Friday, May 5, 2017

Perempuan: Perjuangan Emansipasi Dalam Kehidupan Kebangsaan


Politik dalam kacamata masyarakat Indonesia lebih condong dipersepsikan negatif dan hanya bertujuan untuk mereguk kekuasaan pragmatisme belaka. Sentimen negatif terlanjur tumbuh subur, terlebih seringnya kita disuguhi pertarungan politik yang menampilkan “kekejaman” antar lawan, bahkan tidak sedikit pertentangan antar kawan. Hingar bingar perpolitiakan ini lah, yang membuat posisi perempuan menjadi semakinterpinggirkan. Mereka dianggap sebagai makhluk“the second class”dalam dunia politik. Hal ini menimbulkan ekses budaya apolitis dimasyarakat Indonesia.
Saat ini, masih banyak brand yang dilebelkan kedalam wajah perempun yang hanya sebatas konco wingking. Seperti dalam masyarakat Jawa kuno, posisi perempuan hanya layak menempati pos-pos “dapur, sumur, lan kasur”, dan akan menjaditabu andai perannya lebih dari itu. Bahkan dalam dunia politik, perempuan tidak layak berdiri dipuncak, banyak slogan dengan lantang mendiskiminasikan peran perempuan, seperti “perempuan tidak boleh memimpin kaum laki-laki dalam segala bidang” atau mereka yang membawa nama agama dengan jargon “haram hukumnya memilih perempuan sebagai pemimpin”.
Sungguh, peran perempuan jauh menembusbatasitu. Partisipasi politik perempuan dalam ruang dakwah Islam adalah sebuah bagian dari proyek amar ma’ruf nahi munkar. Tentunya semua dakwah Islam tadi akan bernilai politis.Menjadi seorang perempuan, sungguh punyatanggung jawab yang tak ringan. Apalagi, kalau mereka ingin berkontribusi diluar rumah,tentunya tanggungjawab yang melebar tidak bisa terelakan. Dari ruang keluarga yang harus siap siaga hingga lingkup publik yang menuntuk untuk bersikap cerdik. Bagaimana harmoni harus dibangun diantara berbagai kepentingan yang kadang-kadang tak saling membuka ruang toleransi, ini merupakan tantangan tersendiri yang menuntut untuk dicari solusi.
Rasanya, kita semua sepakat akan signifikansi peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun yang masih menjadi pertanyaan dibenak kita, bagaimana agama Islam memandang dari sudut pandangnya? dimana posisi kebangsaan perempuan dalam memberikan sumbangan dalam dunia politik?Rasanya kita masih perlu untuk merefleksikan diri. Mari.

Perempuan Berpolitik: Perpsektif Islam
Islam hadir dengan kesempurnaan yang menyeluruh dalam segala sendi-sendi kehidupan. Termasuk terintegrasinya antara agama, kekuasaan dan politik, tidak ada pemisahan diantaranya, itulah pendapat dari Syaikh Hasan al-Banna. Politik dan Islam, dua sisi yang mencakup kepentingan orang (umat) banyak, kedua hal ini merupakan sesuatu yang inhern, dan tidak bisa dipisahkan. Dr. V. Fitzgerald, mengatakan “Islam bukan hanya semata agama, namun juga sebuah sistem politik”. Dunia politik dalam Islam, diwujudkan sebagai sarana untuk menuju kemakmuran rakyat banyak (al-mashlahah al-ammah).
Bahkan saat ini, timbul terminologi baru, yaitu politik dakwah. Politik dakwah memberikan pencerahan bagi umatnya untuk menciptakan kehidupan bernegara yang terarah berpegangan pada moral (agama). Apalagi di Indonesia menganut sistem demokrasi yang memberian kebebesan untuk menampung semua aspirasi. Keterkaitan ini harusnya dimaknai sebagai langkah untuk melandasi moral dan akal dalam berpolitik, yaitu konsisten dalam sikap politik untuk memberikan kebaikan dan hikmah bagi sesama (prinsip bi al hikmah wa al mawizah hasanah). Sebaliknya, apabila dalam penyampaian kebaikan itu ada perbedaan, maka yang digunakan adalah prinsipsikap santun yang bermartabat (prisnip billati hiya ahsan).
