Saturday, July 15, 2017

Usman dan Harun, Pahlawan Kebanggaan Nasional (Selesai)

Pemakaman Usman dan Harun
arifsae.com - Setelah berjuang dan mempersiapkan diri, Usman dan Harun akhirnya menyusup ke Singapura. Tulisan ini merupakan tulisan terakhir dari ringkasan kisah mereka. Tulisan pertama bisa dilihat DISINI. Selamat membaca...
                                                             ***
Menyusup ke Singapura
Saat memperoleh perintah untuk melaksanakan infiltrasi dan kegiatan intelijen ke wilayah Singapura, Djanatin ditunjuk sebagai Komandan Tim, karena dinilai lebih senior dan memiliki pengalaman kemiliteran. Namun kelemahannya, Djanatin “buta” dengan situasi Singapura. Tohir, justru sebaliknya, sangat paham dengan situasi Singapura, bahkan hafal gang-gang kecilnya. Oleh sebab itu, Djanatin banyak memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.

Bukan perkara mudah menyusup ke wilayah Singapura, yang dijaga demikian ketat baik darat maupun laut. Guna mengelabui agen-agen rahasia atau informan Inggris dan Malaysia, Djanatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said. Bersama dengan Gani bin Arup, Usman dan Harun menyamar sebagai pedagang yang kerap hilir mudik dengan menggunakan perahu kecil. 

Dengan berkedok pedagang keliling, ketiganya banyak mendapatkan keterangan serta leluasa melakukan pengintaian di beberapa objek vital. Ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan kembali ke basis dengan selamat sebanyak dua kali. Di basis Sambu inilah, didiskusikan bebrapa titik sasaran beserta kemungkinan dampaknya.

Pada tengah malam 8 Maret 1965, mereka mendapat perintah untuk kembali menyusup dan melakukan aksi sabotase terhadap instalasi militer atau kepentingan-kepenntingan Inggris di Singapura. Oleh sebab itu, mereka dibekali bahan peledak. Ketiganya menyusuri perairan Selat Malaka menggunakan perahu karet dengan berlindung dibalik pekatnya malam. 

Mereka berhasil mengelabui kapal-kapal patroli Singapura yang secara rutin berpatroli di perairan perbatasan dengan P. Sambu. Tidak jarang mereka harus menghimpitkan diri ke dasar perahu karet, bahkan terkadang harus turun ke dalam air dan bergantung di dasar perahu. Sepintas, perahu karet yang dikamuflase tersebut mirip seperti onggokan kayu terapung. Sesampainya di pantai, mereka segera menyembunyikan perahu karet di semak-semak di sekitar lokasi pendaratan. 

Saat fajar menyingsing tanggal 9 Maret, ketiga prajurit komando ALRI terebut berhasil masuk ke tengah kota Singapura. Selama berada di kota, ketiganya kembali melakukan orientasi untuk menentukan sasaran yang dianggap paling tepat dari sekian titik yang telah ditetapkan sebagai target. 

Untuk menghindari kecurigaan, mereka bergerak secara terpencar sejak pagi hingga tengah hari. Selesai berkeliling kota, ketiganya kemudian berkumpul kembali sekaligus merundingkan penyelidikan masing-masing. Ketiganya lalu sepakat bahwa sasaran utama mereka adalah gedung megah yang terletak di Orchard Road dan tidak jauh dari Istana Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House. 
Jasamu Tetap dikenang
Mac'Donald House, Sasaran Utama
MacDonald House  (MDH) merupakan bangunan tinggi pertama berlantai 10 di Singapura yang dibangun tahun 1949 oleh Reginald Eyre dari Firma Palmer and Turner. Saat itu, MDH menjadi gedung perkantoran dari perusahaan besar Inggris, Amerika, dan  Australia, serta Komisaris Tinggi Australia dan Konsulat Jepang. 

Pertimbangan Usman, Harun, dan Gani untuk menjadikan sasaran utamanya karena gedung tersebut juga merupakan salah satu lokasi tempat berkumpulnya banyak perwira Inggris. Jika mereka berhasil meledakkan gedung tersebut, efeknya akan menggetarkan hingga ke London, ibukota Kerajaan Inggris. 

