Monday, June 8, 2015

MEMBANGUNKAN RAKSASA YANG TERTIDUR: MEMULAI REVOLUSI BIRU DARI “KACA SPION”



“Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera
selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.”[1]
(Ir. Soekarno)

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.504 pulau, dilintasi garis khatulistiwa dan terletak di antara dua samudera. Indonesia memiliki luas teritorial 284.210,90 Km² dan luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2.981.211 Km² atau sekitar 70% dari luas wilayah Indonesia, sedangkan daratan seluas kurang lebih 1.910.931,32 Km². Garis pantai Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia dengan panjang sekitar 104.000 Km².[2]  Bahkan jarak wilayah Indonesia dari Barat ke Timur lebih panjang daripada jarak Ingris ke Rusia. Maka suatu keniscayaan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah negera dengan ciri-ciri maritim.
       Setelah sekian lama kita mengacuhkan potensi di depan mata, saat ini pemerintah sedang berusaha “menghidupkan” kembali budaya maritim yang sudah lama “tertidur pulas”. Usaha ini merupakan salah satu pendorong utama bagi Indonesia agar dapat berperan menjadi “pemain” penting dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia, sehingga dapat menyumbangkan keunggulan laut yang dimilikinya untuk kepentingan global. Begitu kayanya potensi maritim negara Indonesia, sehinggga tidak mengherankan ada sanjungan bahwa “Tuhan sangat sayang pada Indonesia”. Oleh karena itu, kita sebagai orang Indonesia (minimal) harus bangga dan bersyukur karena mempunyai wilayah dan potensi maritim yang jarang dimilki oleh negara lain di dunia.
Sebagai sebuah negara kepulauan, sudah sepantasnya seluruh aspek kehidupan bernegara perlu mempertimbangkan strategi politik, sosial budaya serta ekonomi sebagai negara kepulauan. Mindseet yang telah berkembang sejak lama bahwa segala aspek kehidupan dilakukan di darat harus kita “revolusi”, sehingga anugrah Tuhan tidak menjadi hal yang mubazir. Kita semua sepakat kalau perjuangan para founding fathers untuk menyatukan wilayah Indonesia tidaklah mudah, penuh dengan tetesan air mata, darah dan keringat. Kalau begitu, kenapa kita harus malu sebentar menengok ke “kaca spion”? Bukankah  negara yang besar adalah negara yang belajar dari “kaca spionnya”? dan apakah Indonesia ke depan sudah sanggup untuk memanfaatkan segala potensi yang ada sehinggga bisa menjadi poros maritim dunia?

