Friday, February 24, 2017

(R)EVOLUSI PENA DENGAN FANTASTIC FOUR [Meretas Karakter Berbasis Budaya Literer di Kelas]

1.    PENGANTAR
Persaingan antar negara tak terelakan lagi pada era globalisasi saat ini. Globalisasi merupakan kecenderungan umum terintegrasinya kehidupan masyarakat domestik/lokal kedalam komunitas global di berbagai bidang kehidupan.[2] Hal ini menyebabkan menipisnya sekat-sekat batas antarnegara, sehingga pengaruh dari berbagai negara akan dengan mudah masuk kedalam Indonesia, termasuk didalamnya pengaruh negatif. Pengaruh yang signifikan ini menuntut bagi setiap warga negara untuk meningkatkan potensi diri yang dimilikinya. Ketertinggalan dengan negara-negara tetangga harus segera kita kejar, meskipun harus belajar dari negara Barat tapi harus di Timur-kan, seperti ucapan Tan Malaka, “belajarlah dari Barat, tetapi jangan peniru Barat. Melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”.
Tantangan ini membutuhkan peran generasi muda yang tangguh dalam intelektual dan kuat dalam karakter. Pasalnya, posisi generasi muda sangat strategis sebagai penentu bangsa, semangat yang menggebu-gebu dan potensi yang ada harus dimaksimalkan. Indonesia sendiri mempunyai “bonus demografi” yang tidak dimiliki oleh negara lain, bonus demografi ini baru dimulai antara tahun 2015-2035 dengan dependency ratio berkisar 0,4-0,5. Artinya, setiap 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.[3] Jadi, bangsa ini punya kesempatan besar menjadi “raksasa dunia” dengan modal bonus demografi ini, tapi dengan catatan, kita bisa memaksimalkan modal ini bersama-sama.
Modal ini tentunya sangat berkaitan dengan potensi anak-anak muda, terutama mereka yang sedang membangun “pondasi” karakternya disekolah-sekolah. Pembangunan pondasi itu tentunya harus diarahkan, tidak bisa kita lepas begitu saja. Salah satu budaya karakter yang harus mereka miliki adalah kemauan untuk mau membaca dan berkeinginan untuk menuliskannya, atau sering kita sebut sebagai BUDAYA LITERER. Budaya literer ini harus mengharmoniskan antara dua faktor tadi, yaitu membaca dan menulis. Karena budaya menulis dan membaca ini merupakan cerminan bangsa yang maju.
Cerminan bangsa berbudaya literer ini yang membedakan antara masyarakat primitif dan masyarakat beradab. Mustahil rasanya bangsa ini akan berpengaruh terhadap peradaban dunia tanpa meningkatkan daya baca dan tulisnya. Menurut Besnier “communication though visually decoded inscriptions, rather than though auditory and gestured channels”, budaya literasi merupakan komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui pendengaran dan isyarat.[4] Penggambaran visual disini jelas menggambarkan sebuah untaian alfabet dalam rangkaian aksara.
Apabila menilik jenjang pendidikan, peserta didik yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah bisa diajak untuk “bermain kata dengan pena”. Menurut Prof. Sartono Kartodirdjo, kemampuan anak-anak jenjang sekolah menengah sudah bisa diajak mengasah pemikiran secara logis, analitis dan kritis.[5] Artinya, mereka sudah bisa diajak untuk dipaksa membaca buku, yang kemudian terpaksa membaca buku, dan akhirnya terbiasa “bersentuhan” dengan buku. Harapannya mereka bisa menuangkan ide dari pembiasaan membaca dengan sebuah tulisan, yang akhirnya membuat kebiasaan itu menjadi sebuah budaya literer bangsa kita. Tapi, untuk menumbuhkan budaya literer dikalangan anak muda saat ini tidak lah mudah. Karena banyak faktor yang menyerang budaya literer ini, faktor makro dan mikro sangat jelas terpampang didepan mata kita. Apa saja masalah budaya literer kita? Mengapa budaya literer ini menjadi sesuatu yang urgent untuk disebarkan?

