Thursday, February 23, 2017

Perpustakaan Angkutan Kota Sebagai ‘Senjata’ Pengatur Masa

Sumber Gambar
Most books are written to be tasted, others to be swallowed, and a small portion to be chewed and digested; meaning, most books are written to be read only a handful, others to be read, but not curiously; and a small portion to be read wholly, with diligence and attention (Francis Bacon).

Sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar hingga kini beranjak dewasa, mungkin sudah tidak asing lagi bila mendengar kata “perpustakaan”. Setiap orang tentu memiliki prespektif tersendiri tentang adanya suatu perpustakaan. Bagi sebagian orang yang terpelajar, perpustakaan merupakan sumber ilmu yang integral bagi penerapannya di dunia pendidikan. Namun bagi segelintir orang yang belum menyadari pentingnya ilmu bagi kehidupan, mungkin mendengar kata ”perpustakaan” hanyalah terbayang sebuah gedung lusuh yang berisi rak-rak buku dengan debu tebal menyelimutinya. Seperti yang sudah dikatakan oleh Francis Bacon seorang filsuf dari Inggris yang berpendapat bahwa, “Sebagian buku ditulis untuk dicicipi, yang lainnya untuk ditelan, dan sebagian kecil untuk dikunyah dan dicerna; maknanya, sebagian buku ditulis untuk dibaca segelintir saja, yang lainnya untuk dibaca, tetapi tidak dengan penuh rasa ingin tahu; dan sebagian kecil untuk dibaca seluruhnya, dengan ketekunan dan penuh perhatian”. Ini menjadi suatu problema dimana buku yang seharusnya menjadi sumber ilmu dan teman manusia, kini hanya sebagai penghias wajah perpustakaan.
 Paradigma perpustakaan tentunya tak lepas dari peran para pustakawannya, dimana pustakawan sebagai dasar penentu kualitas suatu perpustakaan. Tetapi paradigma ini sering gugur berbanding terbalik dengan minat rendahnya budaya membaca yang kini terus menerus tergerus oleh pesatnya arus globalisasi. Semenjak era globalisasi datang, segala proses mendunia seketika pun mulai berkembang pesat, semua informasi mendunia sangat mudah didapatkan melalui internet. Kini perpustakaan pun kalah saing dengan berbagai aplikasi yang lebih modern, lebih efisien, murah dan mudah didapat. Kunjunagan ke perpustakaan tak seramai kunjungan ke kantin, begitupula ke tempat-tempat tongkrongan remaja masa kini.
Generasi muda adalah calon pemimpin dan harapan bangsa yang menjadi pilar-pilar penegaknya. Generasi muda harus memiliki kecerdasan yang unggul dan kreatif melalui proses pembelajaran yang teringeratif, jangan sampai generasi muda hancur terkena dampak negatif globalisasi. Tanpa kita sadari, bangsa Indonesia saat ini sedang di jajah oleh negara-negara adikuasa, yang mana kita ditanamkan budaya konsumtif dimana generasi penerus kita hanya sebagai penikmat dari karya mereka. Semua produk-produk berdatangan dari luar negeri, dari alat komunikasi, transportasi, dan bahkan semua bidang dalam kehidupan sudah disediakan. Jika hal ini di biarkan begitu saja, apakah kita mau Indonesia terjajah kembali? Tidak kan? Kalau begitu mulai saat ini kita harus berubah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga terbentuk individu yang ber-lebel “produktif” bukan “konsumtif”, ingatlah bahwa kita bukan bangsa “tempe” sebagaimana yang di   ucapkan oleh salah satu founding fathers kita:
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak." [Bung Karno, Pidato HUT Proklamasi] 
Sebagai negara yang besar, dengan wilayah Indonesia 1,904,569 km2 dan jumlah individunya mencapai 252.370.792 jiwa penduduk. Sudah sepantasnya bila dunia pendidikan di Indonesia perlu di “upgrade” untuk membentuk individu-individu yang berkualitas, sehingga bisa menjadi “senjata” yang dapat menumpas kerasnya persaingan kehidupan di era globalisasi pada masa mendatang. Dengan meninggkatkan budaya membaca pasti literatur di generasi muda akan berubah, akan menjadi generasi muda yang berwawasan, cerdas dan unggul dalam mutu.  

