Wednesday, September 6, 2017

Duka Pendatang Haram || Cerpen

Mereka di Jalanan, Dok Pribadi
arifsae.com, cerpen - Tiba di rumah sepulang sekolah jam 12.00, aku langsung mengambil air wudu untuk melaksanakan shalat duhur. Kukenakan sarung warna abu dan kopiah bercorak ungu bergaris silang serta hamparan sejadah mengahap kiblat yang menjadi hiasan beribadah menghadap Illahi untuk berusaha khusuk. Selesai melaksanakan shalat, memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar aku diberikan kekuatan, kesehatan dan keberkahan dalam menjalankan tugas ini termasuk do’a untuk keluarga yang ada di Indonesia.

Aku hanya bisa memasak yang serba instan, seperti mie instan, sarden, dan telur. Itulah menu andalan aku setiap hari. Perut keroncongan ini sudah siap menagih asupan gizi yang seimbang, memang rasa lapar itu sudah menunggu sejak mengajar di sekolah. Maka segeralah aku mengambil secangkir beras untuk dicuci dan di masak. Disini tekstur beras sedikit keras, jadi mesti menambah banyak air dalam memasaknya, mungkin juga karena kualitas beras yang aku beli tidak lebih bagus.

Pada saat memasak belum selesai, ada anak CLC datang, Pito namanya. Ia datang ke rumah dan memanggil dengan nada tergesa-gesa,

“Pak guru. Pak guru….!”

“Kenapa? Tarik nafas dulu. Tenang. Ada apa?”

“Di rumah ada yang mati.”

“Apa yang mati? Kambing atau apa?”

“Itu pak guru orang yang sakit mati (meninggal dunia).”

Aku pun kaget dan sepotan, “Innalilahi wainna ilaihi roojiuun.” Mendengar ada orang yang meninggal dunia, aku langsung duduk dan terbaring lemas. Pisau yang sedang mengiris-iris bawang, aku simpan dan tidak aku lanjutkan memasak menu makan. Badan langsung lemas, tangan gemeteran, wajah bengong seperti orang kebingungan.

“Pak guru kenapa? Pak guru takut ya?” Pito bertanya seperti keheranan, karena memang mungkin melihat raut mukaku yang tidak seperti biasanya.

“Pak guru tidak takut, hanya pak guru kaget saja.” Padahal jujur saja aku ini parnoan. Tapi aku berusaha menyembunyikan rasa parno ini di depan Pito. Kenapa aku sampai lemas begitu. Bahkan tangan hingga gemeteran.

Aku jadi teringat dengan kata-kata Bu Rustina di Jakarta, bahwa guru adalah yang dianggap serba bisa. Aku sudah mencium bau kalau ada yang meninggal dunia pasti aku yang bertanggung jawab mengurus jenazahnya. Disatu sisi, aku belum pernah ada pangalaman sama sekali terkait pengurusan jenazah dan sedikit parnoan. Sempat bingung dan syok harus bagaimana dalam bertindak,

“Pak guru ayo kita kesana ke rumah orang mati.”

“Tunggu sebentar ya, pak guru mau tarik nafas dulu. Kapan orang itu meninggalnya Pito?”

“Tadi jam 11.00. Di rumahnya hanya ada anaknya, sedangkan bininya bekerja pak.”

“Massa Allah, kenapa orang sakit ditinggal?”

“Tidak tau Pak Guru, yang jelas sekarang hanya ada anaknya.”

“Ya sudah kita sekarang ke rumah duka ya.” Aku langsung mengganti pakaian dan segera ke rumah duka. Perjalanan ke rumah duka sekitar 10 menit berjalan kaki.

Tiba di rumah duka, terdengar suara tangisan begitu haru dan membuat orang yang mendengarnya ikut merasakan kesedihan. Ketika masuk rumah, terlihat sesosok jiwa yang terkujur kaku, terbaring tapi bukan tidur, mata tertutup tapi bukan untuk tidur, tubuhnya dingin dan puncat  dan aliran darah serta detak jantung sosok tersebut sudah terhenti. Inilah sosok orang yang ditangisi keluarga.

Dirumah duka hanya ada anak dan tetangganya yang menemani, sementara isterinya belum pulang bekerja juga. Anak paling besar mengadu,

“Pak guru aku bingung harus bagaimana, bapak sudah tiada.”

“Yang tabah dan sabar ya, semua orang hidup akan mengalami kematian, hanya kita tidak tahu dimana dan kapan itu terjadi. Kita berasal dari Allah dan akan kembali juga ke Allah. Jadi berusahalah untuk selalu bersabar dan bertawakal ya atas kepergian bapakmu. Do’akan bapakmu agar mendapatkan tempat yang terbaik disisi-Nya.”

