Tuesday, December 15, 2020

Kisah yang Terpisah #CerpenCLCTerusan2

 

Kedai Nur Cahaya

Sore itu. Sepulang sekolah di CLC Terusan 1, aku mengendarai motor kesayanganku untuk pulang kerumah. Tak jauh memang, tapi cukup melelahkan kalau ditempuh dengan jalan kaki. Kondisi Ladang yang panas tak membuatku menyerah untuk belajar. Iya, namaku Adam, yang mengikuti orang tua merantau ke Negara Malaysia. Untung pemerintah Indonesia menyediakan sekolah gratis bagi kami anak-anak yang memang membutuhkan asupan pendidikan. Disamping belajar disore hari, aku bekerja ketika pagi. Umurku yang hampir menginjak 20 tahun tak menyurutkanku untuk mendapatkan ijazah setara Paket B.

“Dam, ikutlah aku pulang.” Suara Ijal yang mengagetkanku dari belakang.

“Ayuk, naiklah cepat.” Kataku menyambut permintaan temanku yang satu ini. Ijal memang teman akrabku, dia juga bernasib sama denganku, sebagai anak perantau dinegeri orang. Kami mengendarai motor pelan. Lumayan tak panas memang, karena matahari menurunkan panasnya dengan lembut. Tak ganas seperti ketika siang hari.

Sesampainya didepan rumah Ijal, dia turun dengan pelan. “Makasih, Dam.” Dia mengucapkan dengan keras sampingku. “Oke, Sampai ketemu besok, Jal”. Sambil kami berbalas sapa dengan tangan. Aku lanjutkan laju motor itu. Tak lama sampai juga dirumah.

Tak lama aku rebahkan badan ini. Bukan dikasur empuk, hanya sebuah kursi sederhana yang terbuat dari kayu diruang tamu. Seperti biasa, Aku buka smarthoneku, aku lihat-lihat media social yang ada dismartphone ku. Saat itu aku buka Facebook, diberanda ku mainkan jari-jemariku, aku geser jari Jempolku kekanan dan kekiri. Tak sadar perhatiannku tertuju kesudut kiri atas. Ada sosok perempuan, nama FB nya Erna Setiani. Penasaranku tumbuh. Seolah ingin mengenalnya.

“Ah, ku Add saja FB nya”, ucapku dalam hati.

Ku pencet tombol Add. Setelah itu, aku tak berharap banyak dia menerima permintaan pertemananku itu. Sambil terus melihat kebawah, kalau-kalau ada curahan hati teman yang kadang lebay-lebay atau hanya melihat berita-berita yang bersliweran di beranda FB-ku. Tiba-tiba, ada satu pemberitahuan muncul.

 Aku buka pemberitahuan itu. Tertulis “Erna Setiani menerima permintaan teman”.

Langusng saja aku buka FB nya. Tiba-tiba detak jantung ini berdetak kencang. Aliran darahku mengalir duakali lipat seperti biasanya. Tak tahu kenapa.

 Batinku berperang. Ingin rasanya berkenalan dengan dia. Namun aku bingung bagaimana harus memulai. Sempat keinginan ini tertahan, tapi penasaran berhasil merobohkan semuanya. Aku beranikan diri. Mencoba menchat dia.

“Hai, Assalamualaikum.”

            Mungkin kata-kata itu pantas untuk memulai sebuah percakapan. Tapi aku tak terlalu mengharapkan balasanya. Toh aku juga tak tau siapa dia. Aku tutup percakapan itu. Beralih kehalaman baru.

            “Hai juga, Waalaikumsalam.” Tiba-tiba sebuah bunyi singkat terdengar di HP ku. Bentuk bulatan dilengkapi fotonya muncul di pojokan HP ku. Detak jantungku bertambah kencang. Tak kusangka dia membalas Chat ku. Bingung menyelimuti diri. Aku tak tahu harus melanjutkan apa lagi. Otakku berputar, merangkai kata untuk membalas chat itu.

            “Boleh kenalan tidak?” mungkin itu kata yang pantas. Menurutku. Tapi tak tahu lah, yang terpenting aku harus secepatnya membalas chat itu. Setidaknya jangan sampai dia menunggu terlalu lama. Dan ternyata ku lihat namanya di FB ada tulisan kalau dia sedang mengetik, jelas balasanku inginya dia meng-iyakan ajakanku berkenalan.

