Saturday, May 5, 2018

Merajut Sekolah Ramah Anak

Satelitpost, 7 Mei 2018
arifsae.com - Beberapa hari terakhir, jagad media sosial digemparkan berita tentang kekerasan yang terjadi disekolah. Salah satu Guru SMK di Purwokerto yang berinisal LS (27 tahun) melakukan penamparan terhadap sembilan orang siswanya. Meski guru LS sudah ditahan hari Jumat (20/4) sore, namun dengan sikapnya ini jelas telah keluar dari nilai-nilai kemanusian dan mencoreng tujuan mulia pendidikan.

Tragedi kekerasan di lingkungan sekolah ini merupakan berita duka bagi dunia pendidikan di Indonesia. Betapa tidak, sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua dan menjadi tempat bersemainya nilai-nilai karakter mulia, dinodai dengan perbuatan tamparan oknum guru tersebut. Kekerasan didalam sekolah atas nama apapun dan dalam bentuk bagaimanapun seharusnya tidak terjadi lagi, ini demi terbangunnya sekolah ramah anak.

Kekerasan sendiri mempunyai dua bentuk. Menurut Bashori (2010), pertama, kekerasan dalam bentuk sederhana, dan berskala kecil atau tidak terencanakan. Kedua, kekerasaan yang terkordinir yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu. Kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru berinisial LS ini masuk dalam kategori pertama.

Sang guru terancam pasal 80 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014, perubahan dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman dari tindakan kekerasan tersebut adalah kurungan penjara tiga tahun enam bulan. Sungguh ironis. Secara umum, lembaga pendidikan kita saat ini masih belum maksimal menghilangkan tindak kekerasaan kepada anak di lingkungan sekolah.

Hal ini bisa dilihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode Januari-Maret 2018. Dalam laporannya, KPAI telah menerima aduan kekerasan fisik dilingkungan sekolah sebanyak 72 kasus, kekerasan psikis 9 kasus, kekerasan finansial dan kekerasan seksual sebanyak 2 kasus. Dan mungkin masih banyak kekerasaan yang belum teridentifikasi, baik dilaporkan atau diviralkan.

Merujuk pada hasil data dari KPAI tersebut, lingkungan sekolah hingga saat ini masih jauh dari cita-cita bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Beliau menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun “manusia seutuhnya” dengan konsep tripusat pendididikan, yaitu kolaborasi antara pranata sekolah, keluarga dan masyarakat.

Disinilah peran antar pranata itu bersinergi untuk mewujudkan sekolah ramah anak. Guru menjadi penentu keharmonisan hubungan antar warga sekolah, terutama antara siswa dengan siswa atau antara guru dengan siswa sendiri. Inilah fungsi pendidikan, yaitu untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak.

Dengan melihat berbagai tragedi keekerasan ini, pemerintah seharusnya merajut kebijakan sekolah ramah anak diseluruh pelosok Indonesia. Sehingga kedepan, sekoalah tidak hanya menjadi lembaga yang hanya berorientasi dengan pencapaian kurikulum, namun juga penghormatan terhadap prinsip perlindunga anak.

Memanusiakan Siswa
Berbagai fakta diatas, mengindikasikan bahwa pendidikan belum menjadi peran signifikan dalam pembentukan kepribadian siswa yang demokratis sekaligus humanis. Akibatnya mereka menjadi “robot zaman” yang kehilangan empati dalam hati nurani (Alfandi, 2011).

Pendidikan yang seharusnya ramah anak hanya bisa terwujud jika memenuhi 5 aspek. Aspek pertama (UNICEF, 2009), kualitas pelajar yang harus mencakup sehat jasmani dan rohani, kedua, kualitas konten, kurikulum yang mendukung perkembangan anak, tiga, kualitas lingkungan belajar yang berpusat pada anak, empat, kualitas lingkungan belajar dan pelayanan yang nyaman dan lima, kualitas hasil, mencakup aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang sesuai pada tingkatan kelas dalam tingkat nasional.

Sekolah yang ramah anak akan tetap menjadi mimpi jika sistem pendidikan di Indonesia belum mau berpihak pada spirit memanusiakan siswa. Pendidikan saat ini harus merubah orientasi dari fokus hasil menjadi fokus proses. Sekolah tidak hanya pabrik perakit manusia dengan standar akhir yang sama, namun juga menghargai segala potensi siswa yang dimiliki.

Merajut kembali makna pendidikan ramah anak harus dilakukan secara kontinyu. Guru selayaknya memberikan kasih sayang dalam sentuhan pembelajaran, karena proses pembelajaran tidak hanya berkutat pada nilai angka, namun juga nilai-nilai kemanusiaan. Karena apabila guru melakukan kekerasan, lukanya akan membekas seumur hidup dalam memori siswa. Oleh karena itu, menghargai potensi anak menjadi penting, sehingga guru bisa menghargai nilai humanis sekaligus sisi demokratis dalam setiap diri siswa.

Menurut John Deway (1953), sekolah adalah sebuah masyarakat mini, yang disatu pihak sekolah harus mencerminkan kehidupan bersama di luar sekolah dan dipihak lain harus memberikan sumbangan demi memperbaiki kehidupan sosial yang lebih beradab bagi generasi muda. Oleh karena itu, mari sama-sama kita merajut sekolah ramah anak dengan benar-benar mengedepankan nilai-nilai mulia pendidikan. Sehingga sekolah benar-benar akan menciptakan generasi yang mampu mengukirkan namanya diperadaban dunia.[]

Satelitpost, 7 Mei 2018 Lihat DISINI.