Melihat anak-anak yang masih sekecil itu ditinggal oleh orang tua, hati ini begitu haru. Memang berat melihat anak masih kecil sudah ditinggalkan oleh sosok seorang ayah. Bahkan aku tidak mampu menahan air mata keluar ketika melihat anak-anaknya yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih akung dari sosok ayahnya.

Disela percakapan aku dengan anaknya, datanglah isterinya sepulang bekerja. Dia langsung memeluk dengan penuh kasih akung yang tak terbendung kepada suaminya yang sudah meninggal, hingga menangis pecah, ketiga anaknya juga ikut menangis, bahkan si kecil yang masih usia setahunan juga ikut menangis, kekuatan jiwa dan nurani anak terhadap ayahnya sudah melekat walaupun masih bayi. Suasana haru pecah pada saat itu, keluarga terdekat, tetangga ikut menguatkan keluarga almarhum agar diberikan kesabaran dan kekuatan.

Aku menganjurkan agar banyak berdo’a untuk almarhum dengan membaca Al-Qur’an. Namun aku kaget, karena diantara mereka tidak ada yang bisa membaca Al-qur’an. Maka aku berinisiatif untuk membaca Al-qur’an surat Yasin, dan mendo’akan untuk almarhum. Memang banyak tantangan baru yang aku dapatkan di tempat tugas ini, banyak diantara mereka yang buta huruf, buta agama, bahkan pendidikan sekolah mereka abaikan.

Tidak sedikit dari mereka yang tidak bisa baca, menulis, berhitung sungguh terbelakang dari segi kepedulian terhadap pendidikan baik formal maupun non formal. Hikmah dari semua ini mudah-mudahan diantara mereka ada yang terketuk hati nuraninya untuk mementingkan pentingnnya pendidikan, baik formal maupun non formal.

Selesai membaca Al-Qur’an aku melanjutkan perbincangan dengan keluarga almarhum terkait pengurusan jenazah karena waktu sudah pukul 15.00 waktu setempat.

“Bu almarhum harus segera dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, sebab ini sudah sore dan harus segera dikebumikan.”

“Ia pak guru, kami disini tidak bisa menguburkan begitu saja, pasal ini tanah bukan milik kita, jadi harus menunggu persetujuan dari pengurus office, dimana-mananya di kuburkan. Sepertinya ini sudah petang juga, kemungkinan tidak bisa ini hari, paling besok pak guru”.

“Sudah konfirmasi belum ke manager/ assisten manager office?”

“Sudah pak guru, kita tinggal menunggu konfirmasinya.” Sambil menunggu konfirmasi dari pihak office, maka aku menyarankan untuk dimandikan terlebih dahulu.

Antara tegang dan gugup yang mengebu ketika ucapan aku melontarkan untuk menyarankan memandikan, sebab aku belum ada pengalaman memandikan jenazah, bahkan memegangpun aku tidak berani. Ada diantaranya dari sesepuh dari suku bugis yang menyarankan,

“Pak guru kita mandikan salah dulu.”

“Mandi salah? Apa itu mandi salah? Menurut adat kami memandikan jenazah itu dua kali, pertama mandi salah dan yang kedua mandi jenazah.”

“Aku heran, setahu aku memandikan jenazah cuman sekali, ini kok dua kali?”

“Ya itu memang adat kami pak seperti itu.”
“Ya sudah silahkan kalo mau mengikuti adat disini, aku mengikutinya saja ya.”

Semua sepakat untuk memandikan jenazah, aku meminta keluarga untuk mempersiapkan tempat pemandian jenazah, dan alat mandi jenazah yang diperlukan. Keluarga menyediakan tempat pemandiannya di dapur, yang sudah diatur sedemikian rupa. Setelah semuanya sudah sedia, aku meminta bantuan kepada empat orang warga yang bertakjiah untuk mengangkat jenazah dan memandikannya.

Pada saat meminta bantuan pada orang-orang, mereka saling lempar tanggung jawab seperti yang enggan untuk memandikan jenazah. Aku marah, karena tidak ada yang tergerak memandikan. Heningpun langsung seketika, karena mungkin mera baru melihat ekspresiku marah. Maka dengan terpaksa mereka akhirnya mau mengangkat jenazah dan siap memandikannya. Alasannya mereka enggan yaitu parno, padahal sama juga denganku. Tapi aku berusaha menyembunyikan rasa parno itu di depan umum.

