Thursday, December 17, 2020

Teman Baru #CerpenCLCTerusan2


Tahun ini agenda keluarga pulang kampong, ah…untuk membayangkannya saja sudah mual sebenarnnya ini adalah perjalanan kali kedua dalam hidupku setelah 5 tahun lamannya, perjalanan yang menguras tenaga.

Aku masih ingat jelas umurku ketika itu baru genap 12 tahun perjalanan pertamaku menuju Malaysia setamat Sekolah Dasar orangtuaku mengajak untuk ikut dengan alasan khawatir jika aku harus ditinggal jauh dari mereka terlebih pergaulan di kampong yang tidak karuan, seperti balap-balapan motor dan Narkoba ibu memilih mengajaku ke Malaysia.

Bayang-bayang perjalanan yang panjang membuatku malas untuk mengingatnnya, terlebih harus bersembunyi kanan kiri agar perjalanan lancar dari pemeriksaan, sebentar lagi itu akan terulang kini urusannya lebih rumit aku sudah bukan lagi anak kecil tentunnya harus memiliki dokumen untuk keluar dari Malaysia sedangkan sampai saat ini aku belum memilikinya, bagaimana tidak walaupun usiaku sudah cukup untuk memiliki dokumen resmi tetapi karena perawakanku yang ceking kurus, membuat mandor tidak percaya jika aku telah berumur lebih dari lima belas. Jadi, wajar aku khawatir namun ibu meyakinkanku perjalanan ini akan baik-baik saja.

Mataku mulai lelah akhirnnya segera kusandarkan pada kasur yang tak seberapa tebal hingga menunggu mobil jemputan tiba. Pada bagian rumah lainnya orangtuaku masih menerima tamu dan bapak masih sibuk mengikat barang-barang yang bertumpuk, barang-barang itu pemberian para tetangga yang harus kami bawa ada minyak, gula, dan bahan pokok lainnya. Aku mulai tidak perduli karena tubuhku meminta istirahat.

“Yus,yus, bangun ayo cepat, mobil jemputan sudah datang!” tanganku mengucek mata yang masih terasa berat, ini jam berapa pikirku setahuku baru beberapa menit saja aku menutup mata, jam dinding masih menunjukan pukul 12.00 malam dimulai dari sini aku tidak dapat berleha-leha.

 Tidak pikir panjang aku segera meraih beberapa barang-barang untuk dimasukan ke dalam mobil membantu bapak. Waktu yang kami miliki untuk membereskan barang hanya lima belas menit tidak boleh lebih, karena setiap menitnnya telah diperhitungkan agar sampai dermaga tepat waktu, tidak ada sedikitpun terlintas untuk menikmati perjalanan, aku memilih kursi paling belakang agar tidurku tidak terganggu karena perjalan masih jauh. Dari jendela mobil yang terlihat hanya gelap serta sesekali kilatan cahaya dari arah berlawanan.

Setibannya di dermaga aku mengikuti perintah sopir untuk segera memindahkan barang-barang tubuhku masih limbung akibat perjalanan yang jauh, tapi itu tidak dapat kutunda karena perahu telah menunggu. Menembus batas negara.

Perjalanan ini yang paling panjang dua hari tiga malam di atas perahu sudah seperti rumah sendiri sesekali aku pergi ke tepian kapal untuk melihat lautan luas. Dalam kapal manusia berjubel berhimpitan dengan barang-barang belum lagi pemandangan mabuk laut yang juga ikut mengguncang perutku. Malamnya aku sangat senang karena akan melihat bintang yang banyak diangkasa, merasakan betapa kecilnnya aku di dunia ini hingga mataku mulai lelah dan tertidur. Angin laut berhembus perlahan membangunkanku dan memaksa melipat tubuhku sedemikian rupa agar semakin hangat.

Matahari pagi telah terlihat, begitupun dengan dermaga tempat perahu bersandar bahagiaku tidak terbendung lagi hanya menghitung jam aku akan sampai ke kampung halaman. Dengan gesit ibu segera mencari kendaraan dan ayah menurunkan barang-barang. Terlihat deretan bus yang berbaris rapih.

“bu…bu, bus mana yang akan kita naiki,” aku masih bingung kerana satahuku lima tahun lalu bus di sini tidak sebanyak ini.

“yang itu Yus!” tangan ibu menunjuk kearah bus besar berwana merah.

