Tuesday, March 25, 2014

Budaya Indis: Jawa bukan Belanda Bukan



Penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga medio abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado, percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Ibarat darah, budaya campuran ini merasuk ke dalam segala perikehidupan manusia di masa itu, sebagaimana dituturkan oleh Prof. Dr. Djoko Soekiman dalam disertasinya, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (1996), yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya pada Januari 2000.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau Jawa telah ada pendatang asal India, Cina, Arab, dan Portugis. Mula-mula orang-orang Belanda itu hanya datang untuk berdagang, tapi belakangan malah menjadi penguasa.Pada awalnya, mereka membangun gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah di Banten, Jepara, dan Jayakarta. Dengan modal kuat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang. Sekelilingnya diperkuat benteng pertahanan, lalu sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal.

Benteng semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang Belanda di Pulau Jawa. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng semacam ini. Gubernur Jenderal Valckenier (1737 – 1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal dalam benteng. Sesudah itu, para gubernur jenderal penggantinya tinggal di luar benteng. Bahkan setelah keadaan di luar kota aman, secara bertahap mereka berani bertempat tinggal dan membangun rumah di luar tembok kota. Pos-pos penjagaan dengan benteng-benteng kecilnya didirikan di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Noordwijk, Vijfhoek, dan Angke.

Di samping itu para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman yang luas, yang lazim disebut landhuis dengan patron Belanda dari abad XVIII. Ciri-ciri awalnya masih dekat sekali dengan bangunan yang ada di Belanda. Secara pelahan mereka membangun rumah bercorak peralihan pada abad XVIII antara lain di Japan, Citrap, dan Pondok Gede. Cirinya bilik-bilik berukuran luas dan banyak. Ini menunjukkan bangunan landhuis dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri atas keluarga inti, dengan puluhan bahkan ratusan budaknya.

Gaya hidup semacam di landhuizen itu tidak dikenal di negeri Belanda. Lama-kelamaan kota-kota pionir macam Batavia, Surabaya, dan Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman Jawa, yang dianggap lebih baik dan sehat. Di sini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat. Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Dalam membangun rumah tempat tinggal gaya Indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar, misalnya mereka yang tinggal di Laweyan (Surakarta), dan Kotagede (Yogyakarta). Pada masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Ada pun grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata pencariannya menjadi pemburu dan nelayan. Telundak untuk santaiRumah-rumah mewah milik para pejabat tinggi VOC menjadi pioner berkembangnya kebudayaan Indis. Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pembesar kompeni misalnya, diawali dengan mendapatkan sebidang tanah berupa hutan. Semula mereka mendapatkan hak milik dari penguasa tertinggi Hindia Belanda. Rumah dan gereja kecil di Depok, misalnya, pembangunannya diprakarsai sendiri oleh Chastelijn, pemiliknya. Rumah dan kebun tuan tanah Materman (yang kini mengingatkan nama daerah Matraman), dilaksanakan oleh tuan tanahnya sendiri. Rumah tempat tinggal Belanda masa awal di Jawa mempunyai susunan khas mirip dengan yang ada di negeri asalnya.

Di lain sisi rumah mewah dan rumah tinggal di luar benteng dibangun dalam lingkungan alam dunia Timur, atau Jawa. Sehingga hasil akhirnya adalah bentuk campuran, yakni tipe rumah Belanda dengan bentuk rumah pribumi Jawa. Rumah-rumah bergaya Indis. Bangunan rumah mewah semula dipergunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota, yang kemudian juga didirikan di wilayah-wilayah baru di Batavia. Corak bangunan rumah tinggal demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda. Ciri menonjol pada rumah-rumah Belanda di Batavia ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekadar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah, tetapi mempunyai arti dan kegunaan khusus, sebagai sarana hubungan sosial. Telundak menjadi tempat bertemu yang ideal antarkeluarga dan tetangga. Telundak yang lebar ini kebanyakan digunakan untuk duduk santai dan menghirup udara segar di sore hari. Pada masa berikutnya, pada sudut-sudutnya ditaruhkan bangku. Sebuah pagar rendah dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna mendapatkan ruang yang lebih luas.