2.    MASALAH
Realita Budaya Literasi Kita
Apabila kita melihat sejarah literasi di Indonsia dari masa lalu, maka kita harus mengakui, bahwa kalau kita sangat kurang dalam berbudaya literer ini. Sejarawan sangat mengerti tentang kelangkaan sumber sejarah itu, maka meminjam istilah Charles-Victor Langlois dan Charles Seignobosthe historian works with documents, no documents, no history, sejarawan bekerja dengan dokumen, tidak ada dokumen tidak akan ada sejarah.[6] Sejarawan tidak akan bisa berbuat apa-apa andaikan tidak punya senjata bernama dokumen atau sumber-sumber.
Kesadaran akan berbudaya literer ini yang tidak kita miliki saat masa kerajaan Hindu-Budha. Sumber-sumber tertulis waktu itu, seperti prasasti hanya menggambarkan kekuatan legitimasi penguasa. Termasuk babad-babad yang ditulis oleh “mpu-mpu” atau “Mensesneg” dalam sebuah kerajaan yang masih sangat tinggi nilai subjektifitasnya. Kaum bangsawan waktu itu mensakralkan dunia menulis hanya untuk kalangan kerajaan saja, kaum kawula alit berpeluang sangat kecil untuk ikut dalam dunia keaksaraan. Sehingga dalam waktu berabad-abad wong cilik tidak pantas bersentuhan dengan dunia menulis. Para masyarakat alit lebih suka tradisi tutur, mungkin itulah sebabnya kita lebih suka menuangkan pemikiran dengan cara ngrumpi atau nggosip berjam-jam, dibandingkan untuk menuliskan diatas kertas.
Ketika penjajahan Belanda, praktis dunia tulis menulis hilang dari peredaran. Sebagian besar data sejarah Indonesia justru ditulis oleh orang Belanda, atau dalam bahasa sejarahnya Neerlandosentris, dibandingkan sejarah dari sudut pandang Indonesiasentris, makanya menurut Prof. Bambang Purwanto, Indonesia sudah gagal dalam menuliskan sejarahnya sendiri.[7] Hal ini dimaklumi ketika awal penulisan sejarah Indonesia, karena memang lemahnya literasi kita saat itu, sehingga kita memakai dokumen-dokumen Belanda untuk dijadikan referensi utama. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia sekarang? Setelah 71 tahun merdeka apakah budaya literer sudah merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan kita? Mari kita refleksikan diri.
Menurut data dari Programme for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2009 lalu, bahwa kemampuan anak Indonesia pada masa 15 tahun dalam hal membaca masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan posisi Indonesia yang masih ada diperingkat ke-48 dari 56 negara yang menjadi partisipan dalam tes tersebut. Fakta ini diperkuat dengan data dari United Nations Development Programme (UNDP) pada Maret 2013, bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-121 dari 185 negara didunia.[8]  Bagaimana perasaan kita melihat data diatas? Mungkin kita akan biasa saja, berbeda ketika kita melihat sidang Jasicca yang [dipidana] meracuni Mirna, mungkin kita akan MARAH, atau jengkel kepada Jesicca karena “hanya” secangkir kopi.
Begitulah kita melihat realita disekitar, ketika disuruh untuk menonton berita “drama” atau sinetron yang menguras air mata, pasti akan dilihat sampai tamat, belum lagi tontonan anak-anak yang terlalu kelewat. Hal ini menurut istilah Rohinah M Noor sebagai “Loncatan Budaya” [9], karena kita meloncati satu fase budaya, dari fase budaya pra-literer langsung kefase budaya pasca-literer, tanpa melewati fase budaya literer terlebih dulu. Artinya, masyarakat dari yang dulunya buta huruf langsung menjadi masyarakat yang suka menonton TV, tanpa gemar membaca terlebih dulu.
Selain tontonan ditelevisi, gila selfi juga melanda negeri. Lihat saja disekitar kita, apabila kita datang kesuatu tempat, atau mengalami kejadian tertentu, maka hal pertama yang kita lakukan adalah mengabadikan moment itu dengan cara selfi atau membuat video. Sikap ini seolah menjadi “wajib” hukumnya bagi kita apabila ada moment spesial yang dialami. Istilah “no document, no history” saat ini dimaknai dengan slogan baru, “no pic = hoax”. Artinya tanpa ada foto, informasi yang diberikan akan dianggap bohong belaka.