Sore harinya, mereka bertiga sekali lagi melakukan pengamatan atas lokasi seputar MDH. Karena situasi di Orchard Road masih ramai hingga malam, Usman selaku Komandan Tim memutuskan untuk tidak melakukan aksi apapun, menunggu situasi aman. 

Setelah situasi aman, ketiganya segera bergerak menyusup ke dalam gedung dan meletakkan bom seberat 12,5 kg di samping pintu lift di lantai mezzanine (lantai perantara di antara lantai utama dan biasanya tidak dihitung dalam struktur keseluruhan bangunan). Bom meledak pada pukul 03.07 malam tanggal 10 Maret 1965.

Ledakan tersebut merobek pintu lift, menjebol dinding, dan melemparkan puing-puing beton ke jalan sehingga merusak 24 mobil yang parkir atau tengah melintas. Selain itu, dalam radius 100 meter sekitar 20 toko mengalami kerusakan berat dan jatuh beberapa korban meninggal (versi sejarah Indonesia disebutkan 6 orang meninggal dan 35 terluka, sementara Singapura mengklaim meninggal 3 orang dan 33 terluka). Usman, Harun, dan Gani berhasil menyelinap keluar di antara kepanikan penghuni MDH yang berhamburan ke luar gedung.

Esok harinya, tanggal 11 Maret 1965, Usman, Harun, dan Gani bertemu sekaligus merundingkan kemungkinan cara kembali ke basis secepatnya. Namun pada saat yang sama petugas keamanan dan kepolisian Singapura menggelar serangkaian operasi pencarian besar-besaran. Berbeda dengan saat mereka masuk, kali ini penjagaan sangat ketat dan aturan keras diberlakukan.
Gagalnya kembali ke Pangkalan.

Guna menghindari kecurigaan, Usman memutuskan bergerak secara terpisah dan bertemu kembali di Pulau Sambu. Gani memisahkan diri, sementara Usman berjalan bersama Harun. Keputusan Usman bersama Harun, karena pemahaman nya atas liku-liku Singapura. Karena bergerak dari arah pantai, tidak memungkinakan akhirnya diputuskan meloloskan diri melalui pelabuhan. Namun inipun tidak mudah. Polisi Singapura melaukukan pemeriksaan yang sangat ketat.

Harun yang banyak mengenal Singapura berhasil mengelabui petugas kepolisian dan bersama Usman menyamar sebagai pelayan dapur di Kapal dagang Begama yang hendak berlayar menuju Bangkok, Thailand. Namun, tanggal 12 Maret malam, pemilik kapal yang bernama Kie Hok, mengetahui jati diri keduanya dan mengusirnya dari atas kapal dengan alsan takut ditangkap petugas Singapura. Usman dan Hrun lalu meninggalkan kapal Begama pagi harinya mencari kapal lain. 

Saat itu, mereka mendapati sebuah sebuah morot boat yang dikemudikan seorang Cina. Keduanya lalu nekad merampas morot boat tersbut dan membawanya berlayar menuju Pulau Sambu. Malang ditengah perjalanan mesin kapal tiba-tiba macet sehingga terombang-ambing di laut. Akhirnya pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965 keduanya ditangkap patroli polisi perairan Singapura.

Dijatuhi Hukuman Mati
Setelah melalui proses identifikasi dan diketahui sebagai anggota KKO AL, Usman dan Harun kemudian diajukan ke pengadilan tanggal 4 Oktober 1965. Hakim J. Chua menolak mengategorikan mereka sebagai tawanan perang, dengan alasan tidak mengenakan seragam tentara. 

Pada tanggal 20 Oktober, pengadilan berdasarkan Pasal 302 Penal Code 119 menjatuhkan hukuman gantung sampai mati dan dipenjara di Changi. Upaya banding dari dua prajurit KKO AL menemui jalan buntu, bahkan ketika diajukan Privy Council di London tidak membuahkan hasil. Pada tanggal 12 Mei 1968, Privy Council  secara resmi menolak banding, tanpa proses persidangan sama sekali.