Setelah memastikan semua barangku masuk ke dalam bus, mataku menatap jendela bus yang berjajar dari luar terlihat begitu penuh, wah, sepertinnya harus berdiri, sudah lelah berhari-hari perjalanan harus berdiri. Untuk memastikan semua itu aku segera naik ternyata hampir semua kursi terisi untungnya ibu telah lebih awal naik setidaknya ada satu kursi yang kosong, tapi apa tega aku membirkan bapak berdiri mukannya terlihat begitu lelah tidak kalah lelahnnya denganku sudahlah biar kursi itu untuk bapak saja. Mataku terus celingkukan kiri kanan ada terselip satu kursi kosong dibagian belakang.

“bu!yus, duduk dibelakang ya, biar bapak yang di sini,” sambil menunggu penumpang lain meroko di bawah  aku berjalan menuju ke belakang.

Dideretan itu sudah ada seorang pemuda aku kira usiannya tidak jauh beda dengan ku,

“hai boleh duduk di sini?” sapaku untuk memastikan kalau kursi itu memang tidak ada yang menduduki.

“O,tentu saja boleh!” jawabnnya ramah tanpa ragu aku segera duduk disamping jendela sambil menikmati pemandangan manusia yang sedang hilir mudik.

Setelah lelah seharian akhirnnya aku dapat duduk dan bersantai, sambil membuka ponsel untuk sekedar update status dimedsos. Raung mesin bus mulai terdengar, pak sopir mulai menekan klakson tanda bus sudah siap jalan, dengan segera para penumpang yang berada di bawah tadi mematikan rokoknnya untuk kemudian bergegas naik kedalam bus.

Mataku masih menikmati ponsel, namun setelah bus berjalan serasa otaku ada yang aneh mataku tidak dapat dengan fokus menatap layar ponsel akhirnnya aku memutuskan untuk menyimpan dalam saku celana.

“Hai, siapa namamu?” aku terperanjat pemuda tadi menyapaku mungkin ia pikir bosan jika harus berdiam diaman,

“hai, Namaku Yusril, kamu?” aku coba mengimbangi pertanyaannya tadi agar percakapan terus berjalan habis bosan juga jika hanya melihat ke jendela yang ada nanti perutku mual.

“Namaku Wandi, kamu  mau kemana atau dari mana?”

“aku baru saja datang dari Malaysia kamu Wan, emh, baiknnya aku memanggilmu Wan, atau di?”

Hahaha, apa saja boleh asal masih Wandi artinnya, Wah, Malaysia asik lah, pasti habis berlibur? aku baru saja dari rumah paman, mau pulang sebentar lagikan masuk sekolah.”

Aku menjawab dengan senyum tipis ada rasa iri ketika mendengar kata sekolah, aku sudah lupa bagaimana asiknnya sekolah karena hari-hariku kuhabiskan di tengah-tengah blok kelapa sawit.

he,tidak aku bukan liburan, ibu dan bapak kerja disana jadi aku ikut dengan mereka,”

“O, lantas di sana kamu sekolah?” tanya Wandi padaku,

“tidak aku membantu ibu dan ayah bekerja, dulu sempat sekolah di Sekolah Dasar tapi itu sudah lama sekali,” sebenarnnya Wandi tak perlu tahu sekolah atau tidak bisa saja aku bilang aku sekolah namun lidahku tidak menjawabnnya seperti itu. Entah kenapa.

Jawaban tadi membuatku malu memang seharusnnya diusiaku sekarang aku masih sekolah tapi apa boleh buat keluargaku memilih lain. Sempat terpikir ingin sekolah tapi bagaimana dengan bapak dan ibu disana nanti mereka sudah tua membutuhkan tenagaku, apa boleh buat aku kubur dalam dalam keinginan itu.

Wah, sayangnnya tapi tak apa, semoga nanti kamu bisa lanjut sekolah.”

Wandi mencoba menenangkan perasaan ku. Setelah wandi berkata seperti itu ada rasa ingin tahu yang kuat tentang sekolah. Tiba-tiba kami sama-sama diam sepertinnya Wandi sedang mensyukuri hidupnnya, ia masih beruntung bisa sekolah. Aku tidak pernah kecil hati.

“Akupun Ingin sekolah sepertimu Wan, di mana kamu sekolah sekarang wan?” pertanyaanku memancing agar Wandi menceritakan mengenai sekolah walaupun hanya cerita dari orang yang baru ku kenal tapi mendengarnnya saja aku sudah sangat senang, Wandi mulai menceritakannya. Segera kupasang telinga betul-betul untuk mendengarkan wandi bercerita, ia mengawali cerita ketika asiknnya belajar matematika, juga percobaan-percoban yang dibuat pada pelajaran IPA, selanjutnnya taman-teman dekatnnya juga kegiatan ekstrakulikuler yang ia sukai.