Setelah jenazah itu dibawa ketempat pemandian, terpaksa aku harus memimpin memandikan jenazah. Sebenarnya aku tidak kuat dan tak berani melihat apalagi sampai menyentuh jenazah. Rasa gugup, deg-degan waktu itu luar biasa, karena ini pengalaman pertama langsung memandikan jenazah. Aku meminta ijin kepada yang lainnya untuk menyiram saja, adapun menggosok, hingga bersih itu urusan yang empat orang tadi. Benar-benar belum berani melakukan hal ini, entah kenapa rasa parno itu selalu menghantui pikiranku. Selesai memandikan, jenazah langsung dipindahkan ke tempat semula. Tidak langsung pake kain kafan, melainkan memakai kain biasa dan selimut untuk menutupi jenazah karena alasannya baru Mandi Salah.

Hampir dua jam setelah konfirmasi ke office belum ada jawaban juga. Rasa heran mulai geleng-geleng kepala, kenapa office ini tidak tanggap ketika ada oarng yang meningal, padahal yang meninggal ini kan salah satu dari pekerja mereka, dan tambah heran lagi diantara mereka tidak ada yang datang untuk bertakjiah, atau menyampaikan belasungkawa kapada keluarga almarhum. Rasa aneh dan heran setelah berjam-jam menunggu konfirmasi tetapi belum ada tindak lanjut sama sekali.

Aku menghampiri kepada sesepuh disini terkait masalah ini. Menurutnya, keterlambatan sebab pekerja yang memberitahu ke office,

“Mereka seperti yang tidak peduli dengan keadaan kami, apapun keadaannya. Apalagi ini almarhum dari Fhilipina, sebab hubungan bilateral antara Fhilipina dan Malaysia kurang begitu baik shingga konsulat Fhilipina tidak ada di Sabah, Malaysia. Apalagi almarhum tidak memiliki passport, disini disebut Pendatang Haram. Jadi ibarat kata orang sini, dia Mati Katak. Pengurus office tidak peduli, dia mau hidup atau mati itu bukan urusan mereka. Mereka peduli kepada pekerja tanpa passport hanya tenaganya saja, yang lain-lainnya bukan tanggung jawab office.”

“Alangkah lebih baiknya jika pak guru mengkonfirmasi ulang ke manager/assiten manager tentang pengurusan penguburan jenazah ini, pasal jika pak guru yang mengkonfirmsi mereka pasti segan pak, karena pak guru perwakilan Konsulat Jenderal RI disini.” Mendengar ucapan sesepuh itu, aku semakin heran lagi, dan baru memahami keadaan tempat tugas aku ini. Begitu banyak tantangan baru aku temukan dan perlu pemecahan masalahnya secara adil.

Rasa percaya diripun begitu memuncak ketika menyebutku sebagai perwakilan konsul RI dan salah saeorang yang disegani oleh orang-orang office. Tidak bembuang-buang waktu aku langsung segera menuju office untuk mengkonfirmasi. Diperjalanan menuju office, aku kebingungan bagaimana memandikan jenazah, kemudian mengkafani, dan menguburkan. Sebab tidak ada pengalaman mengurus itu semua, sedangkan aku disini dituntut serba bisa dan serba tahu.

Bingung dan panik yang tak karuan, dan rasa laparpun semenjak dari pagi belum sarapan tidak aku rasa. Rasa lapar hilang seketika dengan kejadian hari ini. Pada saat perjalanan menuju office, aku gunakan waktu-waktu itu untuk mencari informasi terkait pengurusan jenazah dengan cara browsing internet, kebetulan kekuatan signal di luar rumah lumayan cukup kuat jika di bandingkan di dalam rumah. Selain itu juga aku bertanya-tanya kepada teman dekat kerja disini yaitu Pak Bima melaui WA. Pak Bima adalah guru dari Indonesia tahap 6 yang ditempat tugaskan di Jebawang, kurang lebih 1 jam perjalanan dari Sekar menuju Jebawang menggunakan sepeda motor.

Aku sampaikan keadaan sebenarnya, melalui pesan singkat. Pak bima menyarankan aku untuk mengikuti pesan WA yang disampaikannya bagaimana cara memandikan, mengkafani menguburkan dan lain-lain. Dan ternyata pesan yang disampaikan pak Bima sama persis dengan data browsing yang aku dapat dari internet. Sedikit geli dan ketawa dalam hati, tapi ku terima sarannya dan menyarankan alangkah lebih baiknya jika Pak Bima bersedia ke Sekar Imej untuk membantu pengurusan jenazah. Karena tidak puas dengan pesan singkat aku telpon langsung walau sedikit tersendat-sendat karena jaringan. Pak Bima merespon dan belum pasti bisa ke Sekar, sebab sepeda motor sedang dipake Pak Rahmat yang mengajar CLC di IC-2, lumayan jauh sekitar 1 jam 30 menit menuju IC-2. Pak Rahmat guru tahap 8 seangkatan denganku, dia adalah guru yang mendapat tempat tugas yang sama dengan Pak Bima yaitu di Jebawang.