Tekhnologi Tak Sepenuhnya Mengerti
Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan pasti dianugerahi kelebihan pada masing-masing diri mereka, yang dapat dikembangkan untuk kepentingan hidup. Kelebihan itu terus dikembangkan dan dimanfaatkan oleh manusia untuk menciptakan hal baru, yang menjadikan dunia sekarang “berevolusi”. Pada era globalisasi ini, memang tekhnologi yang berperan aktif dalam kehidupan. Setiap negara di penjuru dunia saling berlomba-lomba menciptakan inovasi baru seputar tekhnologi yang dikembangkannya. Sudah sepantasnya bila Indonesia sebagai negara yang besar harus bisa mandiri dan bersaing membuat inovasi-inovasi baru yang dapat berguna bagi masyarakat luas. Untuk dapat mencapai impian tersebut, yang kita butuhkan bukan hanya pemerintahan yang baik, tetapi seluruh anggota masyarakat yang terintegrasi dalam satu ikatan.
Abad ke-21 merupakan abad di era globalisasi, dimana segala proses mendunia di segala bidang saling terikat dan informasi-informasi dunia mudah didapatkan. Fenomena ini tentunya membawa banyak persoalan, salah satunya nasib dari institusi pendidikan yang mana perpustakaan sebagai peranan di dunia pendidkan menjadi terbengkalai. Ini menjadikan suatu tradisi baru, menyebabkan informasi yang dulunya terikat dan berpusat di dalam perpustakaan sekarang telah tergantikan oleh tekhnologi canggih berupa aplikasi seperti Google, Yahoo dan sejenisnya. Hal ini telah menjadikan persaingan yang sangat ketat diantara institusi penyedia informasi. Pada tanggal 14 April 2015 yang lalu, Pusat Kajian Komunikasi (PUSKAKOM) UI melakukan rilis pers tentang hasil survey profil pengguna internet di Indonesia. Hal menarik pertama yang kita temukan adalah sebuah fakta bahwa pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angkat 88,1 Juta. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang ada 252,4 Juta, maka dapat dikatakan bahwa penetrasi pengguna internet di negara ini mencapai 34,9%. Angka tersebut meningkat cukup banyak bila dibandingkan dengan tahun 2013 dimana penetrasi internet baru mencapai 28,6%.
Teknologi informasi dan komunikasi atau ICT (Information and Communication Technology) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan global. Oleh karena itu, setiap Institusi harus selalu berusaha untuk mengintegrasikan ICT, untuk membangun dan memberdayakan sumber daya manusia berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global (Siti Muasaroh, 2007). Kebutuhan akan ICT sangat berhubungan dengan peran perpustakaan sebagai kekuatan dalam pelestarian dan penyebaran informasi ilmu pengetahuan yang berkembang seiring dengan kegiatan menulis, mencetak, mendidik, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi (Siti Muasaroh, 2007). Kemajuan ICT dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa manusia selalu berusaha mendapatkan cara yang mudah, cepat dan akurat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Komputer merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam mengelola data menjadi informasi. Kecepatan mengolah data dalam skala besar dan tingkat akurasi yang tinggi dari data yang dihasilkan merupakan alasan mengapa komputer banyak digunakan sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan informasi seperti perpustakaan digital, dimana aplikasi ICT sangat menonjol dan memberikan kreasi baru, penyebaran dan akses sumber informasi dalam bentuk digital melalui jaringan komputer (Deni Darmawan, 2008).
Pada penelitian sebelumnya tentang perpustakaan digital, paradigma, konsep dan teknologi informasi yang digunakan (Imam Yuadi, 2007) bahwa liblary initiative menggambarkan perpustkaan digital sebagai lingkungan yang bersama-sama memberi koleksi, pelayanan dan manusia untuk menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan dan pelestarian data, informasi dan pengetahuan. Kelemahan dari sistem tersebut belum tersentralisasi datang secara baik, sehingga masih mengalami kesulitan dan mencari data, sehingga memerlukan pengembangan baru untuk menambah beberapa fitur dari perpustakaan digital sehingga lebih mudah dalam pencarian data sesuai dengan kebutuhan. Selain itu penelitian sebelumnya belum begitu terintegrasi dengan ICT sehingga masih bersifat semi digital.
  Ada kalanya memang hidup tak selalu bergantung kepada teknologi, hidup tak sekedar memencet dan menggeser tombol gadget, karena ada masalah lain dibalik kecanggihan tekhnologi yaitu adalah dana untuk bisa membeli tekhnologi canggih tersebut.

