini sudah semenjak tamat SMA sampai sekarang dan sudah
memiliki anak istri di sini. Istrinya juga orang bugis berasal dari Sulawesi
Utara.
Rata-rata
orang Indonesia yang berada di Sabah Malaysia ini merupakan orang Sulawesi yang
bersuku Bugis. Ada juga beberapa dari suku lainnya, seperti Jawa, Papua dan
lainnya. Walau pun bersuku kan Bugis
Indonesia tapi sebagian dari anak-anak di sini tidak mengenal budayanya
sendiri. Memperkenalkan budaya ke mereka merupakan salah satu tujuan ku disini.
Berbagai pengalaman dalam pembelajaran budaya sangat unik
yang aku alami di sini. Seperti anak-anak yang heran dengan pakaian-pakaian
budaya yang pernah aku ajarkan kepada mereka. Pada hari ini aku mengadakan
pembelajaran tentang budaya yang kebetulan dengan topik budaya Jakarta yaitu
Ondel-Ondel. Aku mulai membuka laptop dan menyalakan nya. Aku coba mencari
tentang gambar-gambar serta video tentang budaya Betawi di folder-folder laptop
ku yang telah aku persiapkan sebelumnya. Mulai aku menyambungkan laptop ke
proyektor yang sudah di nyalakan sebelumnya.
Aku mulai dengan topik asal usul budaya dan kemudian tentang
pakaian-pakaian dan tarian budaya Betawi. Sementara anak-anak terlihat takjub
dan memandang layar proyektor dengan fokus. Sepertinya mereka tertarik untuk
belajar budaya Betawi. Ketika aku asyik menjelaskan, tibalah pada penjelasan
tentang Ondel-Ondel mulai terlihat di LCD Proyektor di depan kelas video tarian
Ondel-Ondel.
Seketika itu seorang anak yang bernama Hisyam bertanya,
“Pak, kok itu bentukannya mirip raksasa?” Pertanyaan tersebut disambut tawa
kelakar teman sekelasnya. Suasana yang sebelumnya hening berubah jadi riuh. Aku
pun melihat tingkah mereka dengan senyum. Setelah mereka agak diam dari tawa
aku mulai menjelaskan.
“Anak-anak, Ondel-Ondel memang terlihat seperti raksasa.
Ondel-ondel tersebut digerakkan oleh orang yang berada di dalamnya. Seakan-akan dia menari-nari gembira. Itu
tidak bergerak sendiri.”
Terus seorang anak mulai bertanya kembali, “Ooo jadi itu
semacam sebuah tarian ya pak?” Tanyanya. Aku menjawab dengan sedikit tersenyum,
“Betul sekali anak-anak.” Pungkas ku. Tidak hanya budaya Betawi yang pernah aku
ajarkan. Budaya lain seperti budaya Minangkabau yang merupakan asal daerah ku
juga juga pernah aku ajarkan. Sampai pada Tari Piring dan ada yang sampai
memecahkan piring dalam tarian. Meskipun seperti itu mereka sangat antusias
untuk belajar budaya-budaya tersebut.
***
Tak terasa sekarang aku sudah tujuh bulan berada disini. Itu
merupakan beberapa penggal pengalaman yang aku alami selama disini. Dari aku
berumur 13 tahun aku adalah seorang perantau. Dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung, itu merupakan pepatah lama yang selalu aku jalankan dan aku
aplikasikan ke dalam kehidupanku. Sejauh tujuh bulan pengalamanku mengajar
disini pepatah tersebut bisa aku tambahkan menjadi sebuah kalimat “Dimana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung dan disitu juga kita tanamkan budaya kita”.
Banyak pengalaman lain yang tidak sempat aku tuangkan
menjadi sebuah tulisan. Pengalaman-pengalaman yang aku alami tersebut membuatku mendapatkan
banyak pelajaran. Kemana pun setiap manusia melangkah tetaplah selalu belajar.
Baju yang semakin lusuh dan batu-batu jalanan tidak akan pernah membuat surut
semangat. Setiap pengalaman yang di alami merupakan sebuah palu tempaan yang
akan selalu menempa dan meperbaiki kehidupan setiap manusia. Pengalaman pada
dasarnya merupakan guru sejati dalam melanjutkan langkah perjalanan hidup.[]
Oleh: Akmal Husada, CLC Sapi 2, TKB Labuk