Seperti itulah minat baca kita. Fakta ini diperkuat dengan data yang diberikan oleh Most Littered Natioan in The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Padahal apabila melihat insfrakstruktur, Indonesia ada diurutaan ke-34 bahkan lebih baik dibandingkan dengan Jerman, Portugal bahkan Korea Selatan. Permasalannya, kita tidak bisa memanfaatkan insfraktruktur yang telah ada dengan baik. Bahkan menurut Data UNESCO, hanya ada 1 orang dalam 1.000 orang Indonesia yang punya minat baca, orang Indonesia hanya menghabiskan 0-1 buku dalam setahun, bandingkan dengan Jepang, mereka membaca buku sekitar 10-15 dalam setahun.[10]
Hal ini menurut istilahnya Taufik Ismail sebagai “Generasi Nol Buku”, bukan tanpa alasan istilah Taufik Islamil tersebut. Karena Taufik Ismail melakukan penelitian terhadap pelajar lulusan 13 negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut Taufik Ismail sebagai “Generasi yang Rabun Membaca, dan Pincang Menulis”, parahnya tragedi nol buku ini sudah sejak 1950, yang artinya sudah 66 tahun tragedi itu berlangsung.[11] Fenomena ini sepertinya sama sekali tidak tersentuh oleh media nasional. Sebagian besar media lebih mementingkan rating dibandingkan dengan tontonan yang membangun budaya literer ini. Mereka lebih memilih menampilkan LIVE setiap detik demi detik sidang Jesicca yang hampir 20-an kali sidang, sedangkan berita tentang budaya literer mungkin hanya 3 detik tulisan berjalan dipaling bawah, itupun kalau ada.
Kurang pedulinya kita akan pentingnya budaya literer ini menjadi bom waktu. Disinilah awal keterpanggilan penulis untuk menyalakan “lilin yang hampir padam dikelas-kelas kecil”. Budaya literer merupakan budaya yang sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, merupakan kesalahan fatal apabila kita masih meminggirkan isu-isu tentang literasi dari diskusi dan aksi kita. Penulis berusaha mengajak diri penulis sendiri untuk menghidupkan dan memperjuangkan budaya literer ini, yang kemudian penulis tularkan kepada anak-anak dikelas, harapanya akan meningkatkan kualitas rakyat Indonesia yang berintelektual cerdas dan berkarakter kuat.

3.    PEMBAHASAN DAN SOLUSI
Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
   Literasi dapat diartikan sebagai sebuah ketrampilan yang memadukan kemampuan membaca dan ketrampilan menulis, atau kadang diberi istilah “melek aksara”.[12] Menurut Kirsch dan Jungeblut, literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.[13] Kemampuan literer ini harus dibentuk dari sejak dini, medianya juga bervariasi. Kekhawatiran Taufik Ismail sudah dirasakan juga oleh pemerintah, sehingga mengeluarkan berbagai kebijakan.
  Sejak kebijakan pemerintah pada KTSP 2006, pemerintah sudah mengeluarkan Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, disebutkan kalau setiap akhir jenjang harus ada hasil jumlah buku yang dibaca dalam satu tahun, seperti lulusan SMA harus sudah membaca sekurang-kurangnya 15 buku, namun selama diimplementasikan KTSP 2006 rasanya kurang berhasil. Setelah pergantian kurikulum pada tahun 2013, dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Permindikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dalam Permindikbud itu disisipkan untuk mewajibkan warga sekolah membaca buku non mata pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
   Pemerintah sudah memulai mengeluarkan aturan-aturan untuk meningkatkan minat baca. Tapi sebagus apapun dan selengkap apapun aturan yang dibuat, kalau guru yang menjadi ujung tombak pemerintah disekolah tidak meningkatkan kompetensi profesinya maka akan percuma. Seperti fakta dilapangan, bahwa terkadang pendidikan kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia secara utuh, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.[14]
    Proses pembentukan karakter yang berbudaya literer tidak bisa diproduksi secara instan. Butuh sebuah (r)evolusi pena yang berkelanjutan dan melibatkan semua pihak yang menjadi agen of change dalam mengobarkan budaya literer ini, seperti lingkungan keluarga sebagai awal pembentuknya, lingkungan sekolah sebagai penyeimbang nilai dan ilmu, serta lingkungan sosial atau media massa. Lingkungan sekolah sangat mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya.[15] Oleh karena itu, lingkungan sekolah mempunyai peran yang sangat sentral dalam (r)evolusi pena ini. 
    Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan karakter yang berbudaya literer menjadi sebuah keniscayaan. Tradisi literer merupakan sarana untuk membentuk karakter suatu bangsa. Menurut Yudi Latif, bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[16] Masyarakat yang berkarakter literer akan mencintai buku seperti mencintai dirinya sendiri, dia akan selalu merasa ingin menelanjangi isinya, apabila ditinggalkan akan timbul rasa kangen yang luar biasa. Witing tresno jalaran soko kulono, pepatah ini bisa diterapkan juga kepada buku. Seperti membiasakan membaca buku sederhana dulu, semisal komik, majalah, novel kemudian baru buku-buku yang lebih berat isinya, yang  terpenting hikmah apa yang bisa diambil setelah membaca buku tadi.
Banyak buku-buku fiksi maupun non-fiksi yang bermuatan karakter didalamnya. Seperti buku novel tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel mega best seller Andrea Hirata, Laskar Pelangi, berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang kekurangan dan serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk menuju sebuah kesuksesan. Itulah karakter yang terkandung dalam budaya literer.
Budaya literer yang berkarakter tidak hanya berkenan dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah yang secara teknis, serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan sehari-hari yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer. Budaya literer tidak akan bisa berjalan kalau tidak menumbuhkan karakter peserta didiknya, karena kedua hal ini ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, pembiasaan dipaksa, terpaksa, terbiasa = budaya menjadi urgent untuk dilakukan.

Dipaksa, Terpaksa, dan Terbiasa = Budaya
Untuk menuju sebuah budaya literer, terlebih dulu kita membiasakan diri. Ada beberapa faktor yang dianggap mampu menggerakan kebiasaan ini. Pembiasaan diri untuk menerima sesuatu yang baru dari luar tubuh kita memang sulit. Kadang kebiasaan yang masih asing itu perlu adanya adaptasi dan paksaan dari dalam diri dan luar tubuh kita. Bila melihat kondisi generasi muda yang menurut Taufik Ismail sebagai “generasi nol buku”, sedikit “paksaan” merupakan sebuah keniscayaan. Dalam upaya pembentukan karakter berbasisa budaya literer, penulis mempunyai strategi FANTASTIC FOUR, strategi yang sudah penulis alami dan rasakan sendiri, strategi itu adalah (1) Kata Motivasi, (2) Kontrak Cinta; (3) Kecintaan Membaca; dan (4) Keberanian Berkarya, keempat poin ini akan dibahas lebih lanjut.
Pertama, Kata Motivasi, setiap awal pertemuan penulis memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyampaikan kata-kata motivasi. Setiap pelajaran ada jatah kepada satu peserta didik, dan kurang lebih hanya butuh waktu sekitar 2 menit untuk menyampaikan motivasi itu, mereka bebas mencari kata-kata motivasi, kadang ada yang mengutip dari tokoh besar, ada juga yang mengisahkan dari kisah pribadi, bisa bertema percintaan, persahaban, keluarga atau tentang kehidupan, dan semuanya penulis upload di akun Youtube: Arif Saefudin [lihat Lampiran 1].
Motivasi ini merupakan hal penting, karena dengan motivasi, akan mendorong manusia untuk berbuat dan menjadi motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. Selain itu motivasi dapat menentukan arah perbuatan dan menyeleksinya.[17] Artinya, dengan motivasi peserta didik akan menemukan arah tujuan yang harus dilakukan dengan berpegang kebenaran dengan cara menyeleksi perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi pencapaian sebuah tujuan tersebut.
Strategi Kedua, Kontrak Cinta. Ibaratnya sebuah ikatan cinta, ada aturan-aturan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak, ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Jadi ketika melanggar akan dengan sendirinya melakukan sanksi. Mengenai masalah kategori kontrak cinta ini, penulis bersama dengan peserta didik (diwakili oleh ketua kelas) menandatangani kontrak diawal pertemuan pada semester pertama. Kontrak cinta ini juga sangat simple namun mencakup proses pembelajaran dari awal sampai akhir, isinya ada 4 poin, yaitu (1) mengenai keterlambatan masuk ke kelas; (2) kesopanan, dalam perkataan dan buatan; (3) seragam sekolah, dari ujung rambut sampai kaki; dan (4) ketepatan dalam pengumpulan tugas. Ke-4 poin itu sudah mencakup semuanya.
