Wednesday, February 27, 2019

Mengenal Usman Janatin dan Harun Tohir


arifsae.com - Komando Dwikora menjadi puncak dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia yang menjadi kalimat sangat populer saat itu. Untuk melegalkan segala tindakan, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 95 tahun 1964. Keputusan ini menyangkut tentang pengerahan para sukarelawan Indonesia dalam rangka peng-ganyang-an dan penghancuran proyek neo-kolonialisme yang membutuhkan banyak personil.

Maka, untuk mengatasinya, banyak dibuka rekrutmen untuk menjaring anggota-angggota yang berani mengambil segala resiko. Banyak warga Indonesia yang berbondong-bondong mendaftarakan diri untuk ikut berkontribusi, salah satu orangnya adalah Janatin alias Usman dan Tohir alias Harun. Mari mengenal tentang Usman dan Harun.
Cover Buku
Usman: Inspirasi dari Kota Perwira

Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Janatin. Ia lahir tepat pada hari Kamis Pon tanggal 18 Maret 1943. Sekitar jam 10. 00 siang, Janatin membuka mata untuk pertama kalinya melihat dunia.  Janatin lahir dari rahim Siti Rukijah, seorang ibu rumah tangga di Dusun Tawangsari, yang masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga. Janatin lahir di wilayah yang masuk ke dalam kawasan Kecamatan Purbalingga, tepatnya di Desa Jatisaba.

Janatin merupakan anak ke-7. Nama-nama saudaranya dari yang paling tua hingga muda, yaitu: (1) Ahmad Kusni, anggota militer; (2) Ahmad Chuneni, anggota militer; (3) Ahmad Matori, anggota militer; (4) Siti Rochajah, ibu rumah tangga; (5) Mohammad Chalimi, Pegawai Kecamatan Bobotsari; (6) Siti Rodijah, ibu rumah tangga; (7) Djanatin; dan anak terakhir (8) Siti Turijah, seorang ibu rumah tangga.

Ayahnya, Haji Mochammad Ali, merupakan orang yang dihormati karena posisinya sebagai seorang kayim atau lebe.  Posisi kayim ini bersifat sebagai tangan kanan Kepala Desa, terutama yang berkaitan dalam masalah-masalah keagamaan. Sebagai seorang kayim atau lebe, pola pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya juga tidak jauh dari sifat religiusitas agama Islam. Hal ini didukung dari bangunan mushola yang ada di depan rumah Janatin ketika kecil.  Dengan adanya mushola ini, maka tidak mengherankan anak-anak H. Moch. Ali dapat memperoleh ilmu agama dengan baik.

Janatin mempunyai kakak pertama, Letnan Ahmad Kusni. Ia pernah berjuang dan gugur menjadi martil bangsa tahun 1949. Setelah gugur, ia dimakamkan di makam Pahlawan Purbosaroyo, Purbalingga. Selain Letkol Ahmad Kusni, dua kakak Janatin lainnya, Letda Ahmad Chuneni dan Sersan Mayor Mathori, juga merupakan anggota militer. Mereka sering memperlihatkan sikap seorang anggota militer yang disiplin dan tegas kepada saudara-saudaranya, termasuk kepada Janatin. Janatin melihat sosok kakak-kakaknya itu dengan sebuah kekaguman.

Kecintaan Janatin terhadap dunia militer yang terinspirasi dari kakak-kakaknya menjadikan motivasi tersendiri bagi Janatin dikemudian hari. Selain itu, dengan peristiwa terbunuhnya Letkol Ahmad Kusni, Janatin kecil ingin membalaskan kematian kakaknya ini kepada para penjajah yang mencoba mengganggu martabat Republik Indonesia.

Saat usia Janatin memasuki 7 tahun, ayahnya mendaftarkan Janatin ke sekolah formal. Janatin didaftarkan ke Sekolah Rakyat (SR)  terdekat, yaitu SR Jatisaba. Tepatnya tahun 1951, Janatin untuk pertama kalinya memasuki pendidikannya di SR Jatisaba. Jarak dari rumahnya hingga SR Jatisaba sekitar 1 km. Untuk menuju ke sekolahnya, Janatin selalu berjalan kaki dengan teman-teman sebayanya.

Proses Janatin bersekolah di SR Jatisaba dilalui hanya 3 tahun. Hal ini dikarenakan keterbatasan ruangan yang ada di SR Jatisaba. SR Jatisaba hanya bisa menampung kelas 1 hingga kelas 3 sehingga untuk melanjutkan kelas 4 sampai 6, Janatin harus pindah ke SR Bancar yang jaraknya lebih jauh lagi, yaitu sekitar 3 km. Jarak ini tidak menghambat Janatin untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya. Ia selalu bersemangat untuk mengikuti pelajaran menuju ke SR Bancar meski harus ditempuh dengan jalan kaki, karena waktu itu memang belum ada kendaraan umum dan akses jalan masih sangat terbatas.

Setelah melalui proses pendidikan selama 6 tahun di SR, akhirnya Janatin lulus tahun 1957. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bhakti Mulya. Janatin memilih sekolah ini karena satu-satunya dan karena paling dekat dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Jarak antara rumah Janatin ke SMP Bhakti Mulyajuga sekitar 3 km.

Seperti ketika sekolah di SR Bancar, Janatin juga berjalan kaki ketika berangkat ke SMP Bhakti Mulya. Di lingkungannya yang baru, Janatin merupakan anak yang suka bergaul dengan teman-temannya dari berbagai latar belakang. Hal ini dikarenakan SMP Bhakti Mulya merupakan sekolah yang sebagian besar murid-muridnya berasal dari keturunan Tionghoa sehingga keakraban yang terjalin antara Janatin dan teman-temannya di SMP Bhakti Mulya merupakan pertemanan antar-etnis.