Mendengar ucapan Pak Bima, aku pun semakin lemas, selintas berfikir apakah aku bisa melakukan ini besok sendirian?? Tak terasa pintu office sudah didepan muka, aku langsung mengetuk dan mengucapkan salam meminta ijin ke kerani untuk menemui assistern manager/ manager ladang. Dan aku dipersilahkan langsung menemui Tuan Assiten Manager, bersalaman dan dipersilahkan duduk,

“Maaf tuan menggangu sekejap pekerjaanya.”

“Oh tidak apa cikgu, ada apa cikgu?”

“Begini tuan, salah seorang pekerja yang meninggal dunia.”

“Haaaahhhhh,…” Dia bengong dan keheranan seperti yang baru mengetahui berita duka ini dan pembicaraanpun terhenti sejenak seperti yang kaget dan syok.

“Kapan meninggalnya cikgu?”

“Memang tuan belum tahu?”

“Ada sih yang bagi tau, tapi hanya melalui pesan singkat WA, aku abaikan sahaja, pasal dia tidak jumpa aku”. Makin heran saja pikirannku, kenapa melalui pesan singkat WA saja tidak direspon, ini kabar duka dianggap permainan. Lagian para pekerja tidak akan  ada yang berani main-main memberikan kabar duka ini ke assiten manager. Mungkin benar kata sesepuh Suku Bugis disini, orang yang meninggal tidak punya passport dianggapnya Mati Katak. Pengurus office tidak mau ambil pusing dan ambil resiko.

“Jadi begini tuan aku mengkonfirmasi ulang meminta kebenaran terkait pengurusan penguburan jenazah”.

“Oke cikgu, pasal ini hari sudah petang, macam besok baru bisa ditanam. So tanam itu jenazah disini tidak bisa sembarang tempat, ada undang-undang yang mengatur itu semua. Disini sedia tempat itu di Hibumas satu, yang cakap orang sini Sabang, dan itu jauh kira 4 jam perjalanan. Jadi besok hari peralatan kenderaan dan darebanya (sopir) office kami sedia. Kita tunggu besok sahaja, nanti aku atur untuk kenderaan kesananya kita guna pen atau single cup besok berangkatkan jam 07.00 pagi. Kendaraan kita guna dua, yang satu untuk mengantar pekerja yang akan buat itu lubang kubur, dan satu lagi untuk bawa itu orang mati, oke gitu cikgu ya.”

“Oke tuan terima kasih atas bantuannya. Kalo begitu aku pamit dan akan ke keluarga almarhum.”

Selesai konfirmasi, aku langsung menuju keluarga almarhum untuk menyampaikan hasil negosiasi tadi. Aku sampaikan hasil percakapan dengan Tuan assiten manager kepada keluarga, alhasil mereka antusias karena sudah ada keputusannya.

“Tuh kan, kalau sama pak guru langsung ditindak lanjut tidak seperti kami pak, terimaksih pak guru ya, sahut orang-orang disitu.”
                                                   ***
Waktu sudah menunjukan jam 17.30 aku bermapit pulang ke rumah, sebab besok akan melanjutkan pengurusan jenazah hingga menguburkannya.

“Pak guru nanti malam disini kan?” Kata keluarga almarhum.

“Insya Allah, bu.” Rasa letih, capek, lemas pun begitu terasa dari pagi belum makan. Sampai di rumah langsung mandi dan mencuci pakaian yang dipake tadi, aku ingat kata orang tua dulu jika sudah bertakjiah pakaian yang kita pake sebelumnya sebaiknya langsung dicuci agar rasa takut sedikit hilang. Tapi entah kenapa pada saat mandi tebayang-bayang itu wajah almarhum tadi, mungkin karena baru pertama kalinya aku menyaksikan bahkan menjadi imam untuk memandikan jenazah.

Selepas mandi, aku bergegas melaksanakan Shalat Magrib di rumah. Perut ini sudah menagih untuk di isi sejak pagi. Aku langsung melanjutkan masak yang sempat tertunda tadi siang. Setelah selesai, aku langsung makan dengan lahap, sambil berfikir apa yang harus aku perbuat besok, bagaimana caranya, bagaimana kalau salah. Sehingga disaat makanpun tidak begitu menikmati karena memikirkan besok hari.