Point pertama, mengenai keterlambatan. Kebiasaan ini yang sangat sering terjadi ketika awal masuk pada jam pertama, atau setelah istirahat. Untuk keterlambatan, setiap kelas punya aturan berbeda-beda, ada yang menyepakati waktu tolerir terlambat 5 menit, ada juga yang sepakat untuk 10 menit. Keterlambatan ini tidak hanya berlaku untuk peserta didik, namun juga diberlakukan kepada penulis. Misalkan, penulis terlambat lebih dari 5 menit, maka penulis akan dikenakan sanksi yang disepakati. Namun ada dispensasi kalau ada keperluan penulis dan peserta didik yang memang urgent.
Point kedua, mengenai sopan santun, kadang ada beberapa peserta didik yang kehilangan kontrol bertindak semaunya kepada teman sekelas. Baik itu perlakuan maupun ucapan, hal-hal ini sangat dihindari, termasuk didalamnya penyebutan nama asli menjadi nama-nama gaul, misalkan nama aslinya Virhan, ternyata dipanggil Kiceng (matanya sedikit bermasalah). Ini yang sangat penulis larang keras, karena nama adalah doa orang tua. Jadi, apabila melanggar, maka akan masuk kekategori sopan. Selanjutnya pont ketiga mengenai seragam, seragam biasanya kelengkapan pakaian. Seperti baju keluar, tidak memakai nama dibaju, tidak pakai sabuk dan lain sebagainya, maka apabila melanggar akan masuk sanksi seragam.
Pont yang terakhir, mengenai tugas. Tugas-tugas yang diberikan tidak sering, namun penulis menginginkan tugas yang bermanfaat kedepannya. Seperti membuat film sosiodrama tentang kesejarahan, atau menuliskan sejarah desa masing-masing dan dibukukan [Lampiran 5]. Semua itu biasanya disepakati tentang deadline untuk mengumpulkannya, apabila melanggar maka akan masuk kategori tugas. Lalu siapa yang menentukan sanksi tadi? Para peserta didik sendiri. Penulis hanya mengarahkan dan membimbing supaya diskusi berjalan lancar. Disini mereka belajar untuk mengeluarkan pendapat dan belajar menerima perbedaan.
Langkahnya, awal pertemuan penulis menyampaikan hal ini, kemudian kami bersama-sama menentukan sanksi dari poin ke poin. Mereka yang memberikan usul sanksi, syarat dari penulis hanya 1, sanksinya mendidik dan tidak terlalu memberatkan, toh mereka sendiri yang akan melaksanakan sanksinya apabila melanggar. Ide-ide yang keluar dari peserta didik sangat banyak bahkan diluar perkirakan penulis. Setiap kelas mempunyai sanksi yang berbeda-beda, jadi penulis memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mereka menentukan sendiri sanksi itu. Penulis menunjuk satu peserta didik sebagai “sekretaris pribadi” kelas khusus untuk mencatat anak-anak yang melanggar, jadi guru tidak perlu repot-repot mencatat setiap pelanggaran yang terjadi. Setelah selesai, aturan itu ditandatangani oleh penulis dan ketua kelas sebagai perwakilan kelas. Pertanyaannya, kapan “eksekusi” sanksi dilakukan? Biasanya penulis melakukan hal itu setelah penilaian pada setiap bab nya. Jadi tidak setiap ada pelanggaran langusung dieksekusi, jelas itu akan mengganggu proses pembelajaran.
Aturan yang mengikat antara peserta didik dan guru ini membuat semuanya terarah, jadi ketika peserta didik melanggar, maka akan dengan nyaman menikmati sanksinya, tanpa suatu protes atau tidak terima [lihat lampiran 2]. Termasuk didalamnya ketika peserta didik disuruh untuk membawa buku umum non mata pelajaran setiap pelajaran sejarah, dengan sendirinya mereka berlomba-lomba untuk meminjam ke perpustakaan atau membelinya ke toko buku. Hal ini akan dipaparkan lebih lanjut.

Baca dan Hasilkan Karya
Strategi Fantastic Four yang ke-3 adalah Kecintaan Membaca; perasaan mencintai memang harus tumbuh secara alami, namun cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa, seperti pepatah orang Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, cinta lahir karena terbiasa. Untuk menumbuhkan kecintaan membaca, penulis mendorong minat baca terlebih dahulu, ada unsur-unsur untuk menumbuhkan minat baca ini. Menurut Wilber Schram dalam buku The Anatomy of Attention, minat baca terdiri dari beberapa unsur. Unsur pertama avaibility, ada sesuatu yang tersedia didepan mata. Unsur kedua, contras, yaitu sesuatu yang lain dari biasanya dan perlu dilihat. Unsur ketiga adalah reward, yaitu ganjaran atau hadiah.[18] Unsur-unsur ini yang membentuk minat baca seseorang.