Tidak terasa perjalanan makasar bulukumba yang begitu singkat, sudah banyak yang ku dengar dari Wandi mengenai sekolah aku rasa itu sudah cukup. Wandi mulai merapihkan barang barangnnya,

 “sebentar lagi aku turun, nanti kita sambung lagi percakapan kita, boleh aku meminta no hp mu?” aku sangat senang bertemu dengan Wandi. Tidak lupa akupun meminta alamat media sosial yang dapat ku hubungi. Semenjak itu kami memulai pertemanan.

Lambaian tangannya mengakhiri pertemuan kami, semakin jauh Wandi semakin kecil dan menghilang dari pandanganku. Laju bus semakin cepat liukan demi liukan membuat perut semakin mual aku coba menenangkan diriku dengan bersandar pada jendela mobil sambil sesekali menikmati angin sepoy-sepoy dari luar. Tidak lama tujuanku telah sampai gumam hatiku, aku masih melamun membayangkan bagaimana sekolah tapi untuk saat ini biarlah itu menguap bersama asap kendaraan.

****

Matahari tepat di atas ubun-ubunku itu pertanda karjaku hari ini selesai, aku segera pulang untuk mengisi perut membersihkan tubuh dari keringat, setelah itu, membentangkan sajadah untuk berdoa seperti biasannya. Sambil mencari buku yang akan ku bawa pergi sekolah, aku teringat kawanku satu tahun lalu Wandi, apa kabar dia. Sudah satu tahun berlalu nomor ponsel yang kupunya mungkin sudah tidak lagi aktif.

Ponsel yang sedari tadi aku pegang terus ku putar-putar sambil berpikir bagaimana menghubungi Wandi teringat aku pernah bertukar pertemanan di Facebook kursor segera ku arahkan pada mode pencarian untuk mencari namannya, akhirnya! Selanjutnnya ku kirim pesan singkat untuk sekedar bertannya kabar, tak lama Wandi membalas pesanku.

“Kabarku baik bagaimana denganmu,senangnnya aku mendapat pesan dari kawan di Malaysia,” jawab Wandi.

Kami bercerita panjang mengenai sekolah saat ini Wandi sedang mempersiapkan untuk ujian Nasional, aku tidak mau kalah jariku terus menekan huruf-huruf yang berada di layar ponsel, menceritakan tentang pengalamanku pertamakali sekolah dan kegiatanku di Jambore Anak Indonesia Malaysia yang baru saja ku ikuti, Wandi sangat terkejut mengetahui aku sekolah. Ia pikir aku sekolah di sekolah Malaysia. Namun setelah kujelaskan ia baru paham mengenai sekolahku. Pasti ia ikut senang mendengarnya, sebagai teman baik Wandi selalu memberiku semangat kami berdua membuat janji sebagai dua orang teman jauh, suatu hari nanti ketika kami berjumpa kembali kami akan bercerita tentang kesuksesan yang kami perjuangkan.

Jaman semakin maju media penghubung antara satu daerah dengan daerah lain sudah terasa tidak ada batasan lagi setiap orang dapat menghubungi siapa saja yang mereka mau, walaupun tidak semua orang yang kita kenal adalah orang yang pernah bertemu dengan kita, kita tetap memanggil mereka dengan sebutan teman. Hal itu tidak untuk Wandi walaupun saat ini kami hanya dapat menikmati pertemanan melalui layar ponsel tapi kami pernah berjumpa dan akan selalu berjanji untuk berjumpa sekedar melepas rindu saat aku pulang nanti. Aku tersenyum membayangkannya serasa masa depan tidak jauh lagi.

Seperti kuceritakan tadi pada Wandi kini di tempatku mencari rezeki, Malaysia ada sekolah untuk anak-anak seperti kami aku sangat beruntung menjadi bagian dari sekolah tersebut. Jam dinding telah menunjukan pukul 03.00 sore aku segera bergegas menuju sekolah, yang berada dibalik bukit. Kemarin aku mendengar kabar dari Tuan[1] hari ini ada guru baru yang datang untuk mengajari kami, semangatku berkali-kali lipat sandal segera kusambar untuk memudahkan langkah ku menuju sekolah, buku yang hanya satu itu kulipat dan kutenggerkan pada saku celana belakang. Hidup adalah teka teki yang terus berlanjut aku tidak pernah tahu kapan kesuksesan menghampiriku tapi selama ada jalan untuk berusaha aku selalu ada disitu.



[1] Tuan adalah panggilan para pekerja untuk Manager di Setiap Ladang Malaysia