            “Boleh.” Akhrnya muncul juga balasanya.

            “Namaku Mohammad Adam, biasa dipanggil Adam. Namamu Siapa?”

            “Namaku Erna Setiani.”

            “Kamu tinggal dimana?” Aku mencoba meneruskan obrolanku, supaya obrolanku dengannya tak berhenti disini.

            “Aku tinggal di Malaysia”.

            “Berarti sama denganku, aku juga tinggal di Malaysia.” Obrolan ini semakin lama semakin dalam. Meskipun hanya berbalas singkat, tapi setidaknya dia memberikan respon untukku. Itu cukup bagiku. Obrolan itu berlansung hingga malam tak menampakan lagi keramainnya. Kami bercakap-cakap tentang diri kita masing-masing. Seolah kami sangat akrab, dan kenal suadah sangat lama. Hingga dia mengakhiri Chat kami karena ingin tidur.

***

            Sejak saat itu, kami semakin dekat. Dekat. Seolah kami sudah kenal lama sekali. Sehari tak mendapat Chat darinya, seakan dunia tak akan tersinari Matahari. Kedekatan ini membuat aku kecanduan, mungkin bisa membuatku kehilangan tarikan nafasku bila tak bisa mendengar kabarnya setiap hari.

            Aku pun heran. Belum pernah sekalipun melihatnya, apalagi bertatapan mata denganya. Tapi kedekatan hati ini membuatku yakin, bahwa hati ini memilihnya untuk membuka pintu hatiku dan menetap dalam rumah jatung hatiku. Daripada hati ini semakin mendapatkan siksaan yang menyiksa, aku beranikan diri untuk mengajaknya bertemu. Dia memang bertempat tinggal tak jauh dari rumahku. Kami akhirnya bersepakat bertemu di suatu tempat.

            “Iya boleh, ketemuan dimana?” Itualah jawaban darinya ketika aku ajak bertemu.

            “Mau ketemuan di Simpang Sapi ya?”

            “Oke.”

            Hati ini berbunga-bunga seperti mekarnya setelah musim kemarau panjang. Kami janjian disuatu tempat. Janjian itu disepakat. Biarlah saya yang mendatangainya. Setidaknya biar dia tidak terlalu jauh pergi dari rumahnya.

            Kami sepakat untuk bertemu hari Minggu. Hari dimana aku libur kerja dan libur sekolah. Aku siapkan baju khusus. Bak orang mau bertempur dengan baju perangnya, aku siapkan perlengkapan tempur juga. Seperti parfum, baju terbaikku. Aku mantapkan laju motorku, kencang. Maklumlah, jalan disini memang harus kencang. Selain jalannya yang mulus, jalannya juga tak terlalu banyak kendaraan.

            Sesampainya dilokkasi yang kami sepakati. Aku menunggu dengan perasaan tak karuan. Entang perasaan apa ini. Grogi, nerfes. Ah apalah namanya, yang jelas jantung ini berdebar kencang.          

Aku hubungi dia lewat telepon, “Hallo, Erna dimana?”

“Disebelah penjual Pisang Goreng.” Ah, semakin tak menentu saja isi dari hati ini. Detak jantungku begitu kencang. Ku palingkan kepala kearah Penjual Gorengan Pisang. Ada seseorang, berpakain merah. Iya, ku rasa dia orangnya. Paras cantik menambah semaraknya baju merah itu. Aku dekati.

***

Sejak saat pertemuan itu. Hati ini tak henti-hentinya dipenuhi dengan bunga-bunga kehidupan. Nampaknya dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Seolah kami sudah saling mencintai meski tak resmi dengan kata-kata. Seolah hubungan ini mengalir seperti air. Kebiasaan Chat juga masih kami lakukan. Tak pernah terlewatkan.

Hingga tiba hari dimana dia Chat yang agak aneh. Entah apa maksudnya.

“Sebenarnya Abang, anggap Erna sebagai apa? Adik ataukah Pacar?” Aku sedikit kaget melihat Chat aneh ini. Langusng aku menjawab.

“Yang jelas bukan adik, bukan pula pacar?” Jawabku.

“Terus Abang anggap Erna apa?”

“Bukan Pacar lagi, tapi Abang ingin hubungan kita melebihi pacar. Abang ingin menjadi suami buat kamu Erna.”