Realita Maritim Kita: Nelayan yang Nelangsa?
Untuk mencapai sebuah tujuan, diperlukan pengorbanan dan tindakan yang nyata. Tindakan nyata yang paling penting dari mencapai sebuah tujuan adalah menentukan tujuan itu sendiri. Saat ini, Indonesia sudah memiliki pemerintahan yang sangat mendukung program menjadi sebuah negara poros maritim dunia. Untuk merealisasikan hal tersebut, semua lapisan masyarakat dan pemerintah harus bergerak “senada dan seirama”. Meskipun dalam prosesnya butuh perjuangan, justru itu tantangan, malah kita akan “berdosa” kalau berdiam diri.
       Indonesia bisa memanfaatkan perubahan geoekonomi di dunia saat ini. Salah satu contoh pergeseran kekuatan geoekonomi adalah pergeseran ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Sekitar 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% dari produk dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut, dan 45% nya (US$ 1500 trilyun pertahun) di antaranya melalui alur laut kepulauan Indonesia.[3] Karena Indonesia secara geoekonomi paling strategis, maka seharusnya Indonesia yang mendapatkan keuntungan paling besar dari arus perdagangan global tersebut. Selama ini, justru Singapura, Hongkong, Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok yang memetik banyak keuntungan.
       Selain masalah pergeseran kekuatan geoekonomi di atas, Indonesia memiliki berbagai kelemahan dalam hal batas-batas wilayah. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara lain, terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia. Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar US$ ½ (setengah) milyar sampai US$ 4 milyar per tahun akibat illegal fishing oleh kapal-kapal asing.[4] Persoalan ini masih ditambah dengan aspek kesejahteraan hidup kelautan yang jauh dari kategori ideal. Dalam hal ini mengacu pada nelayan yang menjadi “ujung tombak” di lautan, mereka tidak menikmati secara maksimal potensi kelautan yang luar biasa besar di depan “mata”nya.
       Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakterisitik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Salah satu contoh, nelayan yang berada di sekitar daerah penulis yaitu di Cilacap sendiri banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu nelayan yang penulis temui[5] mengatakan kalau jukung[6] yang biasa mereka gunakan untuk menangkap ikan bukan milik mereka sendiri, tapi milik para juragannya. Mereka tidak sanggup membeli jukung sendiri karena harganya yang paling murah saja sekitar Rp. 15.000.000,-, belum lagi untuk membeli mesin tempelnya yang berharga sama dengan harga jukung nya, dan jaring serta peralatan lainnya.
       Pola hubungan patron-klien memungkinkan mereka berhutang dalam kondisi tertentu, dan digunakan pada tujuan yang bervariasi, semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tidak heran jika umumnya nelayan “berenang” dalam “kubangan” hutang. Sebetulnya penghasilan maksimal yang didapat cukup besar sekitar Rp. 200.000,- sampai Rp. 250.000,- per hari, tapi jumlah yang masuk ke kantong mereka sekitar Rp. 50.000,- karena harus dipotong untuk biaya pembelian BBM dan setor ke juragannya. Pendapatan sebesar itu terjadi ketika kondisi cuaca sedang memasuki angin timur yang berarti sedang panen ikan, kalau kondisinya sebaliknya mereka tidak melaut.[7] Otomatis pada angin barat mereka tidak mempunyai penghasilan.
      Tetapi anehnya para nelayan tidak merasa “miskin”, mereka puas dengan tangkapan-tangkapan ikan yang menurut mereka apa anane[8]. Mereka sudah kuat menghadapi tantangan dan kerasnya hidup. Para nelayan masih menggunakan kata ajaib “allhamdullilah” dan “cukup” yang sering menjadi pijakan hidupnya. Mereka tidak suka mengeluh, meski tangkapan ikannya kadang turun dan kadang naik, tergantung ombak dan cuaca. Karena hal tersebut, meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam lingkaran “setan” kemiskinan, tapi bagi nelayan sendiri bukanlah suatu kemiskinan dan mereka merasa bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Pertanyaan bagi kita, apa para nelayan sampai sekarang masih nelangsa? yang pasti mereka butuh rupiah yang berkah setiap hari. Kalau bukan lewat bahari, mereka mau mengandalkan apa lagi?