Selesai makan aku segera mencari informasi, tentunya dari Google. Ini satu-satunya cara untuk mencari informasi. Itu juga kalau jaringan sedang bagus, disini sinyal tidak stabil karena aku bisa mendapat jaringan internet hanya dikamar saja, itu juga tidak boleh bergeser sedikitpun dari titik tersebut, sebab jika bergeser signal langsung hilang. Lumayan terbantu ketika browsing dan berkomunikasi baik chat atau VC.

Disela-sela browsing mencari informasi pengurusan jenazah, ada pesan singkat dari Pak Bima.

“Pak bagaimana jenazah sudah dikuburkan belum?”

“Belum pak, menunggu besok, sebab sudah sore dan jauh tempat penguburannya di Sabang.”

“Bagaimana almarhum sudah dikafani?”

“Belum pak, tapi sudah dimandikan sekali, disebutnya Mandi Salah menurut adat Bugis”. Pak Bima juga keheranan.

“Kok ada mandi salah segala ya.” Kami sama-sama kebingungan dengan adat mereka, tapi bagaimanapun kami menghormati adat mereka.

“Perlu bantuan tidak pak?” Membaca pesan itu aku sedikit lega.

“Alangkah lebih baiknya Pak Bima dan Pak Rahmat kesini bantu.”

“Baiklah, kalo begitu aku dan Pak Rahmat meluncur ke Sekar Imej setelah shalat Isya”.

“Siap pak aku tunggu.” Ahamdulillah, Pak Bima dan Pak Rahmat bersedia membantu besok. Rasa senang dan beban pikiran sedikit berkurang waktu itu.

Sekitar jam 21.00, Pak Bima dan Pak Rahmat tiba di Sekar dengan basah kuyup, sebab waktu itu hujannya lumayan begitu deras. Sedikit merasa bersalah karena mereka dilibatkan membantu disini. Tapi bagaimana lagi, kesiapa lagi aku mencari bantuan kalau tidak dengan rekan kerja yang paling dekat. Kopi panas, dan hisapan rokok Pak Bima ikut menemani obrolan kami pada suasana hujan yang deras malam ini.

Panjang lebar aku ceritakan kejadian tadi siang di Sekar. Disela-sela obrolan itu kami juga membahas untuk tindak lanjut besok, mulai dari memandikan, mengkafani dan menguburkan menjadi topik utama untuk persiapan besok. Pak Rahmat rupannya mengawali pembahasan ini, karena memang sebelumnya dia mempunyai pengalaman pemulasaraan jenazah embahnya di kampung. Benar aku tidak meragukan lagi kemampuan pak Rahmat dalam hal ini, dari pengalamanya mengantarkan kami banyak tau proses pemulasaraan jenazah. Cukup menarik obrolan-obrolan pengalaman Pak Bima selama tugas, baik suka maupun duka, dan itu menjadi motivasi buatku agar mampu mempersiapkan diri dengan baik dalam menjalankan tugas disini.

Ketika jam menunjukan pukul 23.00 aku meminta ijin tidur lebih awal. Rasa kantuk itu memang berat dimata, tapi entah kenapa bayang-bayang jasad jenazah itu selalu menghantui pikiranku. Sehingga sulit untuk memejamkan mata yang sudah berat menahan rasa kantuk ini. Apalagi ketika pukul 01.00 mati listrik, suasana rumah pun menjadi gelap gulita dan rasa parno itu makin memuncak dengan bayang-bayang jenazah tadi. Padahal di rumah ada Pak Bima dan Pak Rahmat, aku tidak terbayang lagi jika mereka tidak menginap disini, mungkin saja aku dengan rasa berat hati menahan rasa takut yang super akut ini hingga pagi.

Waktu sudah menunjukan pulul 02.00, suasana sunyi menghiasi suasana gemerlapnya malam yang gelap gulita, dari kejauhan terdengar suara anjing yang menusuk ke telingaku, hingga terngiang-ngiang rasanya, serta diiringi dengan gemerciknya hujan yang belum berhenti sejak tadi sore, bulu kunduk mulai berdiri apalagi ketika mendengar di luar rumah ada suara orang desas-deseus seperti yang ngobrol, sepertiga malam mana ada orang yang masih mengobrol dalam pikiranku.

Mataku langsung melotot dan semua bulu kunduk semakin berdiri, akhirnya aku terbangun dari baringanku dan kuputuskan untuk keluar kamar dan tidur bersama dengan Pak Bima dan Pak Rahmat. Semakin keluar desas-desus obrolan itu semakin jelas dan suaranya semakin dekat, aku kaget dan pura-pura batuk dengan keras agar sedikit menghilangkan rasa takut yang menggebu dalam pikiranku.

“Kenapa Pak Radin belum tidur?” Tanya Pak Rahmat.

“Loh, Pak Rahmat belum tidur juga?”