Pada sore atau malam hari, mereka bergerombol berdatangan di ruang ini sambil merokok dengan pipa cangkolong, atau minum-minum, dan makan makanan kecil. Kadang-kadang orang tidur-tiduran di kursi malas untuk memulihkan stamina.Dari catatan-catatan kuno, ruang tengah yang terletak di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruang ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, di samping pajangan piring-piring hias dan jambangan porselin. Di ruang ini terdapat juga sebuah kerkstoel, atau kursi untuk kebaktian, khususnya untuk nyonya rumah.Setiap hari Minggu, kursi yang berukir bagus ini digotong ke gereja oleh budak-budak perempuan bersama dengan kotak sirih, payung, kitab suci, dsb. Pada dinding ruangan ini juga tergantung perabotan lain macam senjata atau alat perang seperti senapan, pedang, perisai, tombak, dsb. Pada waktu itu setiap penghuni rumah diharuskan menyediakan senjata untuk ikut menjaga keamanan. Di dalam ruang zaal diletakkan kelengkapan rumah seperti meja makan, almari tempat rempah-rempah, dan meja teh. Almari hias yang penuh berisi piring cangkir porselin juga ada yang diletakkan di dalam atau di atas almari, bahkan porselin-porselin itu ada yang diletakkan pada rak-rak papan, consol-consol, atau deurpilaster. Hiasan utama pada ruang zaal ini adalah tangga yang di Belanda sana biasa diletakkan di sudut bagian rumah depan, sedangkan di Batavia umumnya diletakkan di sudut belakang zaal.

Mengamati orang mandipada rumah yang berukuran besar terdapat bangunan-bangunan samping yang dipergunakan untuk gudang, tempat menyimpan kayu bakar, tandon air minum, beras, minyak, dsb. Biasanya bangunan rumah samping bertingkat, ruang tingkat atas digunakan untuk tempat tinggal para budak. Kebiasaan menyediakan tempat tinggal untuk budak tidak dikenal di Belanda. Para budak ini kesehatannya tidak terurus dengan baik. Hal demikian juga terjadi pada ruang-ruang pembantu di rumah induk milik para penguasa Belanda yang juga jarang dijaga kebersihannya. Sebagai contoh, budak yang tinggal di dalam rumah van Riemsdijk [apakah ia gubernur jendral??] di Tijgergracht. Di rumah ini bertempat tinggal tidak kurang dari 200 orang budak, yang terdiri atas anak-anak, orang tua atau muda yang tinggalnya berjejal. Di rumah van Riemsdijk itu juga terdapat bangunan berbentuk rumah-rumahan kecil yang terbuka disebut speelhuisje yang terletak di tepi kali yang khusus dipergunakan untuk mandi. Kemudian, van Riemsdijk menggunakannya sebagai kamar tunggu para tamu dengan menghilangkan jenjang tangga yang menuju ke arah kali. Sementara itu, ada dua buah rumah kecil berkubah yang terletak di sungai di depan rumah Gubernur Jendral Van der Parra di Jalan Veteran sekarang. Diletakkannya satu perangkat tempat duduk pada ruangan rumah kecil berkubah ini untuk bersantai, bahkan juga dipergunakan untuk menerima tamu-tamunya. Ambang pintu diletakkannya dekat dengan wastrap (tempat membersihkan kaki sebelum naik ke tangga). Bagian dalam ruang ini diusahakan berpenampilan sebagus mungkin.