Dalam kontestasi politik, sosok perempuan menjadi terlihat menarik. Tentunya perempuan hadir untuk melengkapi sisi yang belum terisi, meski kehadirannya tak luput dari berbagai kritik. Konstelasikehidupan bernegara yang terjadi juga mendorong peran perempuan dalam memperjuangkan kebijakan lewat parlemen. Namun, bagaimana Islam memandang permasalahan ini? Memang terjadi banyak ikhtilaf atau perbedaan pendapat mensikapinya, dan bukan kapasitas penulis untuk membahasnya disini, karena keterbatasan ilmu yang dimiliki, tapi mari kita lihat dari sisi yang penulis kuasai.
Mengambil pendapat dari Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqih Daulah, yaitu tentang diperbolehkannya perempuan untuk menjadi legislator, tapi dengan beberapa pertimbangan kondisi, diantanya (1) perempuan yang tidak dikarunai anak, sedang dia memiliki kelebihan, kemampuan, waktu dan kecerdasan; (2) perempuan yang sudah mencapai kematangan usia, dimana sudah tidak diganggu dengan berbagai hambatan alami; dan (3) perempuan yang anak-anaknya sudah besar dan berkeluarga, sehingga punyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi anggota legislatif.
Begitulah beliau memandang masalah ini. Banyak kisah mengesankan dari peran perempuan. Apabila kita melihat sejarah Islam, Jejak-jejak peran politik kaum perempuan telah terekam dengan manis. Sebagaimana politik telah terpatri dalam kehidupan umat sejak dua kalimat syahadat diyakini. Politik bukanlah hal baru, juga bukan halyang tabu bagi para perempuan muslimah dan masyarakat Islam pada umumnya yang memahami makna syahadatain dengan benar.
Contoh nyata adalah perjuanganUmmulmukminin, Khadijah al-Kubra. Berbagai pemboikotan ekonomi dialami, pencekalan sosial dilalui, namun beliau tetap meyakini. Keteguhan hati Khadijah inilah yang membuat beliau senantiasa menjadi peneguh hati Rasullulah SAW. Contoh lainnya adalah peran dari Asma binti Abu Bakar yang memainkan peran politiknya dalam misi menyelamatkan dakwah Islam melalui hijrah dengan jalan menyuplai akomodasi dan logisitik bagi perjalanan Rasullulah SAW dan sahabatnya.
Dalam konteks saat ini, ada sosok Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh. Perjuangan beliau meng-goal-kan UU Pornografi menjadi salah satu contoh nyatanya. Meskipun pertentangan dari pihak-pihak dibelakangnya sangat besar. Namun dengan kesabaran dan kegigihannya, beliau berhasil melindungi hak-hak kaum perempuan yang dieksploitasi. Begitu juga dengan suara lantangnya didunia internasional untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina yang direnggut Israel. Semua itu merupakan contoh kontibusi nyata kaum perempuan yang diperjuangkan dalam politik untuk kepentingan umat.
Memisahkan perempuan dari dunia politik, sama saja memisahkan masyarakat dari lingkungannya, begitulah pendapat dari politisi perempuan yang mendapat predikat Mubaligh Nasional pada 2001 ini.Pemisahan inilah yang justru menjadi senjata doktrin pemerintah rezim Orde Baru yang memberikan jurang antara politik dan perempuan, dan antara politik dengan agama. Bahkan pada masa Orde Baru, ada ungkapan yang sangat terkenal, “Islam Yes, Partai Islam No”. Sebuah belenggu dan tantangan bagi kaum perempuan.

Perempuan dalam Arus Politik “Bapakisme”
Perempuan dalam panggung politik dewasa ini masih mencari formula yang tepat bagi perjuangganya, yang pasti mereka mencoba mengambil posisi dalam mengisi satu sisi dalam kehidupan kebangsaan saat ini. Hal ini sangat terlihat setelah kran ferormasi dikucurkan, aliran deras suara-suara tak bisa terelakan. Ibarat kuda yang dikurung bertahun-tauhun, kebebasan akan membuatnya menuntaskan dahaga keterkungkungan. Momen ini juga dialami oleh para perempuan, lihat saja hiruk pikuk pesta lima tahunan yang telah digelar, tampak kalangan perempuan lebih lantang meneriakan pemenuhan kuota 30 % sebagai representasi keterwakilan diparlemen.
