Saturday, July 31, 2021

Cari Tips dan Contoh Essay Beasiswa Unggulan untuk S-2 dan S-3? Mampir sini!!!

Sah ya guys, Awardee.


arifsae.com - Beasiswa Unggulan setiap tahun di buka, kesempatan kalian untuk berkuliah tanpa biaya, bahkan diberi uang tiap bulannya. Beasiswa Unggulan ini dari Kemendikbud Ristek ya. Enaknya beasiswa ini tuh, kita bisa memilih jurusan dan universitas sesuai selera kita. Tentu harus yang sudah minimal terakreditasi B ya.

Kalau kalian baca tulisan ini, artinya kalian sedang mencari contoh Essay Beasiswa Unggulan, tentu saja dengan tema, "Aku Generasi Unggul Kebanggaan Bangsa Indonesia". Ini kasusnya saya, yang mendaftar Program Doktor atau S-3 ya. Mungkin hampir sama dengan S-2. Sudah punya Proposal Rencana Studi? Kalau belum dowload DISINI.


Essay ini penting sekali, bahkan kalau saya bisa bilang, ini nyawa kalian dalam mendaftar beasiswa, kenapa? karena kalau administrasi, semua calon pendaftar akan sama, tinggal mengikuti petunjuk, tapi kalau essay, itu nilai jual dan keunikan kita yang bisa kita "tawarkan".

Ini catatan penting, Beasiswa Unggulan mencari orang, (1) berprestasi tingkat nasional dan atau internasional, (2) berkontribusi kepada daya saing bangsa disegala bidang. Jadi, ga usah minder ga punya prestasi, mungkin kalian kategori kedua.

Untuk syarat-syarat lengkapnya baca di web resminya langsung. Saya hanya mau kasih contoh essay. Ini pengalaman pribadi ya. Jadi setiap awardee bisa berbeda-beda. Saya sendiri awardee S-3 Beasiswa Unggulan tahun 2020 kategori Masyarakat Berprestasi. Langsung aja ya, nih 5 tips dari saya:


1. Jadi diri sendiri. Essay itu personal, tunjukan nilai jual kita dengan cara menonjolkan keunikan kita. Boleh mencontoh format dari yang lain, tapi jangan sekali-kali mencontoh isi nya, contoh strukturnya saja. Karena setiap orang memiliki keunikan sendiri. Gali dan munculkan itu.


2. Untuk kategori S-1 biasanya berisi tentang "akan", tapi untuk S-2 dan S-3 harus menonjolkan tentang yang "sudah". Kalau kalian termasuk kategori S-2 dan S-3, pertanyaanya, apa yang sudah di kontribusikan selama ini? Apa yang sudah dilakukan untuk Indonesia?


3. Saya menyusun essay jadi 3 bagian, pertama, ambil isu terkini yang hangat dan cocok dengan jurusan kita yang akan diambil, jangan banyak-banyak, cukup dua atau tiga paragraf kedua, tampilkan apa kontribusi yang sudah kita lakukan, tidak harus prestasi besar, tapi dari hal-hal kecil yang sudah pernah kamu lakukan untuk sekitar juga bisa, bagian ini yang paling banyak porsinya, dan ketiga, kaitkan dengan rencana masa depan kita, ini juga penting, apa yang akan kamu lakukan dimasa depan setelah lulus, munculkan disini, sekaligus jadi penutup.


4. Dalam menulis essay, usahakan ambil kutipan ilmiah, bisa dari jurnal, quote tokoh, atau lainnya. Kemudian kaitkan dengan jurusan kita. Khusus untuk S-2 dan S-3, harus ada bau-bau akademisnya ya, jangan semua isinya tentang opini kita. Terkesan opini pribadi saja, tanpa didukung dengan landasan pendapat tokoh. 


5. Kalau sudah jadi, periksa dan baca berkali-kali, dari struktur katanya, atau ejaanya, jangan sampai typo ya. Malu-maluin. Jangan sampai panita membca tulisan kita terganggu gara-gara hal ini. Ingat, koreksi berkali-kali. Bila perlu minta saran kepada orang yang berpengalaman.


Itu aja dah, ga usah panjang-panjang. Lagian ga di baca juga. Gampang kan? hahaha...😂😂😂


Sekali lagi, Dissclamer, Essay dibawah adalah pengalman pribadi, yang saya gunakan untuk mendaftar Beasiswa Unggulan 2020, dan yang akhirnya mengantarkan menjadi Awardee. Semoga bermanfaat. Good luck guys.!