Masalah Pendidikan Kita: Dana yang menjadi penghalangnya?
Negara akhir-akhir ini meminjam jutaan uang untuk perang; tidak ada negara yang pernah meminjam uang banyak untuk pendidikan. Mungkin, tidak ada negara yang cukup kaya untuk meminjamkan perang ataupun paradaban. Kita harus memilih; tidak bisa kita memilih kedua-duanya.
  ~Abraham Flexner~
Mungkin sebagian negara lebih mementingkan hasrat nafsunya untuk bisa memperluas wilayah negaranya dibandingkan memperluas kualitas sumber daya manusianya. Masalah yang kita hadapi saat ini memang “dana” lah yang menjadi benang merah pendidikan di Indonesia. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Woro Salikin, Bidang Pemberdayaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bahwa berbagai problematika yang dihadapi oleh perpustakaan sekolah adalah masalah sumber daya manusia, anggaran dan mindset tentang pengelolaan perpustakaan.
Selain itu banyak sekolah di tanah air yang belum memiliki perpustakaan. Tidak kurang dari 98 ribu sekolah dasar (SD) di Indonesia belum memiliki perpustakaan, dari total SD mencapai 148 ribu. Sedangkan menurut Rahman Saleh kondisi perpustakaan di Indonesia pada umumnya bahwa 95% dari sekitar 200.000 perpustakaan sekolah dan daerah di Indonesia tidak memiliki sarana dan prasarana memadai layaknya perpustakaan. Dari 130.000 sekolah di Indonesia ternyata baru ada 18% diantaranya yang memiliki perpustakaan. Kemudian dari data Kementrian Pendidikan Nasional hingga tahun 2011, dari 143.437 SD, sebanyak 79.445 atau 55,39 persen sekolah tanpa perpustakaan. Di SMP sebanyak 39,37 persen sekolah (13.588 dari 34.511 sekolah) tanpa perpustakaan. Perpustakaan sekolah masih mengahadapi berbagai problematika seperti keterbasan SDM profesional, jumlah anggaran yang minim, perabot perpustakaan yang tidak memberikan rasa nyaman bagi pemustaka serta perhatian pimpinan yang kurang. Menurut Qolyubi Syihabuddin.dkk, keberadaan perpustakaan sekolah sampai saat ini kondisinya masih memprihatinkan bukan saja pada segi fisiknya (gedung dan ruang), tetapi juga dari segi pengelolaannya, sumber daya manusia, koleksi, dan alat/perlengkapan fisik yang lain.
 Menurut pendapat Darmono, mengatakan bahwa pada umumnya perpustakaan sekolah di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan sehingga belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hambatan tersebut berasal dari dua aspek. Pertama adalah aspek struktural, dalam arti keberadaan perpustakaan sekolah kurang memperoleh perhatian dari pihak manajemen sekolah. Kedua adalah aspek teknis, artinya keberadaan perpustakaan sekolah belum ditunjang aspek-aspek bersifat teknis yang sangat dibutuhkan oleh perpustakaan sekolah seperti tenaga, dana, serta sarana dan prasarana. Masalah-masalah tersebut menjadi pendorong rendahnya minat budaya masyarakat untuk membaca buku, apalagi untuk pergi ke perpustakaan.