“Ia aku sedang telepon dengan isteri.”

“Oh, rupanya yang terdengar desas-desus obrolan itu Pak Rahmat sedang telepon dengan isteri?”

“Iya pak, hehe..”

“Aku pikir siapa dari tadi mendengar ada yang ngobrol tapi tidak begitu jelas. Aku tidurnya disini saja ya bertiga .”

“Kenapa pak, takut ya?”

“Iya pak aku parnoan.”

“Ada-ada saja Pak Radin ini, sahut Pak Rahmat.”  Rasa parno pun sedikit berkurang. Setelah rasa parno ini sedikit mengilang akhirnya pikiran aku menjadi tenang, dan bisa tidur dengan nyenyak hingga subuh. Tetapi sebelum aku tidur aku lihat Pak Rahmat masih telepon dengan isterinya, entah sampai jam berapa mereka telepon. Dia memang dimana-mana bertelepon dengan istrinya, sampai ada istilah “istri CCTV”.
                                                 ***
Pagi ini kami awali dengan kopi. Obrolan dan pembahasan persiapan pemulasaraan jenazah menjadi topik utama tema pagi ini.

“Pak Radin, Pak Rahmat sudah siap?” Tanya Pak Bima.

“Pak Rahmat bagaimana sudah siap jadi imamnya? Tanya aku.”

“Loh kok aku pak, kan Pak Radin tuan rumah disini”.

“Aku sudah jelaskan sebelumnya, aku belum ada pengalaman tentang ini, jadi mohon Pak Rahmat lah yang menjadi imamnya, oke?”

“Haduh baiklah kalau begitu”

“Pak Rahmat semalam tidur jam berapa?”

“Jam 3.30 pak.”

“Wah kuat betul teleponnya nih.” Ia menawab hanya dengan senyuman saja.

Tidak seperti biasa, pagi hari jam 05.30 biasanya warga berkumpul ditempat titik kumpul tepatnya di depan rumah aku untuk melakukan breefing dari Tuan Assiten Manager, kepada para pekerja sebelum bekerja ke ladang. Namun tidak seperti biasana di pagi itu tidak ada orang yang berkumpul di tempati itu, padahal bukan hari cuti/libur.

Sekitar jam 06.30 kami bertiga mengunjungi rumah duka, setibanya disana rupanya warga sekitar sudah mulai berdatangan untuk bertakjiah, dan ikut membantu mempersiapkan kelengkapan pemulasaraan jenazah. Ada yang membuat keranda, padung dan lain-lain, rupanya semua para pekerja sengaja meliburkan diri jika ada diantara mereka yang meninggal dunia.

Karena jenazah pada waktu kemarin sore baru Mandi Salah, maka sekarang harus dimandikan lagi yaitu mandi jenazah menurut Adat Bugis. Maka aku meminta keluarga untuk dimandikan ulang mandi jenazah, sebelum dimandikan aku harus memastikan terlebih dahulu kelengkapannya seperti kain kafan, kapas, kapur barus, sarung tangan, dan minyak wangi tanpa alkohol. Dan rupanya kelengkapan itu semua belum ada, kami bertiga sungguh kaget. “Kenapa keluarga dan warga sekitar tidak memikirkan hal itu.” Pikir aku.

Benar saja keluarga dan warga disini menunggu komando dariku. Karena kelengkapannya belum ada, aku menyarankan keluarga untuk membeli kelengkapan itu segera di tempat yang dekat, sebab ini jenazah akan segera dimandikan. Ada diantara tetangga dekatnya yang bersedia membelikan kelengkapan itu yaitu tempatnya di Sungai-Sungai, lumayan jauh dari tempat rumah duka sekitar 2 jam pulang pergi. Mereka menunduk dan merasa bersalah, tapi aku juga tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, mungkin karena tidak tahu harus bagaimana dalam bertindak.

Sambil menunggu jenazah untuk dimandikan aku mengajak keluarga dan warga yang bertakjiah untuk berdo’a bersama dengan cara membaca Al-Qur’an surat Yasin, tahlil, dan tahmid atau do’a dengan bahasa masing-masing jika tidak bisa membaca Al-qur’an. Selesai membaca Yasin, warga yang membeli kelengkapan kain kafan dan lain-lain sudah datang. Jadi siapa saja yang memandikan jenazah pastinya tidak menggunakan sarung tangan. Aku menyarankan kepada keluarga agar segera dimandikan, dan meminta kepada keluarga menunjuk siapa saja yang bersedia untuk memandikan ini jenazah. Tempat pemandian jenazah yaitu di dapur tempat yang sama ketika Mandi Salah.