Historia Vitae Magistra: Belajar dari “Negara” Tradisional
Kita semua pasti pernah mendengar bait lagu seperti ini “nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa”, bait lagu ini mengindikasikan bahwa kita merupakan turunan dari nenek moyang pelaut dan dulu pernah berjaya di lautan, dibuktikan dengan berdirinya “negara-negara” (baca: kerajaan) besar tradisional yang mampu membuat kita takjub dan bangga. Kerajaan-kerajaan tradisional yang sudah memiliki posisi penting dalam jalur perdagangan internasional diantaranya adalah Kerajaan Sriwijaya, Singasari dan Majapahit.
       Para sejarawan telah mengakui Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara pada kurun waktu abad ke-7 sampai abad ke-12.  Salah satu kunci keberhasilan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim terbesar adalah kebijakan yang dilakukan untuk mengolah segala sumber daya di dalam Sriwijaya. Dalam hal ini, Sriwijaya mengambil sikap aktif untuk memanfaatkan letak geografis yang strategis, artinya Sriwijaya tidak hanya menunggu para pedagang asing datang menjual dan membeli barang, tetapi dalam perkembanganya Sriwijaya menjadi "pemain" yang menentukan dan sebagai pedagang yang ulung.[9]
       Berkembangnya Sriwijaya menjadi kekuatan maritim saat itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam hal ini adalah kekuatan Sriwijaya dalam mengontrol saingan pelabuhan-pelabuhan sekitarnya, angkatan perang yang mumpuni menjadikan Sriwijaya disegani oleh saingan politiknya, dan kondusifitas yang terjaga menjadikan para pedagang tidak segan untuk berlabuh ke Sriwijaya. Hal itu dibuktikan dengan dikuasainya perdagangan Selat Malaka, padahal ibu kotanya terletak jauh, yaitu di kota Palembang. Kemudian faktor eksternalnya antara lain, hubungan diplomatik internasional yang terjaga dengan baik kepada dua “kekuatan super” waktu itu, yaitu Cina dan India.
       Sriwijaya yang berkembang saat itu sejalan dengan perkembangan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan di Jawa. Kompetisi antara Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa berlangsung ketika kerajaan Mataram Hindu memindahkan kekuasaannya ke Jawa Timur dan memuncak ketika Majapahit berkuasa di Jawa sekitar abad ke-13.[10] Sebelum itu, Singasari berhasil melanjutkan estafet kekusaan Sriwijaya di wilayah maritim nusantara dengan semboyannya Cakrawala Mandala Dwipantara, dengan melakukan Ekspedisi Pamalayu.[11] Singasari sudah melakukan hubungan perdagangan antara wilayah Timur (seperti Maluku) maupun dengan kawasan Barat (seperti Sumatra).
       Singasari melakukan ekspansi maritim ke kawasan Nusantara selain untuk menguasai jalur perdagangan juga bertujuan untuk meneguhkan kewibawaanya dalam menghadapi ancaman tentara Mongol yang membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Berbeda dengan Singasari, Majapahit melakukan ekspansi terutama untuk tujuan menguasai sumber-sumber ekonomi maritim di Nusantara secara umum. Kemampuan armada dagang Majapahit tidak dapat diragukan lagi untuk melayari samudera dan berhubungan dengan dunia internasional. Majapahit berkembang menjadi kerajaan yang besar bukan hanya menjadi kerajaan basis ekonomi pertanian, tapi pengembaan kegiatan pelayaran dan perdagangan sebagai sebuah negara maritim pun tidak perlu diragukan lagi. Perdagangan yang dilakukan mampu menjangkau wilayah yang sangat jauh, bahkan sampai Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan untuk berdagang dengan Cina.[12] Dengan demikian, perdagangan yang dilakukan oleh Majapahit bukan hanya merupakan kegiatan para pedagang itu sendiri, tetapi merupakan kesatuan dari seluruh masyarakat Nusantara dan ada kontrol dari pemerintah pusat.
       Uraian singkat di atas tampaknya sedikit menggambarkan kita bahwa perkembangan “negara-negara” nusantara zaman dulu sangat menakjubkan dan memberikan pelajaran bahwa kita dulu bisa dan pernah jadi “raksasa” di lautan. Oleh karena itu, kita seyogyannya melakukan gebragan “revolusi biru” terhadap paradigma maritim kita. Dalam hal ini, membangun sebuah paradigma maritim tidak bisa setengah-setengah, tapi harus sesuai dengan jati diri perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa Sriwijaya, Singasari dan Majapahit pernah memegang supremasi di tengah lautan selama beberapa abad.
       Orang yang bijak adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari pengalaman, dan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah meninggalkan cerita kegemilangan bangsanya pada zaman dulu. Ibarat kaca spion di kendaraan bermotor, benda yang kecil tapi mempunyai manfaat yang besar. Bahkan kalau kendaraan bermotor tidak ada kaca spionnya pasti menimbulkan “kekacauan” bahkan bisa terjadi kecelakaan. Begitu pun sebaliknya, ketika berkendara tidak perlu melihat ke kaca spion terus, itu juga berbahaya, tapi seiring-seirama dan saling melengkapi. Pandangan kita menatap kedepan, tapi lihatlah ke belakang sesekali supaya “aman”. Seperti halnya perjalanan hidup berbangsa dan bernegara, kita berjalan untuk menatap optimisme masa depan yang gemilang dengan belajar dari sejarah bangsa kita. Seperti kata bijak orang Yunani bahwa sejarah adalah guru kehidupan (Historia Vitae Magistra), yang terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, tetapi “bagaimana belajar dari sejarah”. Kita belajar dari sejarah untuk menjalani hari ini, dan mempersiapkan masa depan yang gemilang.