Sementara itu, situasi politik Indonesia menjelang akhir tahun 1965 juga terjadi perubahan signifikan. Era kepemimpinan Sukarno beralih ke Suharto sejak tahun 1967. Dengan demikian upaya pembebasan Usman dan Harun kini beralih Presiden Suharto. Peralihan kekuasaan itu membuka babakan baru dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. 

Dibawah kepemimpinan Suharto dengan rezim Orde Barunya, Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai partai terlarang dan dilakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia dan Singapura. Republik Singapura sendiri resmi memperoleh kemerdekaan dari Imggris tanggal 9 Agustus 1965.

Pada tanggal 15 Oktober 1968, Presiden Suharto mengirim utusan pribadinya Brigadir Jenderal TNI Cokropranolo ke Singapura untuk menemui Presiden Singapura Yusof bin Ishak dan Perdana Menteri Lee Kwee Yew. Namun pemerintah Singapura tetap menolak permintaan pembebasan atau keringanan hukuman Usman dan Harun pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 1968 pukul 18.00 serta mengumumkan pelaksanaan hukuman mati tetap dilaksanakan esoknya, tanggal 17 Oktober 1968. 

Bahkan permintaan Presiden Suharto agar menunda pelaksanaan eksekusi agar kedua prajurit KKO AL tersebut dapat kesempatan bertemu dengan orang tua dan keluarganya tetap dihiraukan. Mendengar keputusan tersebut pada malam itu juga, Brigjen TNI Cokropranolo beserta Kuasa Usaha RI di Singapura Kolonel Abdul Rachman Ramli dan Atase Angkatan Laut RI Letnan Kolonel (L) Gani Djemat menuju penjara Channgi untuk menemui Usman dan Harun. Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman juga meminta kepada pemerintah Singapura agar mengabulkan permohonan Indonesia, namun ditolak. 

Saat itulah, para pejabat negara Indonesia tersebut terkagum-kagum melihat ketabahan dan keteguhan dari dua prajurit KKO itu. Tak terlihat perasaan takut atau putus asa sedikitpun walau hukuman gantung telah menanti mereka. Bahkan dengan sikap sempurna layaknya prajurit sejati, keduanya menjawab: “Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usaha-usaha yang telah dilaksanakannya. Juga kami ucapkan terimakasih kepada Jenderal Panggabean yang telah melakukan upaya, juga kepada mahasiswa-pelajar Indonesia yang telah melakukan upaya kepada kami, juga kepada sarjana-sarjana hukum dan rakyat bangsa Indonesia.” (Bagian Sedjarah KKO-AL: 341-342).

Usman dan Harun dieksekusi gantung pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 di penjara Changi. Setelah pelaksanaan eksekusi, utusan pemerintah Indonesia Dr. Ghafur dibantu empat pegawai KBRI mengurus jenazah keduanya. Meskipun hukuman telah dilaksanakan , namun petugas Singapura tetap menunjukkan arogansinya dengan menolak pengambilan jenazah tanpa dimasukkan ke dalam peti dan bendera merah putih dilarang digunakan sebagai selubung peti. 

Jenazah baru dapat diterbangkan ke Indonesia pada pukul 14.00 dengan menggunakan pesawat TNI AU. Pemakaman Usman dan Harun dilakukan dalam sebuah upacara militer pada tanggal 18 Oktobeer 1968 pukul 13.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur Upacara Letnan Jenderal TNI Sarbini. Keduanya dimakamkan berdampingan sesuai keinginan mereka sebelum meninggal. 

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti. Kemudian sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka, pangkat Djanatin alias Usman bin Haji Muhammad Ali dinaikkan menjadi Sersan Satu KKO anumerta dan pangkat Tohir alias Harun bin Said dinaikkan menjadi Kopral KKO anumerta. Selesai [] 
Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional oleh Ibu Janatin