Pak Rahmat menjadi imam. Sedangkan aku dan Pak Bima hanya membantu mengarahkan warga dalam memandikan jenazah. Jujur saja aku tidak sanggup melihat wajah dari jenazah itu, rasa parno jika malam membayang-bayangi. Pada saat memandikan jenazah, semua terbuka kecuali bagian vitalnya yang tertutup. Rasanya ingin lompat dari tempat itu, tapi aku berusaha kuat untuk menerima pemandangan yang selama ini aku tidak harapkan. Dan tidak kalah penting pada saat itu Pak Rahmat menyerahkan imam memandikan kepadaku, sebab dia harus mempersiapkan kain kafan dan lain-lain untuk membungkus jenazah.

Semakin parno saja waktu itu, aku harus memberanikan menyentuh dan ikut memandikan jenazah. Pada saat akan menyentuh, sepertinya tangan ini tidak rela untuk menyentuhnya, rasa dag-dig-dug dan gemetaran terlihat pada saat sentuhan pertama ke jasad jenazah. Tubuhnya begitu terkujur kaku, dingin, pucat dan sedikit kulit ditubuhnya sudah mengelupas ketika di gosok, maka dengan penuh hati-hati aku membersihkan tubuhnya dengan penuh rasa ketegangan menahan dan ingin segera selesai.

Selesai dimandikan maka jenazah di bawa ke tempat yang sudah disediakan Pak Rahmat untuk di bungkus kain kafan. Pak Rahmat yang memimpin semuanya,

“Sambil berbisik ikuti aku pak ya, jangan lupa setiap yang berlubang dan sifatnya cepat busuk dikasih kapas dan ditaburi kapur barus”.

“Siap pak”. Aku pun mengikuti apa yang disarankan oleh Pak Rahmat. Bau busuk serta bau melati tercium menyengat menusuk dihidungku, padahal disitu tidak ada bunga melati sama sekali, tersentak dan langsung aku menghentikan proses mengkafani. Entah kenapa rasa parno itu muncul begitu kuat setelah mencium aroma yang tidak biasa.

“Kenapa pak?”

“Oh tidak pak, silahkan lanjutkan saja.”

“Sepertinya Pak Rahmat saja yang melanjutkan mengkafani hingga selesai.”

“Oke pak tenang saja.” Aku salut dengan Pak Rahmat yang begitu tenang ketika proses mengkafani jenazah ini.

Selesai dikafani langkah berikutnya adalah dishalatkan, sementara keranda yang dibuat belum selesai juga, entah kenapa lama sekali membuat keranda sejak dari tadi pagi.

“Pakci, bagaimana pembuatan kerandanya sudah selesai.”

“Belum cikgu, tunggu sekejap lagi.”

Pembuatan keranda ini menggunakan kayu yang cukup keras, sehingga potongan kayunya menggunakan mesin pemotong kayu. Suara bising dari mesin pemotong kayu itu tedengar keras dan cukup lama di rumah keluarga almarhum.

“Pak kita shalatkan di rumah atau di masjid?”

“Di masjid saja pak.” Sahut Pak Bima.

“Kalau begitu kita shalatkan di masjid dan langsung masuk mobil yang akan mengangkut jenzah.” Kemudian aku tanyakan kepada keluarga kesiapan mobil yang akan mengantar jenazah.

“Kita kesana dapat ijin dari assisten manager menggunakan lori yang sekarang sedang mengantar orang untuk mengali kuburan di Sabang pak guru.”

“Loh, kok pake lori bu? Kemarin macam cakap sama aku pake pen atau single cup. Masa membawa jenazah pake lori?”

“Oh, sama  pak guru cakap itu ya pak? Tapi kepada kami hanya meminjamkan lori pak.”

“Ya sudah jangan dipermasalahkan, sekarang apapun kendaraanya yang penting ini jenazah bisa dibawa ke penguburan. Lagian ini sudah siang bu, pasal perjalanan kesana hingga 4 jam.”

“Ya begitulah pak guru, kami hanya ikut intruksi tuan saja. Kalau begitu aku akan temui assisten manager, karena tidak sesuai yang disampaikan waktu kemarin kepadaku.”

“Yah begitulah pak guru, giliran kami membutuhkan bantuannya selalu disepelekan bahkan sampai urusan darurat sekalipun tidak mereka hiraukan”. Melihat kondisi ini maka aku langsung mengunjungi office untuk memastikan kendaraan yang membawa jenazah. Aku ke office ditemani Pak Bima untuk memastikan kendaraan yang diperlukan untuk mengantar jenazah.

Sesampainya di office, aku memasuki ruang dan meminta untuk berjumpa dengan Tuan Assiten Manager. Tapi assisten manager sedang ada meeting di Sandakan. Makin heran saja, semua pekerja office cuek seperti tidak ada kejadian apa-apa di warga sekitar, tidak peduli mereka dengan keadaan seperti ini.