**********************************************************************************************

AKU GENERASI UNGGULAN KEBANGGAAN BANGSA INDONESIA

[Berdialektika dengan Masa Lalu untuk Mendefinisikan Masa Depan] 

Persatuan Indonesia yang kita nikmati saat ini berakar kuat dari sejarah yang menjadi  landasan memori kolektif masyarakatnya dalam menjaga kebhinekaan, seperti kata Mohammad Natsir, “Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri.” Salah satu founding father ini mengingatkan kita tentang pentingnya akar sejarah sebagai sebuah bangsa. Mempelajari sejarah menjadi sebuah keharusan, bukan pilihan, karena dari sejarah lah integrasi bangsa dapat terangkai kuat hingga saat ini. Sejarah adalah kita dan kita adalah sejarah, artinya, sejarah adalah sebuah puzzle yang tak bisa terpisahkan dalam dinamika kehidupan setiap orang, masyarakat maupun sebagai sebuah bangsa, karena banyak rahasia dalam setiap peristiwanya, seperti kata Winston Churchill, “Belajarlah pada sejarah, karena dalam sejarah terdapat semua rahasia negara.”

Dalam konteks Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya tinggal di desa-desa, mereka tidak terpikirkan untuk belajar sejarah, untuk mengenyam pendidikan formal saja masih ada sebagian orang yang punya paradigma “kolot”, bahwa tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak ada gunanya, apalagi kaum perempuan, jauh lebih terpinggirkan lagi, seolah lupa bahwa R.A Kartini pernah mendorong semangat untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, beliau berkata, “Kita harus membuat sejarah kita untuk menentukan masa depan, yang sesuai dengan keperluan kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki.” Pesan R.A Kartini sepertinya masih relevan untuk masa kini, bahwa pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk membentuk generasi unggul pada masa depan, yang berpijak pada karakter dan budaya bangsa.

Untuk menuju pada unggulnya bangsa ini, terlebih dahulu harus meningkatkan kualitas dan kuantitas para generasi muda yang terdidik. Tentu dengan kolaborasi yang serasi antara orang tua dan anak yang menjadi modal paling kuat untuk menuju “Generasi Emas” pada tahun 2045. Modal mempunyai orang tua inilah yang saya artikan sebagai sebuah anugerah, karena orang tua saya begitu mementingkan pendidikan anak-anaknya, meski dengan segala keterbatasan ekonomi. Saya dibesarkan dalam keluarga sederhana dari orang tua yang berprofesi sebagai petani, dan terbiasa hidup dengan kesederhanaan. Meski orang tua terbiasa bergelut di sawah, namun pemikiran mereka tentang pentingnya pendidikan sangat “mewah”. Kemewahan itu bisa saya rasakan dari keinginan mereka untuk melihat anaknya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Keinginan itu dimulai dari masa sekolah dasar di kota kelahiran, Purbalingga. SD Negeri 1 Galuh menjadi titik awal mengenyam “kawah candradimuka” ilmu selama 6 tahun mereguk nikmatnya pendidikan. Di sini, saya selalu masuk peringkat 3 besar di kelas hingga lulus. Melanjutkan jenjang SMP di SMP Negeri 5 Purbalingga. Prestasi di SMP didapat dalam bidang olah raga, pernah menjadi juara 1 lomba futsal tingkat Kabupaten Purbalingga. Dalam akademik selalu masuk peringkat 5 besar di kelas. Setelah lulus, tahun 2003 melanjutkan ke SMK Muhammadiyah Purbalingga sesuai saran orang tua. Di jenjang ini, mulai belajar berorganisasi, yaitu Pramuka. Pernah menjabat sebagai Pradana di SMK Muhamamdiyah Purbalingga periode 2004/2005. Hingga mewakili Jawa Tengah pada acara Jambore Nasional Hizbul Wathon di Klaten pada 2005.

Setelah lulus SMK tahun 2006, ingin melanjutkan kuliah tapi kondisi keuangan orang tua tidak memungkinkan. Akhirnya, selama 1 tahun mencoba bekerja menjadi penjaga warnet untuk mengumpulkan tabungan registrasi masuk perkuliahan. Hingga tahun 2007, rasa haus ingin kuliah tak bisa ditahan lagi. Dengan meminta doa restu orang tua, saya ijin untuk melanjutkan pendidikan yang tertunda. Meski keuangan yang pas-pasan, orang tua mendukung penuh, beliau berpesan, “Kalau itu sudah jadi tekadmu, lakukan. Bismillah, yang terpenting harus serius dalam kuliah.”