Revolusi Biru: Membangunkan Raksaksa Tidur
Revolusi mempunyai arti perubahan yang cepat dan pasti menuju sebuah era baru. Biru di sini diasosiasikan sebagai hamparan laut yang luas. Jadi Revolusi biru adalah usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan dengan jalan meningkatkan produksi pangan yang berasal dari laut (sumber daya laut).[13] Artinya kita harus merubah mindset dari darat ke laut dengan proses pembangunan yang kontinyu. Sedangkan mendengar kata raksasa, kita seperti teringat sosok makhluk yang memiliki perawakan tinggi, besar dan menakutkan. Semisal dalam cerita rakyat “timun mas” yang berasal dari Jawa Tengah, raksasa digambarkan sebagai sosok sangat ditakuti dan tidak ada orang yang sembarangan mendekat apalagi mengganggu. Karena kekuatannya, raksasa bisa melakukan apa saja tanpa intervensi dari pihak manapun.
       Indonesia sudah diberikan begitu banyak potensi sumber daya kelautan yang tidak dipunyai negara lain di dunia, bahkan menurut Koes Plus, tongkat dan kayu saja bisa jadi tanaman kalau ditancapkan ke tanah. Bayangkan saja, dari wilayah pesisir dan laut Indonesia terkandung kekayaan alam yang luar biasa besar dan beragam, baik berupa SDA tabarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk bioteknologi), SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi dan mineral lainnya), energi kelautan (seperti pasang surut, gelembang, dan angin) maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata laut, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati. Potensi ini diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliyun/taun.[14] Kalau saja semua potensi tersebut bisa dimanfaatkan secara produktif dan optimal, berapa banyak lapangan pekerjaan dan pembangunan yang bisa disumbangkan untuk membangun beberapa pelabuhan besar bertaraf internasional.
       Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mencanagkan delapan gerakan pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan di masa mendatang yang harus proporsional dan berkelanjutan, yaitu: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya; (2) menghasilkan produk dan jasa Kelautan dan Perikanan yang berdaya saing tinggi; (3) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 persen per tahun) dan berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat) secara berkelanjutan; (4) meningkatkan kontribusi sektor Kelautan dan Perikanan bagi perekonomian nasional (PDB) dari yang sekarang hanya 3,5% PDB menjadi 7% PDB dalam 5 tahun mendatang; (5) turut meningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan (seafood); (6) berkontribusi dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional; (7) memelihara daya dukung dan kualitas sumber daya Kelautan dan Perikanan dan eksositem perairan tawar, pesisir, dan laut supaya pembangunan Kelautan dan Perikanan berlangsung secara berkelanjutan (sustainable); dan (8) meningkatkan budaya dan etos kerja maritim bangsa serta memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Dengan mewujudkan kedelapan program dan tujuan pembangunan kemaritiman di atas, kita akan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, sejahtera, kuat, dan berdaulat. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita yakin bahwa Indonesia bisa bangun dari “tidur panjangnya dan berubah menjadi raksaksa” yang disegani dan dihormati oleh negara-negara lain di dunia sebagai sebuah poros maritim dunia.
       Selain dari segi aspek ekonomi di atas, salah satu aspek yang penting lainnya untuk membangkitkan “raksasa” maritim adalah dengan paradigma maritim bidang politik. Paradigma dalam bidang politik merupakan hal yang paling penting, karena menentukan bagaimana sumberdaya yang ada akan dikelola secara optimal sesuai dengan potensinya. Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia harus mempunyai pegangan ideologi yang kuat, dan kita sudah mempunyai itu, yaitu ideologi Pancasila yang sampai sekarang dan di masa yang akan datang masih relevan. Aspek yang juga sangat fondamental dari ideologi Pancasila adalah semangat untuk menerima perbedaan sebagai modal dasar untuk membangun persatuan, yaitu semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang maknanya berbeda-beda tetapi tetap satu.[16] Kita harus sadar, bahwa sebesar apapun kekayaan dan potensi negara kita, kalau tidak ada persatuan bangsa, rasanya akan susah untuk menggapai visi maritim sebagus apapun.
       Kita semua harus menyadari bahwa laut merupakan media yang dapat mempersatukan dan sebagai media untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian perlu cara yang integratif untuk mensinergikan antara aspek kelautan dan pulau sebagaimana yang pernah dilakukan oleh “negara-negara” maritim besar dalam perjalanan sejarah Indonesia. Paradigma maritim harus diterjemahkan dalam bidang politik, hukum, dan sistem ekonomi yang harus diorientasikan kepada pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara maritim. Pemerintah dan  semua stekhholder harus bertindak cepat untuk menggali semua potensi yang ada di depan "mata" kita. Sekarang sudah saatnya “raksasa” itu bangung dari tidur panjangnya! Mari kita “kembali ke laut” bersama-sama..