Penumbuhan minat baca diawali dengan pembiasaan membawa buku. Pembiasaan membawa buku sudah penulis terapkan kepada peserta didik sejak 2013 silam, bahkan sebelum Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Mereka saya wajibkan untuk membawa buku non pelajaran setiap kali pelajaran sejarah. Ketersediaan buku ini yang mendorong peserta didik untuk mau membaca, awalnya mereka saya bebaskan penuh untuk membawa segala bacaan non mata pelajaran, seperti majalah, novel, bahkan komik sekalipun. Sehingga ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan mereka, dari yang biasanya bersentuhan dengan buku paket pelajaran, sekarang sudah ada buku baru yang “asing” terpampang didepan mata.
Peserta didik tidak membaca ketika pelajaran, tapi mereka diwajibkan menjelaskan isi buku yang sudah dibacanya diluar kelas. Sehingga tanpa mereka sadar, mereka sedang dipaksa untuk membaca buku. Setelah menjelaskan sinopsis buku didepan kelas, mereka harus mengambil hikmah dibalik isi buku itu. Biasanya durasinya sekitar 5 menit, penyampaian isi buku ini setelah kata-kata motivasi dilakukan. Jadi pembukaan pembelajaran sekitar 7-10 menit. Dengan pembiasaan ini, peserta didik akan terbiasa bersentuhan dengan buku dalam kesehariannya, dan terpaksa dibaca, karena akan menjelaskan isinya. Kalau ada anak yang tidak siap, maka akan langsung dicatat oleh sekertaris kelas kedalam sanki kesopanan. Diakhir tahun, biasanya penulis memberikan reward kepada nominasi peserta didik yang bisa menjelaskan isi buku dengan lancar dan bisa mengambil hikmahnya [lihat Lampiran 4].
Bagian terakhir dari Fantastic Four adalah Keberanian Berkarya. Hal inilah yang terpenting dari bagian-bagian yang lainnya. Setelah membaca, selanjutnya kita harus berani menuliskannya, maka tanpa sadar budaya literer akan terbangun dengan sendirinya. Biasanya setiap tahun, penulis mengadakan sebuah proyek menulis yang wajib diikuti oleh semua peserta didik yang penulis ajar. Misalkan tahun 2014, mengumpulkan esai-esai dan sudah dicetak menjadi sebuah buku. Tahun 2015, membuat antologi puisi bersama mereka, dan tahun 2016 ini sedang berproses untuk membuat sejarah desanya masih-masih dan akan dibukukan juga. Untuk sementara, sejarah desa sudah penulis posting di blog pribadi yang beralamat arifsae.com [lihat Lampran 5].
Semua proses itu melibatkan mereka dan yang penulis tanamkan adalah, yang tertulis akan abadi. Hal ini sesuai dengan pepatah Yunani, “Verba Volant, Scripta Manent” yang berarti bahwa sesuatu yang hanya diucapkan akan hilang bersama angin, tapi yang tertulis akan abadi. Hal ini memang benar adanya, karena sesuatu yang diucapkan sebagus apapun kalau tidak abadikan (dalam bentuk tulisan atau rekaman) maka akan hilang bersama angin, tetapi sesederhana apapun pemikiran kalau dituangkan kedalam bentuk tulisan tentu akan abadi selamanya. Selain mendorong untuk membuat tugas dan membukukannya, penulis juga mendorong untuk berani berkompetisi dalam sebuah kejuaraan.[19]
Untuk menemukan peserta didik yang mau berani berkompetisi memang tidak mudah. Butuh peserta didik yang mampu berfikir dan bersikap “out of the box” dengan berani bertarung dengan kesibukan remaja yang kebanyakan melenakan. Penulis mendorong untuk mau melawan tradisi negatif dengan berani berkreasi. Sungguh ini sebuah tantangan yang tidak mudah. Namun, penulis berusaha membangun sebuah pondasi, menjaga orientasi untuk menuju realisasi yang nyata, salah satu caranya dengan mengikuti berbagai kompetisi diberbagai ajang kejuaraan tulis menulis.