“Tolong hubungi tuan, aku mau bicara dengannya.”

“Tunggu sekejap cikgu.” Kerani itu menghubungi hingga berkali-kali namun tidak bisa karena jaringan di Sekar sedang jelek. Akhirnya aku meminta nomor telepon manager, tetapi mereka tidak berani memberikannya.

“Paling begini cikgu, cikgu harus sedia menunggu itu lori buat angkut jenazah ke Sabang, tunggu sahaja mungkin sekejap lagi juga tiba, sahut kerani.” Tidak ada pilihan lain, harus menunggu lori itu menjemput. Sekitar menunggu sejam setelah percakapan kami dengan kerani, akhirnya lori itu datang untuk mengantar jenazah. Maka aku kembali ke rumah duka yang sudah menunggu dari tadi, keranda yang dibuat tampaknya sudah selesai dan meminta warga untuk memasukan jenazah ke dalam keranda. Dari rumah duka kami berangkat menuju masjid skitar jam 11.00, yang menjadi imam adalah Pak Rahmat. Selepas itu jenazah dimasukan ke dalam lori untuk di bawa ke tempat penguburan  yang terletak di Hibumas I/ Sabang.

Baru pertama kali ini mengantar jenazah menggunakan lori. Aku dan Pak Rahmat ikut ke Sabang, sementara Pak Bima tidak ikut dan langsung pulang ke Jebawang selesai menyalatkan jenazah. Aku menumpang lori di belakang bersama warga lainnya dan ditengah-tengah bak lori adalah keranda jenazah yang didampingi oleh keluarga duka. Medan perjalanan tidak begitu mulus, jalannya tidak rata melainkan berliku-liku naik turun bukit, licin dan banyak berlubang, sehingga jika mengenai jalan yang jelek maka lori terombang ambing, termasuk penumpang yang ada di dalamnya. Begitupun dengan keranda jenazah bergeser ke kiri, kekanan, hingga terangkat pun menjadi fenomena unik selama perjalanan. Sebagian dari warga yang mengantar berusaha memegang keranda jenazah agar tidak terombang ambing akibat jalan yang dilalui itu, suara bising akibat dari kondisi kendaraan ini juga mengantar kami hingga sampai tujuan perjalanan.

Aku membayangkn jika nanti aku yang menurunkan mayat ke dalam kuburan serta harus membuka tali di leher jenazah hingga membuka dan melihat wajahnya. Sudah jelas pemandangan itu yang tidak aku harapkan. Rasa pegal begitu terasa beriri di lori akibat waktu yang cukup lama. Kadang-kadang duduk, jongkok sudah aku lakukan untuk menghilangkan rasa pegal di kaki. Sebab perjalanan dari rumah duka menuju lokasi pemakaman menempuh waktu hingga empat jam perjalanan. Rasa lapar dan haus sudah begitu kuat, sebab tadi pagi kami tidak sempat membuat sarapan, dan ternyata Pak Rahmat juga merasakan hal yang sama.

Kira-kira pukul 15.00 kami tiba ditempat pemakaman. Segera meminta warga untuk mengangkat keranda jenazah dengan hati-hati dan membawanya ke kuburan. Dan ternyata sesepuh yang memimpin proses penguburan jenazah. Rasa lega yang tidak karuan dalam hati sebab untuk memimpin dan menurunkan jenazah ke dalam kubur bukan menjadi tugas aku. Pengubruan berjalan lancer, hingga selesai dilakukan.

Sekitar jam 16.00, kami selesai menguburkan dan kembali ke rumah, perjalanan yang lama serta asupan makan belum ada diperutku, mengakibatkan mulut rasanya pahit dan membuat sekujur tubuh lemas kepayang. Ditengah perjalanan aku meminta dareba (supir) untuk singgah ke Jebawang terlebih dahulu mengantarkan Pak Rahmat ke rumahnya, dan dareba menyetujuinya. Terimaksih kepada Pak Rahmat dan Pak Bima karena bersedia membantu proses pemulasaraan jenazah hingga selesai, karena tanpa mereka, aku kebingungan.

Disini baru dua minggu menjalankan tugas tapi sudah mendapat tantangan dan pengalaman yang luar biasa. Begitu besar pelajaran yang didapatkan pada hari itu, karena semua rasa bercampur begitu menegangkan, parno, sedikit lucu dan berkesan. Ini adalah pengalaman pertama di Sekar Imej, karena belum genap satu bulan disini.

Oleh: Radin, CLC Pamol TKB Sekar Imej