ESAI INI DIIKUTKAN DALAM LOMBA ESAI SOSIAL BUDAYA NASIONAL 2015



       [1]     Pidato Presiden Soekarno pada Munas Maritim 1963
       [2]     Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011., hlm 1.

       [3]  Achmad Rafiq. 2014. “Rencana Jokowi Membentuk Kementerian Maritim Diapresiasi” http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/22/rencana-jokowi-membentuk-kementerian-maritim-diapresiasi. diakses tanggal 15 April 2015.

[4] Sopian, Najmu Laila. 2009. “Kemiskinan Struktur Masyarakat Nelayan”., www. https://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16., diakses tanggal 15 April 2015.
[5]    Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari Minggu, 20 April 2015
[6]    Kapal kecil yang bermesin
[7]      Wawancara dengan Bapak Sagutro pada hari Minggu, 20 April 2015
[8]      Apa Anane asli bahasa Jawa Banyumasan yang artinya Apa adanya
[9]     Sulistiyono, Singgih Tri. 2014. “Paradigma Maritim dalam Pembanguna Nasional: Belajar Sejarah”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pemberdayaan Potensi Wilayah Pesisir di Kabupaten Bantaeng., hlm 8.
[10]     Ibid., hlm 9-10.
[11]    Wahyono, SK. 2009. Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Teraju., hlm 3.
[12]  Sartono Kartodirjdo. 1998. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta., hlm 2-3.
[13]  http://www.organisasi.org/1970/01/revolusi-hijau-dan-revolusi-biru-ilmu-biologi.html,. diakses tanggal 15 April 2015.
[14]     Dahuri, Rokhim. 2014. “Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju, Adil-Makmur, Kuat dan Berdaulat”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Kebangsaan Laut Sumber Kemakmuran dan Kedaulatan Bangsa. Jakarta., hlm 3.
[15]     Ibid., hlm 5.
[16]  Sulistiyono, Singgih Tri. 2014. “Paradigma Maritim dalam Pembanguna Nasional”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pemberdayaan Potensi Wilayah Pesisir di Kabupaten Bantaeng., hlm 8.