Tuesday, December 15, 2020

Tan Malaka: Sang Badung dari Tanah Minang #SeriTanMalaka

Tan Malaka (sumber: histori.id)

arifsae.com - Layaknya anak kecil khas dari Minangkabau, Ibrahim, teman-temannya lebih suka memanggil Ibra saja, lahir pada tanggal 2 Juni 1879. Ia suka melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama teman-temannya. Main sepak bola, berenang hingga bermain layang-layang ditanah lapang. Bahkan tak jarang ia melakuakan hal-hal yang membahayakan dirinya. Ia dikenal dengan sikap ke-badung-an nya. Dalam bukunya yang berjudul Dari Penjara Ke Penjara Jilid I, ia mengisahkan kejadian yang hampir saja merenggut nyawanya. Ketika mengunjungi ayahnya di Tanjung Ampalu, Sawahlunto, Ibra tertantang karena ejekan anak-anak setempat untuk menyeberangi Sungai Ombilin. Padahal, lebar sungai itu sekitar 50 meter, bahkan orang dewasa pun enggan melakukannya. Tapi Ibra menerima tantangan itu.


Benar saja, tubuhnya tak kuat melewati sungai itu. Ibra hampir saja tenggelam karena kehilangan nafas. Untung saja ia dapat ditolong oleh kawannya yang berbadan lebih besar. Keluarga, terutama ibunya, sangat marah karena kejadian itu. Ibra diselamatkan ayahnya untuk mengurangi pukulan rotan yang dialamtkan ketubuh Ibra. Untuk mengganti hukuman pukulan itu, Ibra diikat oleh ayahnya dipinggir jalan supaya menjadi tontonan teman-temannya. Puncak hukuman Ibra diterimanya, hukuman yang paling dtakuti oleh anak-anak seusianya: jewer pusar. Tidak hanya sampai disitu, ke-badungan Ibra berlanjut, ia pernah dihukum kurungan dikandang ayam karena melakukan perang-perangan buah yang berbuntut perang batu. Tentunya hukuman itu ditambah dengan hukuman jewer pusat. Sampai-samai Ibra sudah terbiasa dengan hukuman itu.


Ibra kecil dikenal sebagia anak yang rajin sholat, bahkan ia hafal Al-Qur’an. Selepas melakukan rutinitas sebagai seorang anak-anak, ia sering tertidur di Surau karena mempelajari ilmu agama. Kecerdesaanya sudah telihat oleh orang-orang terdekat. Bukan hanya hafal Al-Qur’an, tapi dalam menempuh proses sekolahnya, ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Guru-guru di Sekolah Kelas Dua yang menjadi tempat Ibra menjalani pendidikannya terkagum-kagum. Para gurunya menyarankan Ibra untuk melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Guru Negeri untuk Guru Pribumi di Fort de Kock, sekarang Bukittinggi. Sekolah ini merupakan sekolah satu-satunya yang bisa diambil Ibra kalau ingin melanjutkan pendidikannya.


Tapi bukan perkara mudah untuk masuk sekolah itu. Hanya anak-anak ningrat atau para anak pejabat yang bisa memasuki sekolah itu. Dan Ibra bukan anak dari kedua kriteria itu. Ayahnya, Rasad yang berasal dari Chaniago merupakan pegawai rendahan sebagai mantri suntik atau vaksinator. Jelas gajinya tak lebih dari belasan gulden (f). Para guru Sekolah Kelas Dua tetap berusaha. Mereka tetap berusaha untuk membuat Ibra bisa melanjutkan sekolah ke Fort de Kock. Pada garis keturunan ibunya, Sinah, dianggap cukup untuk mendaftarkan diri. Gelar “Tan Malaka” dari kakeknya Ibra salah satu yang mendirikan Pandan Gadang yang juga membawahi bebarapa datuk. Inilah alasan mengapa akhirnya Ibra diterima disekolah lanjutan satu-satunya di Bukittinggi itu. Hasilnya, sekitar tahun 1097, Ibra sudah terdaftar sebagai siswa di Fort de Kock. Selain faktor itu, tentu yang paling menentukan adalah faktor kecerdasan dari Ibra sendiri.


Bagi orang Minangkabau, merantau merupakan jiwa dari ajaran tentang nilai-nilai kebaikan yang bisa diberikan didunia luar. Semakin jauh merantau, semakin bagus pula. Hal ini juga didorong oleh budaya matrilineal, yang mengharuskan anak laki-laki untuk tidur diluar rumah. Budaya ini secara tidak langsung “mengusir” anak lai-laki untuk keluar dari kampung halamanya. Di Bukittinggi, Ibra untuk pertama kalinya mengalami rantau itu, ia pertama kali bersentuhan dengan dunia dan budaya penjajah. Bahasa Belanda menjadi kewajiban yang harus ia pelajari. Disini Ibra berkenalan dengan G.H Horensma, yang merupakan pimpinan orkesta sekoalah. Dalam orkesta itu, Ibra merupakan pemain cello.


Dikemudian hari, Horensma menganggap Ibra sebagai anak angkat. Ia terkesima dengan kecerdasan Ibra. Meskipun Horensma juga heran, Ibra sangat susah ketika disuruh belajar. Ia lebih besemangat untuk bermain kesukaanya, sepak bola. Horensma semain kagum ketika Ibra, yang jarang belajar itu, justru yang paling cerdas diantara teman-temannya yang lain. Pada tahun 1913, ia menyelesaikan ujian teroru dan mulai mempraktekannya disekolah rendah pribumi yang harus dijalaninya selama satu tahun. Tapi Ibra memutuskan untuk tidak melanjutkan ujian prakteknya itu. Horensma menyarankan kepada Ibra untuk melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Jalan menuju ke Belanda semakin terang ketika Ibra mendapat hutang f 30 perbulan dar W. Dominicus, seorang kontrolir dari Suliki, untuk keperluan sekolahnya di Belanda. Tentunya dengan syarat, harta kelaurga Ibra.


Ibra mengikuti Horensma ke Belanda pada Oktober 1913. Sejak saat itu, Ibra hanya dua kali pulang kekampung halamanya, tahun 1919 dan 1942. Sebelum menyelesaikan sekolahnya, pada akhir tahun 1912, Ibra dipanggil kembali kekampung halamanya. Ia dipanggil untuk menerima penobatan sebagai pemangku Datuk Tan Malaka, menggantikan pemaku adat sebelumnya yang sudah tua. Sehingga namanya menjadi Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Ibra yang kemudian hari dikenal dengan nama Tan Malaka ini, memulai perjalanan rantauannya ke negeri Belanda untuk membuka cakrawala dunia.[]