“Hibur Erna, Bang.”

“Ada apa dengan Adik?”

“Hibur Erna, Bang. Hibur.”

Jawabanya membuatku tak tenang. Langung saja aku hubungi dia lewat telephone langsung.

“Adik kenapa?”

Langusng terdengar suara tangisan. Ternyata Erna sedang menangis tersedu-sedu. Perasaan ini bertambah tak tenang. Bertanya-tanya. Pikiran ini sudah melayang, menebak-nebak apa yang sedang terjadi dengannya. Kekhawatiran itu muncul, apalagi mendengar isak tangisnya yang semakin kencang. Ingin cepat-cepat rasanya mendenarkan jawabanya. Apa yang menyebabkannya sampai menangis.

“Adik dilamar orang di kampong.” Dia menjawab pertanyaanku, sambil terus terbata-bata mengucapkannya, karena masih menangis.

Perasaanku hancur. Seolah ada meteor mengantamku dengan kencang. Entah kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Sakit. Sakit sekali. Kalau aku perempuan, sudah ku tumpahkan segala air mata yang masih tertahan dipelupuk mata ini.

“Terus kamu bagaimana?” Sambil memastikan jawabanya.

Pertanyaanku justru membuat tangisannya menjadi-jadi. Isak tangisnya semakin keras. Tanpa mengharapkan jawabanya, aku mencoba menenangkannya.

“Erna, coba Sholat Istikharoh. Aku tidak ingin melihat Erna menangis. Semoga keputusan yang nanti kamu ambil akan jadi jalan terbaik buat kamu.” Itulah kata-kata terakhirku, sebelum percakapan kami akhiri.

Gelap. Seolah taka da hari esok. Sakit hati ini.

“Tapi aku harus kuat. Tak boleh lihat kesedihanku kepada siapapun juga.” Itulah kata yang menguatkan diriku sendiri.

Setelah itu, kami jadi jarang berkomunikasi. Aku tak tahu kabarnya dia. Karena memang dari tradisi kami, ketika orang tua dijodohkan, kami harus menuruti keinginan orang tua ssebagai bentuk bakti kami pada mereka.

1 bulan sudah berlalu sejak perisiwa itu. Hingga ada telephone dating dari HP ku, aku lihat ada nama Erna yang memanggilnya. Aku setengah bahagia. Langsung ku angkat telephone itu.

“Hallo, Assalaualaikum.”

“Walikum salam, bagaimana kabar abang?”

“Alhamulilah sehat. Kamu bagaimana?”

“Sehat juga. Tapi juga sedih.”

“Kenapa sedih?”

“Adik sedih karena terharu bisa dengar suara Abang lagi. Walaupun kita tak bisa jumpa lagi. Aku akan menuruti permintaan orang tua, Bang.”

“Kalau begitu, jangan bersedih. Kamu harus bahagia. Kita akan menjadi sahabat baik walaupun kita tak akan bertemu lagi”

Kali ini airmata ini tak bisa terbendung. Ada sedikit aliran air dipipiku. Tapi tak akan ku biarkan. Harus ku usir segera. Aku tak mau terlihat lemah dimata Erna.

“Terimakasih, Abang sudah menghiburku.”

“Abang doakan, semoga Erna bahagia bersama jodoh disana. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warakhmah.”

“Amin. Semoga Abang bahagia bersama orang-orang yang tersayang. Terimakasih untuk semuanya. Assalamualaikum.” Kami mengakhiri telephone itu dengan balas salamku.

Sejak percakapan terakhirku dengan Erna. Aku bertekad akan memulai hidup baru bersama keluarga tercinta dan teman, seperti Ijal. Teman baikku.

“Dam, ayolah main.” Tiba-tiba suara Ijal terdengar dari luar. Iya ku akan memulai hiup baru. Tanpa perassaan dendam, tanpa sakit hati, aku hanya ingin bahagia. Bahagia dengan kehidupanku, bersama teman-teman disekolah. Aku yakin, suatu saat nanti, akan datang hikmah dan anugerah yang diberikan Tuhan dihati, untuk mengganti kesedihan ini. Untuk saat ini, aku hanya ingin melanjutkan dan menyelesaikan sekolahku. Itu saja.[]

*Kisah diambil dari tokoh utama