Pemenuhan kuota ini tentunya bukan hal yang mustahil, terlebih sejak proses “liberalisasi politik” pasca reformasi digaungkan. Rasanya suara perjuangan kaum perempuan semakin jelas menuju kesatu fokus utama, yaitu menjadikan representasi berpolitik yang adil, proporsional, dan merata dalam aspek kehidupan kebangsaan. Dengan perjuangan 30 % ini, kaum perempuan setidaknya bisa merealisaikan pikiran-pikiran berbasis emansipasi gender, yang kemudian bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara dari berbagai persepsi kesetaraan gender.
Meskipun ingatan kita masih sangat segar, dengan berbagai adegan-adegan mengerutkan hati nurani. Hal ini bisa kita rasakan dengan respon politik rezim Orde Baru yang otoritarian membentuk wajah “Politik Bapakisme”, yang lebih menonjolkan sifat laki-laki dalam berbagai wajah politiknya. Meskipada masa Orde Baru, kaum perempuan tetap diperkenankan melakukan kegiatan sosial-politik, namun sejatinya ruang lingkupnya tetap dikurung dalam sebuah bingkairetorika formalitas belaka.
Aktivitasi perempuan pada masa rezim Orde Baru lebih kearah rikuh pekewuh untuk tampil keatas panggung politik, bahkan gerakan perempuan ini tenggelam kedalam arus patrimonial, yaitu sebuah struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak superior dan perempuan dibagian inferior. Laki-laki lebih tinggi dan berkuasa, dan perempuan berposisi rendah dan tak berdaya. Isu posisi perempuansemakin tenggelam tertelan isu-isu lain yang lebih seksi,seperti seputar stabilitas politik dan pembangunan lima tahunan (repelita).
Organisasi perempuan waktu itu, seperti Dharma Wanita, PKK atau Kowani hanya menjadi “alat” untuk menunjang program pemerintah dan kepentingan pragmatisme Orde Baru. Misalnya saja, upaya “penyeragaman” ideologi keluarga untuk mendukung Golkar dalam setiap pemilu. Dan hasilnya, aspek keluarga ini menjadi salah satu kekuatan terbesar dan senjata pamungkas Golkar dalam memenangi setiap momentelektoral lima tahunan ini.
Kita sepakat, gerakan perempuan waktu itu tidak bisa lepas dari kontrol cengkraman Orde Baru.Sebuah keniscayaan, setelah lengsernya Orde Baru, terrealisasi keterwakilan kuota 30 %perempuan diparlemen, namun lagi-lagi keleluasaan bergerak saat inipun tidak luput dari permasalahan yang mengitarinya. Ketika kuota itu tersaji dan siap dinikmati, benturan permasalahan baru menghinggapi kehidupan demokrasi musiman ini, yaitu (salah satunya) politik kekerabatan dan dinasti.
Data dari Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI, pada pemilu legislatif tahun 2014 kemarin, jaringan kekerabatan keterpilihan calon untuk menduduki kursi legislatif masih tinggi. Di DPR-RI saja, terdapat 77 dari 560 orang yang teridentifikasi memiliki jaringan kekerabatan dengan elite politk, salah satunya dengan jumlah perempuan mencapai 47 % dari 77 orang itu.[4] Calon legislatif perempuan ini sebagai bagian dari politik kekerabatan tidak jauh dari elit politik dan elit ekonomi. Sebagian dari mereka adalah istri, saudara, kakak, atau adik dari pejabat atau pengusaha elite negeri.
Fenomena gunung es ini, setidaknya menandakan masih minimnya integritas partai politik dalam merekrut calon legislatif. Rekruitment calon legislatif perempuan belum diukur dengan kompetensi yang dimilki, tidak juga kepiawaiaannya mengelola aspirasi. Namun,yang terlihat justru lebih karena kedekatan dan kekerabatan dengan elite politik dan elite ekonomi. Akibatnya, perjuangan emansipasigender melalui keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik justru terperangkap kedalam politik dinasti.
Dominasi kekerabatan ini, lebih menampakan kesan bahwa ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan laki-laki ini tetap lestari dan memperlebar jurang kesenjangan posisi. Ketakutannya, justru kehadiran perempuan dipanggung politik hanya sebatas alat “yang penting ada”, atau semata-mata hanya untuk memenuhi kuota. Tidak salah memang. Selama sang calon memenuhi kridebilitas dan integritas terhadap bangsa, bukan hanya bagain dari drama elit politik belaka.