Belajar dari Kebiasaan si “Kutu Buku”
Apakah kalian masih menganggap orang yang berkacamata tebal, berpenampilan cupu dan suka membaca harus dipanggil si “kutu buku”? Memang ekspektasi orang berbeda-beda, tetapi jangan menganggap si “kutu buku” ini adalah orang yang kurang up-date. Orang seperti inilah yang justru mempunyai wawasan luas di banding kita yang tidak suka membaca buku. Membaca merupakan benteng dari kebodohan, karena dengan membaca seseorang dapat mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain dan menambah wawasan. Di era globalisasi dengan mudahnya penyediaan informasi yang disediakan melalui berbagai aplikasi, ternyata budaya membaca masih saja ditinggalkan.
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%). Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Tahun 2011 berdasarkan Survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).  Pada tahun 2012 Indonesia menempati posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan “melek huruf”. Indonesia sebagai Negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per-tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang.
Apakah budaya membaca memang sudah benar-benar ditinggalkan? Sampai-sampai satu buku hanya dibaca 5 orang per-tahun. Paradigma hitam si “kutu buku” harus dinetralisasikan menjadi “manusia berwawasan” agar cemoohan orang perihal manusia buku hanya menjadi cerita kelam saja. Salah satu cara untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang gemar membaca. Pembinaan kebiasaan membaca masyarakar (reading habit society), merupakan tanggung jawab bersama, dan dapat dilakukan melalui berbagai jalur, antara lain: (1) jalur diri pribadi; (2) jalur lingkungan rumah tangga/keluarga; (3) jalur lingkungan masyarakat; (4) jalur lembaga pendidikan; (5) jalur instansional (perkantoran); (6) jalur intansi pembina (Perpustakaan Nasional dan Badan Perpustakaan Propinsi) (Mardiah, 2014).
Uraian singkat diatas sudah menggambarkan wajah budaya membaca masyarakat kita yang sudah semakin setitik tergerus oleh era globalisasi dan masalah lainnya. Padahal membaca itu penting guna meninggkatkan kualitas sumber daya manusia. Apakah kita mau menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang tidak berwawasan? Sudah seharusnya wawasan nusantara kita harus di “upgrade”, kita harus mempersiapkan amunisi-amunisi dan mulai memproduksi senjata agar dimasa mendatang generasi penerus bisa mengatur masa. Kata mengatur masa diibaratkan seperti roda kehidupan yang berputar, dimana memang negara kita sekarang ada dibawah, tetapi dimasa yang akan datang dengan amunisi-amunisi senjata yang sudah dipersiapkan kita akan berada di atas ambang batas kesuksesan.

Memproduksi “Senjata Pengatur Masa”
Memproduksi mempunyai arti kata menghasilkan suatu produk barang dalam jumlah yang banyak dan teratur. Produksi disini bukan tentang menghasilkan barang ataupun benda lainnya, tetapi kata produksi lebih mengarah ke dalam arti menghasilkan suatu individu yang berkualitas tinggi. “Senjata pengatur masa” mungkin orang akan bingung mendengarnya apakah senjata pengatur masa itu? Apakah senjata pengatur masa ini benar-benar bisa mengatur masa dan waktu dalam dunia yang sebenarnya? Mungkin anda pernah melihat tayangan animasi “Doraemon” si robot canggih yang mempunyai kantong ajaib. Dengan kantongnya ia bisa mengeluarkan apa saja yang dia inginkan termasuk juga bisa menjelajahi dan mengatur waktu dengan alat ajaibnya.
Jadi mulailah memproduksi amunisi-amunisi senjata untuk mengatur masa depan sejak dini, dengan mulai menerapkan budaya membaca sebagai salah satu kewajiban, maka sudah dipastikan kesuksesan masa depan akan dipegang oleh generasi baru Indonesia. Budaya membaca harus dikembangkan sejak usia dini karena pendidikan merupakan proses pembelajaran sepanjang hayat yang salah satunya perpustakaan sebagai dasar pembentuknya.