Pesan itulah yang saya pegang selama kuliah S-1. Pilihan untuk kuliah sesuai saran orang tua tertuju ke Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Alasan orang tua sederhana: yang terdekat dan meminimalisir biaya kos dan biaya hidup, karena bisa ditempuh dengan Pulang-Pergi. Meski jarak dari Purbalingga-Purwokerto cukup jauh, sekitar 30 km, namun saya menjalaninya dengan kerelaan, “Untuk kuliah saja saya sudah sangat bersyukur,” begitu tekad ku. Untuk memilih jurusan saya dibebaskan, saya memantapkan pilihan di program studi pendidikan sejarah, alasanya seperti pesan Confoucius, bahwa, “Pelajari masa lalu, jika kamu ingin mendefinisikan masa depan.” dari sinilah saya memulai untuk mendefinisikan masa depan yang lebih baik. Pesan orang tua berusaha sungguh-sungguh saya jalankan dengan cara :

Pertama, kuliah dengan target lulus tepat waktu. Waktu 3,9 tahun proses perkuliahan saya selesaikan dengan lancar. Nilai yang didapat juga tergolong sangat memuaskan dengan IPK 3,40 di akhir masa kuliah. Nilai ini yang sudah mengantarkan saya mendapatkan beasiswa dari DIKTI untuk kategori Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 2008 sampai 2011. Ketika memasuki semester akhir, saya diikutkan menjadi asisten dosen untuk meneliti tentang sosialisasi bahaya Tsunami di Cilacap. Sebuah kesempatan langka yang hanya diberikan kepada saya diantara teman-teman satu angkatan lainnya.

Kedua, berorganisasi sesuai pilihan hati. Dunia kampus menawarkan alternatif untuk mengembangkan diri selain di ruang kelas, tentu saja dengan cara berorganisasi. Organisasi di kampus menawarkan banyak pilihan untuk mengasah softskill. Tercatat selama kuliah, saya pernah menjajal berbagai organisasi kampus, seperti, Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Sejarah (Sekertaris periode 2008/2009). Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP (Sekertaris periode 2009/2010) dan menjadi anggota di BEM pusat UMP.

Selain organisasi “ruang kelas”, saya juga mengikuti beberapa organisasi “luar kelas”, seperti bela diri Tarung Derajat Satlat UMP, jadi wakil ketua tahun 2010. Dan menjadi anggota pada UKM Sepak Bola, jadi penjaga gawang UMP tahun 2008-2010. Dari berbagai organisasi itu, saya sering terlibat sebagai panitia dalam berbagai acara. Selain sebagai panitia, rentan tahun berorganisasi ini, banyak kegiatan seminar, workshop dan pelatihan yang diikuti. Baik itu utusan dari organisasi maupun individu [ada 37 sertifikat]. Semua kegiatan organisasi ini saya ikuti karena pilihan hati. Apabila sudah masuk ke hati, semua rintangan akan mudah teratasi dan tetap berprestasi.

Ketiga, masuk pondok pesantren. Dengan aktifitas organisasi dan kegiatan kampus yang begitu padat, tidak memungkinkan lagi untuk pulang pergi dari Purbalingga-Purwokerto. Akhirnya saya mendaftarkan diri di Pondok Pesantren Roudhotut Tholibin yang letaknya tidak jauh dari kampus. Terhitung sejak tahun 2008 (semester 3), saya diterima sebagai santri “Kalong” di pondok itu. Di sini, saya diminta membantu mengajar MTs-SA Roudhotut Tholibin sejak dirintis tahun 2009. Disaat kawan-kawan yang lain masih berkutat pada teori, saya sudah terjun langsung merasakan dinamika dunia pendidikan secara nyata. Selain menjadi pengajar di MTs, saya juga sesekali menjadi pengajar untuk Sekolah Kesetaraan Paket C yang diadakan oleh pondok. Memang tidak setiap hari, karena harus berbagi waktu dengan urusan akademik dan organisasi kampus. Urusan ilmu di pondok memang tidak maksimal, namun yang pasti, ilmu “kehidupan” di pondok sangat terasa hingga saat ini, terutama tentang kesederhanaan, pengabdian, keikhlasan dan perjuangan.

Keempat, bekerja sekuat tenaga. Bekerja dalam konteks ini adalah mengajar, karena membantu mengajar inilah, segala biaya hidup di pondok digratiskan, seperti makan dan tempat tinggal. Jadi selama kuliah, meski tidak pernah kost, saya bisa menjalani hidup dengan mandiri, tanpa membebani orang tua. Selain itu, saya juga berjualan pulsa lewat HP sejak 2008-2011, yang saat itu masih jarang dan sangat menguntungkan. Sesuatu yang selalu saya syukuri, karena dari hasil kerja dan bantuan beasiswa, praktis saya tidak pernah meminta uang saku lagi pada orang tua.