Sungguh hal ini yang paling kita takutkan bersama. Ditengah realitamengkhawatirkan ini, kita masih mengharapkan muncul sosok perempuan yang selalu berjuang dalam dekapan dakwah dan ukhuwah untuk kepentingan ummah. Kita harus dan selalu optimis akan hal ini. Kita sepakat, peran perempuan tidak hanya dalam dunia perpolitikan semata, jauh lebih luas dari itu, perempuan menempati posisi sebagai pembentuk “wajah” suatu bangsa.Seperti sebuah kata hikmah, “perempuan adalah tiang negara, apabila perempuanya baik maka negaranya akan baik, dan apabila perempuanya rusak maka negara pun akan ikut rusak”.

Membidik Persoalan dan Mencari Penyelesaian
Kita pernah mengalami dikotomi-dikotomi masa Orde Baru yang menyebut tidak ada hubungannya agama dengan politik. Rasanya problem itu saat ini semakin terkikis habis. Banyak contoh dari zaman Rasulluloh SAW, hingga saat ini, yang membuktikan betapa pentingnya keterlibatan peran perempuan dalam perjuangan politik Islam. Dari Khadijah hingga Yoyoh Yusroh pernah berkontribusi untuk kepentingan ummah. Tentutnya tidak bisa dibandingkan peran antarkeduannya, namun kita bisa mengambil benang merah dari keteguhannya dalam memperjuangkan eskistensi agama diranah politik.
Saat ini, muncul problematika baru, dalam perjuangan kaum pempuan, yaitu perekrutan pola kekerabatan. Kekerabatan dalam menentukan calon legislatif memberikan imbas ketergantungan perempuan dalam pusaran politik “laki-laki”. Dalam sisi yang berbeda, fenomena ini juga bermuara pada sempitnya ruang rekruitmen yang dilakukan oleh partai politik. Stagnanisasi merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan menyempitnya pola kaderisasi untuk mencari calon legislatif yang menjunjung nilai kebangsaan dan islami.
Tentunya hal ini juga bersumber kepada kukuasaan eksklusif pada segelintir elite politik dalam tubuh partai politik. Tidak bisa lepasnya partai dalam mencetak kader juga berimbas kepada kelangkaan stok calon pemimpin yang masih“mensakralkan” pada satu elite. Dengan adanya satu elite yang sangat ekslusif ini, justru akan menghambat pencalonan pejabat publik menjadi tidak ideal karena segala sesuatu hanya ditentukan oleh orang satu.
Dengan kata lain, rekruitmen calon legislator partai-partai politik belum mengutamakan arus kapabilitas dan gelombang integritas. Namun lebih terasa sebagai bagian dari situasi patron-kilen dalam politik, dimana rekruitmen dalam partai politik hanya pertarungan antara jaringan patrionase politik. Sehingga klien-klien yang terbatas dalam sinyal konektivitas dengan orang-orang “dalam” akan tidak dianggap oleh sang patron, hal ini berimbas pada ketidak mungkinan untuk ikut bertarung diarena politik.
Alternativ solusi tentunya dengan sebuh perubahan dari dalam partai politik itu sendiri. Terutama dalam menyelenggarakan reformasi demokrasi dalam tubuh internalnya, ini dimaksudkan untuk memutus koneksivitas kekuasaan ditangan segelintir orang yang tidak mau tergeser dari pucuk kekuasaan. Dengan kata lain, partai politik yang melambangkan kehidupan demokrasi suatu negara, juga harus mau untuk mendemokrasikan keterbukaan dalam tubuh internal partainya.
Berlaku juga untuk reformasi dalam internal partai yang menjurus kepada rekruitmen perempuan yang berladaskan pada wajah politik yang sebenarnya. Sehingga partai politik dapat menghadirkan kepentingan perempuan dalam menentukan kebijakan-kebijakan. Hal ini menjadi sesuatu yang penting untuk mengembalikan politik kepada makna harfiahnya sebagai upaya untuk memajukan bangsa dan negera tercinta, sehingga dengan hadirnya sosok perempuan didalamnya, kehidupan kebangsaan Indonesia menjadi semakin bermakna. Semoga...


[1] Amatullah Shafiyah dan Haryati Soeripno. 2003. Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasinya. Jakarta: Gema Insani Press. Hlmn 3-4.
[2]Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[3]Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex), karena sex bersifat natural, sementara gender  itu nurture (bentukan).
[4]http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/profil-anggota-legislatif-2014-2019-potensi-dominasi-fraksi-makin-kuat-2.html., diaskes tanggal 31 Dsember 2016.