Angkutan Umum Sebagai Pabriknya
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 BAB XIII Pasal 31 Ayat 1 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh - pengaruh. Sudah dijelaskan bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dari usia dini sampai tua nanti. Untuk membentuk generasi  “senjata pengatur waktu”, Indonesia perlu inovasi baru yang bisa membuat perpustakaan digemari dan menjadikan budaya membaca sejak dini terangkat kembali. Apakah anda pernah naik Angkutan kota (Angkot)?
Angkutan kota atau biasa disingkat Angkot adalah sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja. Jenis kendaraan yang digunakan adalah Mini Bus atau bus kecil. Umumnya sebuah angkutan kota diisi oleh kurang lebih 10 orang penumpang, tetapi tidak jarang penumpangnya hingga lebih dari 10 orang. Contohnya saja Angkutan kota yang berada di kota Purbalingga, Jawa Tengah, menurut Bapak Siryanto selaku supir angkutan kota ini mengaku terkadang satu buah angkotan bisa terisis 10 sampai 15 orang. Penumpang angkutan kota ini bervariasi dari pelajar (SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa), ada pula dari guru, pedagang dan masyarakat umum lainnya. Tarif yang telah ditetapkan pemerintah bagi pelajar yaitu Rp. 2.500-per orangnya dan Rp. 3000-per orang bagi penumpang umum. Sudah jelas jika pemerintah menjadikan Angkutan kota sebagai aplikasi perpustakaan umum, maka akan terjadi proses pembelajaran sepanjang hayat yang  terbentuk dari pelajar (SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa), ada pula dari guru, pedagang juga masyarakat umum lainnya.  
Angkutan kota mulai beroprasi pukul 05.30 pagi dan berhenti beroprasi pukul 05.00 sore hari, yang mayoritas penumpangnya merupakan pelajar, tegas Bapak Siryanto. Peraturan Mentri Pendidikan No. 21 tahun 2015 mengenai wajib membaca lima belas menit sebelum pembelajaran bagi pelajar. Peraturan wajib membaca lima belas menit sebelum pembelajaran pun bisa dilakukan didalam Angkot, apalagi bila Angkutan kota ini dilengkapi dengan sarana perpustakaan seperti berbagai macam buku yang mendukungnya. Undang-undang Perpustakaan (UU no. 43/2007) pada akhir tahun 2007 lalu sebagai payung hukum penyelenggaraan perpustakaan di Indonesia. Peraturan perundangan (tentang perpustakaan) merupakan landasan hukum yang isinya adalah gagasan, konsep, nilai, ide dan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan di perpustakaan, dan jika ide ini dikembangkan mungkin budaya membaca Indonesia akan mulai terbangun kembali.
Sudah saatnya pabrik senjata pengatur waktu di Indonesia mulai di operasikan untuk “mencetak” generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai golongan masyarakat terutama pemerintah sebagai penggeraknya. Sudah saatnya pioner-pioner Nusantara dihidupkan kembali melalui “jendela dunia” (buku). Mari kita ramaikan paradigma dunia perpustakaan sejak usia dini hingga kita kembali...     
  
Daftar Pustaka
Anonim. 2015. Profil pengguna internet di Indonesia tahun 2015. Pusat Kajian Komunikasi (PUSAKOM) UI.  http://blog.idkeyword.com/profil-pengguna-internet-di-indonesia-tahun-2015/. Di akses tanggal 20 April 2016.
Chaniago Marwadi. 2013. Buku Siswa IPS Kelas VII SMP/MTs K13. Halaman 65-66. https://www.scribd.com/doc/236091409/19/Jumlah-dan-Kepadatan-Penduduk-Indonesia. Di akses tanggal 20 April 2016.
http://jagokata.com/kutipan/kata-pendidikan.html?page=1-5, diakses tanggal 21 April 2016.
Ibrahim A, Afrina M. 2011. Pengembangan model perpustakaan berbasis tekhnologi informasi untuk meningkatkan kinerja layananperpustakaan dan mewujudkan perpustakaan ideal berbasis digital di fasilkom unsri. Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Sriwijaya , Ogan Ilir, Sumatara Selatan.
Mardiah. 2014. Menumbuhkan minat baca Perpustakaan politeknik KP Sidoarjo. http://bpsdmkp.kkp.go.id/apps/perpustakaan/?q=node/23. diakses tanggal 21 April 2016.
Nurjanah. 2014. Problematika perpustakaan sekolah (study kasus di smp negeri 3 Mertoyudan kabupaten Magelang). Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk memperoleh gelar magister dalam ilmu perpustakaan.
Saputera Agus. 2016. Perpustakaan dan Pembelajaran Sepanjang Hayat. http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=belajar. Diakses tanggal 21 April 2016.
Wahyudi Ari. 2014. Berapa Sih Jumlah Penduduk Indonesia Sebenarnya? http://ariwahyudi.web.id/jumlah-penduduk-indonesia/. Diakses tanggal 21 April 2016.

Wawancara dengan Bapak Siryanto, pada hari Kamis 7 April 2016.

Tulisan ini diikutkan kedalam Lomba Penulisan Artikel Populer Untuk Siswa SLTA Tahun 2016 Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan ditulis oleh Haris Nugroho XII IPS 1.