Dari tahun 2014, sudah sekitar 20 lomba yang penulis menangkan bersama peserta didik, tapi kegagalannya mungkin lebih dari 20-an lomba. Kompetisi yang kami ikuti bermacam-macam jenjang, dan berbagai disiplin ilmu. Apabila mereka meraih keberhasilan dalam sebuah kompetisi, akan terpancar sinar muka yang bahagia luar biasa. Itulah kenikmatan berkarya dengan anak muda [lihat Lampiran 3]. Penulis mengajarkan, jangan takut gagal, karena tidak ada yang salah dengan gagal, yang salah kalau kita terpuruk kedalam kegagalan itu dan tidak mau bangkit lagi, kalau gagal 20 kali, kita hanya perlu bangkit 21 kali. Begitu juga dengan kompetisi, pasti akan merasakan kegagalan, tapi yang perlu diingat adalah hasil tidak akan menyelingkuhi poeses. Itu!

4.    KESIMPULAN DAN HARAPAN
Negara-negara maju didunia tidak akan melepaskan kebiasaan membaca dan kegemaran menulis, inilah yang disebut sebagai budaya literer. Apabila melihat sejarah Indonesia, banyak hal yang membuat kita harus berkaca, terutama dalam budaya literasi. Banyak sumber sejarah Indonesia justru sumber utamanya dari pemerintah kolonial Belanda.
Saat ini, seiring kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan, mulai timbul kesadaran akan pentingnya sebuah dokumen, namun dokumen yang dimaksud adalah gambar atau foto, bahkan ada jargon “no pict = hoax”. Namun sayang, dokumen itu masih sangat jarang berbentuk tulisan, yang menurut istilah Taufik Ismail sebagia “generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang menulis”. Rabun karena tidak pernah membaca, dan pincang karena tidak menuliskannya. Hal ini sesuai data dari PISA yang menempatkan Indonesia keurutan 48 dari 56 negara.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis mencoba “menyalakan lilin kecil dikelas”. Caranya dengan membuat strategi Fantastic Four, membuat (1) Kata Motivasi, (2) Kontrak Cinta; (3) Kecintaan Membaca; dan (4) Keberanian Berkarya. Setiap awal pembelajaran peserta didik memberikan kata-kata motivasi kepada teman-teman yang lainnya. Kontrak cinta untuk mengikat hati dengan peserta didik. Mereka yang menentukan sanksisnya dengan bimbingan penulis. Untuk menumbuhkan budaya literer, penulis sudah mewajibkan untuk membawa buku umum disetiap pelajaran sejarah, jadi setiap pelajaran dimulai peserta didik memotivasi teman-teman yang lain, kemudian dilanjutkan dengan memaparkan buku umum didepan kelas. Waktu yang diberikan sekitar 5 menit, mereka dipaksa untuk memegang, membawa dan membaca. Andai ada peserta didik yang tidak mau menjelaskan didepan kelas, maka akan dikenakan sanksi kategori sopan atau seragam, tergantung kesepakatan.
Dengan pemaksaan menjelaskan isi buku didepan kelas, mereka akan akrab dengan buku-buku non mata pelajaran. Model ini sudah penulis praktekan sekitar tahun 2013, sebelum Permendikbud No. 23 tahun 2015 diberlakukan. Selain membaca, peserta didik juga penulis dorong untuk mengikuti berbagai event lomba. Dengan mengikuti lomba, mereka diajarkan untuk berkompetisi dari berbagai peserta didik diluar sekolah, bahkan seluruh Indonesia. Banyak berbagai kompetisi yang sudah penulis dan peserta didik menangkan, dari level kabupaten, provinsi hingga nasional. Dari persaingan ratusan hingga ribuan sudah kami taklukan.
Selain memberikan dorongan, penulis juga memberikan contoh nyata karya dari kompetisi yang penulis ikuti secara pribadi. Selain mengikuti kompetisi, penulis juga mengajak beberapa peserta didik untuk menggabungkan tulisan kedalam sebuah buku. Dari tahun 2014 hingga saat ini, sudah 3 buku yang sudah kami hasilkan. Sekarang penulis sedang mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah desa masing-masing dan berencana untuk membukukannya juga. Dengan berbagai variasi dan tantangan dalam proses pembelajaran ini, penulis berharap agar suatu saat lahir generasi literer yang menjunjung tinggi budaya membaca dan menulis.