Memang tidak semua yang saya jalani berhasil maksimal, banyak kekurangan di sana-sini, karena harus membagi waktu diantara semuanya. Bukan tanpa masalah, namun semua masalah teratasi dengan tekad untuk menyelesaikan perkuliahan tepat waktu. Tepat 8 Oktober 2011, saya diwisuda. Dengan semangat yang belum padam untuk belajar, saya langsung melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana. Lagi-lagi orang tua berperan sangat besar, dengan doa restu beliau, saya tekadkan untuk langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.

Tujuan untuk melanjutkan perkuliahan adalah Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Sejak awal tahun 2012 resmi menjadi Mahasiswa. Passion baru muncul di masa-masa perkuliahan, yaitu menulis. Menulis menjadi hobi tersendiri dengan langkah awal membangun web pribadi www.arifsae.com, berbagai pandangan dan pemikiran bisa saya ekspresikan di sini. Lalu hobi menulis ini merambah ke media massa koran cetak untuk menulis opini, hingga saat ini sudah ada 20 artikel opini yang sudah saya hasilkan. Prosses perkuliahan S-2 ini berhasil saya selesaikan hanya 1,5 tahun dengan nilai IPK 3,64.

Sejak lulus magister, saya sudah berkomitmen untuk mentransferkan ilmu yang sudah ditekuni selama perkuliahan hanya untuk dunia pendidikan. Pertengahan 2013, saya mentransformasikan ilmu di SMA Negeri 2 Purbalingga. Di sini, saya terus mengasah hobi tulis-menulis yang akhirnya berbagai prestasi dan penghargaan saya raih. Saya juga mengajarkan kepada peserta didik untuk tidak takut berkompetisi, meski saingannya ribuan. Terbukti, ada 18 (delapan belas) kejuaran bersama anak-anak yang berhasil dimenangkan. Paling membuat bangga adalah berhasil mengantarkan menjadi Juara ke-3 LKIR LIPI. Mereka akhirnya mewakili Indonesia dalam ajang INTEL ISEF di Pitsbug, Amerika Serikat untuk bersaing dengan kontestan dari 100 negara di dunia. Sayangnya, saya tidak bisa mendampingi sampai ke Amerika karena dalam waktu bersamaan harus pindah tugas mengajar ke CLC Terusan 2, Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Negeri Sabah, Malaysia.

Selain memotivasi dengan jadi pembimbing, saya juga mencoba untuk berkompetisi individu. Dalam dunia kompetisi, saya pernah menjadi Pemenang Karya Tulis Ilmiah Simposium Guru Nasional 2015, dan diundang ke Istora Senayan untuk merayakan Hari Guru Nasional 2015 bersama Presiden Joko Widodo dan Mendikbud waktu itu, Anies Baswedan. Masih banyak kompetisi dan karya lain yang sudah dimenangkan, saya sertakan dalam bagian “PRESTASI” di pendaftaran [ada 60 item]. Awal 2017, dipercayai menjadi penerima bantuan dari Direktorat Sejarah, Kemendikbud untuk menulis Biografi Usman Janatin, Pahlawan Nasional kelahiran Purbalingga. Hingga pada pertengahan 2017, saya mendapatkan amanah menjadi guru untuk anak-anak Indonesia di Perkebunan Sawit di Negeri Sabah yang di inisiasi oleh Dirjen GTK, Kemendikbud. Di tempat tugas baru, beban pekerjaan lama “bersatu” dengan pekerjaan baru. Selain menyelesaikan penulisan Biografi Usman Janatin, yang penelitiannya dilakukan sebelum berangkat, juga harus menyelesaikan setumpuk pekerjaan baru. Semua pekerjaan itu bisa terselesaikan sesuai terget yang ditentukan.