Dengan demikian, Paduka Tuan Gubernur Jenderal di pagi hari leluasa mengamati setiap orang yang mandi di kali. Van der Parra tidak tinggal bersama istri di Batavia dan tidak seharian pergi ke sungai, boleh jadi bangunan ini tempat untuk berganti pakaian saja. Mungkin juga dimaksudkan sebagai hidro hobi, sebagai petunjuk bahwa ia pernah berada di Belanda. Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Bersantap sup kura-kura dan daging kijangGambaran gaya hidup mewah Indis antara lain dapat disimak pada penuturan Rooda yang menginap di Pesanggrahan Tjiampea dekat Bogor. Pada awal abad XIX, ia menulis dalam catatan singkatnya tentang kehidupan tuan tanah pemilik pesanggrahan:”… Pagi hari jam 05.30 kami dibangunkan dengan bunyi lonceng. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, para tamu segera memakai sarung dan kebaya tipis. Kami menuju serambi belakang untuk bersantai sambil minum kopi atau teh ditemani manisan dan buah-buahan.

Usai mandi para lelaki dengan menunggang kuda atau kereta mengelilingi kebun. Kemudian dilanjutkan membaca surat-surat, surat kabar, menulis, atau membaca. Makan pagi yang mewah dan enak pun sudah dihidangkan. Hidangan yang semacam ini di Eropa biasanya untuk makan siang. Sambil menikmati suguhan, telinga kami dihibur suara gamelan dan musik Eropa yang merdu. Para perempuan kemudian ke toilet dan tuan-tuan menuju ke meja bilyar.
Di sini orang mendengar orgel putar yang merdu diselingi dengan piano sambil merokok cerutu, omong-omong, dan minum anggur pagi. Kurang lebih pukul 13.00 adalah waktunya orang makan dengan piring lengkap, yang terdiri antara lain jenis-jenis makanan Indis. Seperti kare dari sarang burung atau sup kura-kura, nasi, sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai daging sapi, kijang, ikan, rempah-rempah, acar, nanas, mangga dan berbagai jenis buah-buahan; mentimun, dan macam-macam manisan yang direndam dengan minuman anggur. Pelayannya adalah para budak dan pembantu perempuan muda. Makan siang ini diiringi dengan lagu-lagu musik Eropa. Sementara itu pelayanan tuan rumah sangat bersahabat, tidak dibuat-buat dan dengan penuh kegembiraan sehingga hidangan selalu menjadi kenangan. Usai makan ada sementara tamu yang beristirahat sebentar, ada pula orang-orang yang minum teh dan kue-kue. Disusul acara perjalanan keliling dengan naik kuda atau kereta kuda. Setelah puas berkeliling disuguhkan kopi, selanjutnya para tamu muda berdansa dan yang tua-tua main kartu di meja permainan. Pada pukul 10.00 malam berkumpullah orang-orang itu untuk makan malam. Baru pada tengah malam pergilah masing-masing ke tempat tidurnya ….”

Bukan mikrokosmos Gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh dalam hal membangun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubungan erat dengan perilaku yang aktual. Pada suku Jawa, misalnya, tidak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan di antara anggota dan bukan anggota penghuni rumah, fungsi ruang tidak dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasan sistem simbolik pada umumnya, khususnya gaya penghuninya. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus di dalam rumah dengan fungsi agar privasi terjamin. Semua itu menjadikan makin canggungnya orang pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing itu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokosmos menurut konsep pikiran Jawa, tidak didapatkan pada alam pikiran Eropa.

Jelas, tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa. Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan rumahnya yang sedang dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah gema saja dari adat lama, yang sudah kabur pengertiannya. Pada orang Jawa menaikkan molo sebuah rumah tinggal dengan selamatan, melekan (tidur malam), meletakkan secarik kain tolak bala, sajen, dan memilih hari baik, memiliki arti simbolik tertentu. Bagi orang Jawa meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya paham kepercayaan tentang kekuatan supranatural yang sulit untuk dijelaskan.

Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak.Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari, seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.