        Harapan kedepannya, penulis menginginkan budaya literer bisa menyebar keseluruh Indonesia. Dari hal terkecil bisa kita mulai, dengan kesadaran “buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah kuncinya”. Hal kecil inilah yang penulis lakukan dikelas-kelas, harapanya dimasa depan adalah terjadinya (r)evolusi pena yang cinta membaca dan gemar menulis. Dan terakhir, jangan takut untuk menuliskannya. Karena menulis merupakan pekerajaan abadi, yang akan bertahan hingga beberapa generasi, jauh melebihi umur penulis. Semoga kita sebagai bangsa Indonesia mampu menuju negara berperadaban yang berpengaruh di dunia. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA 
Alfi Syahriyani. 2010. “Optimalisasi Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa: Upaya Meretas Komunikasi Global”., dalam Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora Volume 1, Desember 2010, hlm 67-78.
Arif Saefudin. 2015. Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Aplikasinya dalam Studi Kualitatif di Sekolah Menengah Atas. Wonosobo: Gema Media.
Arif Saefudin dan Dwi Suyoko. 2015. “Kata Pengantar”., dalam Pemuda dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: GemaMedia.
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! . Jogjakarta: Ombak.
Ellen G. White. 1977. Mind, Character and Personality Volume 1. Washington: Estate, Inc.
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa., diakses tanggal 5 November 2016.
http://www.anneahira.com/teori-minat-baca.htm., diakses tanggal 5 November 2016.
Kholid A Harras. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1.
Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publising.
Mikhael Gewati. 2016. “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”., Kompas, 29 Agustus 2016.
Muhammad Takdir. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7 September.
Riza Noer Arfani. 2004. “Globalisasi: Karakteristik & Implikasinya”., dalam Majalah Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004.
Ruth W.Sandwell. tt. “Using Primary Documents in Social Studies and History”., dalam Jurnal The Anthology of Social Studies: Volume 2­, Issues and Strategies for Secondary Teachers. Hlm 295-307.
Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif. Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
Tiyas Nur Haryani. 2012. “Menakar Generasi Literer”, dalam Surat Kabar Solopos, 24 Juli 2012.
Sardiman, A.M. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiharto dan Deny Setiawan. 2015. “Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Sumatera Utara”., dalam Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (1) (2015): 1-12.
Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Permindikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Naskah ini rencananya diikutkan Simposium Guru 2016, namun karena syarat NUPTK naskah ini kandas terlindas.


[1] Guru Sejarah SMA Negeri 2 Purbalingga, email: ahrifsay@gmail.com dan No. HP 0817535878
[2] Riza Noer Arfani. 2004. “Globalisasi: Karakteristik & Implikasinya”., dalam Majalah Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004.
[3] Sugiharto dan Deny Setiawan. 2015. “Pemanfaatan Bonus Demografi melalui Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Sumatera Utara”., dalam Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (1) (2015): 1-12.
[4] Alfi Syahriyani. 2010. “Optimalisasi Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa: Upaya Meretas Komunikasi Global”., dalam Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora Volume 1, Desember 2010, hlm 67-78.
[5] Arif Saefudin. 2015. Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Aplikasinya dalam Studi Kualitatif di Sekolah Menengah Atas. Wonosobo: Gema Media., hlm 43.
[6]  Ruth W.Sandwell. tt. “Using Primary Documents in Social Studies and History”., dalam Jurnal The Anthology of Social Studies: Volume 2­, Issues and Strategies for Secondary Teachers. Hlm 295-307.
[7] Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! . Jogjakarta: Ombak.
[8] http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa., diakses tanggal 5 Oktober 2016.
[9] Tiyas Nur Haryani. 2012. “Menakar Generasi Literer”, dalam Surat Kabar Solopos, 24 Juli 2012.

[10] Mikhael Gewati. 2016. “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”., Kompas, 29 Agustus 2016.

[11] Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[12] Kholid A Harras. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1.
[13] Muhammad Takdir. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7 September.
[14] Ellen G. White. 1977. Mind, Character and Personality Volume 1. Washington: Estate, Inc., Hlm 14.
[15] Masganti. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publising., Hlm 145
[16] Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas., Hlm 15-18.
[17] Sardiman, A.M. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 85.
[18] http://www.anneahira.com/teori-minat-baca.htm., diakses tanggal 5 Oktober 2016.
[19] Arif Saefudin. 2015. “Kata Pengantar”., dalam Pemuda dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: GemaMedia.., Hlm ii.