Menjadi guru di Ladang Sawit yang gersang menjadi pengalaman yang akan abadi dalam memori, karena sangat berbeda dengan lingkungan di Jawa. Tantangan itu seperti sinyal yang susah, rumah dan sekolah yang terbuat dari kayu, juga listrik yang tidak 24 jam menjadi bumbu-bumbu tersendiri dalam pengabdian. Untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, harus menempuh 2,5 jam perjalanan dari rumah ke kota terdekat. Pengalaman menjadi guru yang benar-benar dalam keterbatasan baik sarana, prasarana, fasilias, dan lingkungan. Ditambah lagi, selain menjadi guru, juga ditugasi sebagai Pengelola (semacam kepala sekolah mini), Bendahara BOS, dan Operator Dapodik. Bahkan, ada tugas tambahan dari Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu untuk membantu mengurus dokumen pekerja sawit WNI, seperti membuat Buku Nikah, Akta Lahir, Passport hingga melayani mereka yang ingin mengambil kesetaraan Paket A, B, C. Dalam satu waktu, pekerjaan itu saling bersahutan yang terkadang datang secara bersamaan. Namun, dengan kerja keras dan disipilin, saya bisa menyelesaikan tugas tanpa halangan berarti.

Di Sabah, menulis tetap jadi tradisi. Selama 2 tahun bertugas, saya berhasil menulis 9 buku, 2 jurnal ilmiah, 1 artikel majalah, 6 opini koran dan 6 kompetesi nasional yang saya menangkan. Salah satu karya yang berasal dari blog dan sudah diterbitkan menjadi 2 jilid buku adalah Catatan Harian selama di Sabah. Hingga pada 22 Oktober 2019, karena keuletan menulis ini, saya dianugerahi Rekor Indonesia oleh MURI sebagai, “Guru yang Selama di Luar Negeri Menulis Catatan Harian di Blog Tanpa Henti Terlama.” Rekor individu ini merupakan prestasi tersendiri. Untuk anak-anak, saya membimbing mereka memenangi kompetisi AKPRES 2018 sebagai Juara 1 kategori badminton dan membantu guru lokal/pamong [yang membantu sekolah dari WNI] sebagai Juara 1 pada lomba Inovasi Pembelajaran Guru Pamong se-Sabah dan Sarawak 2018. Untuk teman-teman guru lain, saya memotori berdirinya komunitas group Guru Sandakan Menulis (GSM) guna mendorong mereka menulis buku. Sudah beberapa guru yang berhasil melahirkan karya pertamanya.

Dalam kepanitaan, menjadi panitia Jambore Anak Indonesia di Malaysia (JAIM) ke-4 dan ke-5 di Hutan Taliwas, Lahad Datu dan panitia Pekan Siaga Anak Indonesia di Malaysia (PESONA) ke-2 di Sandakan. Paling berkesan adalah pernah menjadi Ketua Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPS-LN) pada Pemilihan Umum Serentak 2019 di Distrik Sandakan. Pengalaman ini sangat mengesankan karena masuk ke “lobang tikus” di segala penjuru wilayah Sandakan yang di situ ada warga Indonesia nya. Untuk ke lokasi saja, penuh dengan rintangan yang tak ringan, seperti jalanan yang menantang, naik turun bukit curam, dan tidak ada aspal, semua itu menambah pengalaman yang sangat luar biasa. Perjuangan ini tentu saja bertujuan untuk menampung aspirasi, meski satu suara, hak konstitusi WNI dalam menentukan pemimpinnya.

Dari semua prestasi terbesar selama bertugas mengajar anak-anak Indonesia di Perkebunan Sawit adalah, memberikan kenikmatan pendidikan yang sesungguhnya. Dengan cara memulangkan mereka untuk melanjutkan sekolah ke Indonesia dengan mendaftarkan beasiaswa Sabah Bridge. Dengan status “ilegal”, saya harus mengurus semua dokumen mereka sebagai syarat wajib imigrasi. Di masa akhir penugasan, saya berhasil mengantarkan mereka mendapatkan beasiswa itu, dan sekarang sudah berada di berbagai pelosok wilayah Indonesia. Rumah mereka yang sebenarnya.

Untuk mengakhiri, saya kutip pesan Colin Powell, seorang Jendral militer Amerika Serikat, bahwa, “Tidak ada rahasia menuju keberhasilan. Keberhasilan diraih dari persiapan, kerja keras, dan belajar dari kegagalan.” Saat ini, kerja keras akan terus berlanjut untuk mewujudkan cita-cita yang lama tertunda: menyelesaikan Program Doktoral, dengan dukungan Beasiswa Unggulan 2020. Semoga ilmu saya tetap bisa bermanfaat untuk diri pribadi, orang-orang sekitar dan dunia pendidikan pada umumnya, karena ilmu yang bermanfaat adalah amal jariyah tak terputus. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, selama kita mau berusaha dan berdoa. Sesuai dengan pesan orang tua, “Kalau sudah bertekad, lakukan. Bismillah. Asal benar-benar serius. Akan ada jalan.” Aamiin… Saya yakini doa orang tua, karena saya adalah generasi unggulan kebanggan bangsa Indonesia.