Pentingnya si “jago” di atas rumah di lain sisi akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda) melahirkan gaya budaya campuran, gado-gado. Di mata suku Jawa ada pendapat budaya Indis adalah kasar atau tidak Jawa. Sementara di mata orang Belanda dianggap rendah dan aneh. Di berbagai kota di Jawa terdapat nama jalan atau kampung dengan memakai nama orang atau bahasa Belanda (Eropa) yang acap kali orang sudah tidak mengenalnya. Sementara itu hiasan di atas atap rumah juga menjadi salah satu ciri budaya Indis. Di Jawa sendiri, hiasan di bagian atap rumah kurang mendapat tempat, kecuali pada bangunan-bangunan peribadahan (masjid, gereja, pura, dan candi). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial, maupun kepercayaan. Banyak rumah penduduk di Demak, Jawa Tengah, pada bubungan atapnya dihiasi dengan deretan lempengan terakota yang diwujudkan seperti gambar tokoh-tokoh wayang, berderet-deret dengan gambar gunungan tepat di tengah-tengah. Masing-masing lempengan terakota dihiasi dengan mozaik pecah-pecahan cermin, sehingga di siang hari memantulkan sinar yang gemerlapan. Hiasan atap rumah-umah di Demak ini jelas hanya berfungsi sebagai hiasan semata-mata, tanpa mempunyai arti simbolik tertentu.Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan di antaranya juga dalam hal hiasan kemuncak bangunan rumah.

Di Belanda dengan iklimnya yang sangat keras, penunjuk arah angin dahulu merupakan alat yang penting. Sehubungan dengan ini Washington Irving menulis tentang Nieuw Amsterdam di dalam A History of New Netherland. Dia menyebutkan, pada setiap rumah di sini ada weerhaan yang sering menunjukkan ke arah yang tidak sama. Oleh karena itu, biasanya orang mengarahkan pandangan ke rumah gubernur, karena di sini orang beranggapan arah hadap weerhaan di rumah gubernurlah yang benar. Akan tetapi, baru lama kemudian mereka mengetahui gubernur memang memelihara pembantu-pembantu yang mempunyai tugas tetap setiap hari memanjat atap untuk membenarkan arah ayam jago (penunjuk arah dengan gambar ayam jago) menuju ke arah yang benar. Pada Abad Tengah tidak semua orang dapat dengan sekehendak hati membuat windvaan (petunjuk arah angin) karena dikeluarkan ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuk maupun perwujudannya. Misalnya seorang ridder (bangsawan) di atas puncak istananya dengan windvaan berbentuk seperti bendera, sedang untuk baanderheer (pejabat biasa) menggunakan penunjuk arah berbentuk persegi empat. Pada abad XV bangsawan-bangsawan tinggi menaruhkan pada ujung tongkatnya windvaan dengan hiasan mahkota. Ada pula yang menaruh hiasan berwarna keperakan pada sisi sudut persegi empat diisi dengan hiasan rozet, tetapi lazimnya diisi dengan lambang keluarga pemiliknya. Umumnya windvaan terbuat dari logam dengan warna-warna manyala yang dapat terlihat dari kejauhan. Yang sangat disukai adalah warna merah metalik, kemudian warna-warni, khususnya keemasan. Warna keemasan adalah warna yang mudah luntur, yang lambat laun akan menjadi jelek. Karena itu, disebut stofgona. Ada pula warna-warni hiasan ini yang dibuat dari porselin atau teracotta.Di Eropa sekarang, khususnya di Belanda, hiasan kemuncak yang berupa penunjuk arah angin dengan bermacam-macam bentuknya, sering menunjukkan macam usaha atau pekerjaan pemiliknya. Misalnya, lukisan jentera alat memintal (roda alat tenun) terdapat di kota Leren, gambar bajak (alat untuk membajak tanah) pada kemuncak gudang gandum di dekat Groningen, alat pencukur di atas rumah tukang cukur (di Maastricht), sebuah sepatu besar di atas toko sepatu di Utrechtse Straat 48, Amsterdam. Lukisan binatang seperti kuda dan sapi banyak digunakan untuk hiasan rumah petani.

Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada 1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo, serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi orang. 



Penulis ; G. Sujayanto