Setelah pulang sekolah, Janatin sering membantu ayahnya dalam berbagai bidang pekerjaan. Profesi ayahnya yang juga menjadi sebagai petani menyebabkan keseharianya dihabiskan di sawah. Tidak jarang Janatin membantu ayahnya di sawah. Selain membantu dalam bidang pertanian, Janatin juga sering membantu untuk mencarikan makanan (ngarit) hewan ternak kambing yang memang dipelihara ayahnya.  Semua kegiatan itu dilakukan Janatin bersama saudara-saudaranya ketika tidak sedang bersekolah.

Selain bermain dengan teman-temannya dan membantu kedua orang tuanya, Janatin juga dikenal sebagai penyayang binatang. Hewan peliharaan yang paling disayangi Janatin adalah seekor bajing kelapa (Tupai). Nama ini diberikan karena jenis tupai ini memang suka melubangi pohon Kelapa. Tupai ini hidup di pohon-pohon kelapa yang banyak dijumpai di sekitar rumah Janatin. Janatin menangkap tupai kecil ini di sekitar pohon kelapa dekat rumahnya. Janatin mengambil dan memeliharanya dengan kasih sayang, bahkan Tupai ini sangat jinak dengan Janatin.

Pernah suatu ketika, Janatin pulang dari sekolah dan langsung diajaknya bermain. Sering ketika Janatin bepergian Tupai ini ditaruh dipundaknya, bahkan Siti Rodijah, mengibaratkan Janatin sama seperti Si Buta dari Gua Hantu karena seringnya tupai ini ditaruh di pundaknya, sama seperti Pendekar Buta yang mengendong kera kecil di pundaknya. Tupai ini dirawat oleh Janatin hingga ia mendaftarkan diri menjadi anggota Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL).

Harun: Sukarelawan dari Bawean

Harun bernama asli Tohir. Ia lahir pada tanggal 14 April 1943 di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Nama pulau Bawean tak bisa terlepas dari seorang ulama terkenal yang pernah hidup dan dikuburkan di sana, yaitu Syekh Zainuddin Bawean Al Makki dan Syekh Muhammad Hasan Asyari Al-Baweani.

Nama pulau ini juga sering disebut Pulau Putri, karena banyak orang yang berasal dari pulau ini merantau ke Jawa dan luar negeri, terutama ke Singapura dan Malaysia. Bahkan, di negeri itu, ada beberapa tempat perkampungan yang merupakan perkumpulan orang-orang Bawean. Di sana ada istilah “Orang Boyan”, yang ditujukan untuk orang-orang Bawean.

Pulau Bawean dulu pernah menjadi wilayah Surabaya, terhitung sejak pemerintahan Kolonial sampai Indonesia merdeka. Jarak Pulau Bawean ke Surabaya sekitar 15 kolometer, dan harus ditempuh 15 menit menggunakan perahu. Sejak 1974, Pulau Bawean menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Tohir lahir dari lingkungan pantai yang bermata pencaharian nelayan. Nama ayahnya adalah Mahdar seorang nelayan, dan ibunya bernama Aswiyani.

Sejak kecil, Tohir sudah akrab besentuhan dengan karang-karang dipinggir pantai. Tak jarang, ia ikut berlayar bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Bahkan, kecintaanya dalam berlayar, ia sering meninggalkan sekolah dasarnya. Ia terpukau keindahan ombak dibandingkan dengan mengikuti pelajaran di kelas.

Tohir sering ikut berlayar meski dengan diam-diam. Biasanya sekali menaiki kapal harus berhari-hari untuk mencari ikan. Meskipun jarang mengikuti pelajar, Tohir berhasil menyelesaikan sekolah dasarnya dengan cukup baik. Karena adat Bawean yang lebih banyak merantau, setelah lulus sekolah dasar ia melanjutkan rantauanya ke Tanjung Periok, Jakarta.

Untuk membiayai sekolah dan hidupnya di Jakarta, ia sesekali menggeluti hobinya untuk mengikuti berlayar dan mencari ikan. Dan terkadang ia menjadi pelayan dalam sebuah kapal pelayaran. Untuk mengikuti pelajarannya yang tertinggal, Tohir menyalin dan menanyakan pelajaran serta meminjam catatan buku pelajarannya. Ia memang tak bisa fokus untuk sekolah, karena lingkungan telah membentuknya seperti itu. Namun ada sisi posif dalam setiap pelayaran yang dilaluinya, Tohir menjadi tau seluk beluk tempat yang disinggahinya dalam pelayaran. Dari beberapa negara yang pernah disinggahinya, Singapura merupakan tempat yang paling sering Tohir datangi.

Terkadang, sekali berlayar ia harus menghabiskan waktunya berhari-hari di tengah lautan. Seperti ketika singgah di Singapura, Tohir ikut dalam kapal rute Tanjung Pinang-Singapura. Ia beberapa kali bermalam berhari-hari disana. Dari pengalaman berlayar ke Singapura inilah Tohir menjadi hafal daerah-daerah Singapura sampai ke gang-gang nya. Pengetahuan ini akan sangat berguna nantinya ketika Tohir memilih untuk mendaftarkan dirinya menjadi sukarelawan dari KKO-AL.

Berbeda dengan Janatin yang tidak bisa terlacak kisah percintaanya, Tohir pernah mengalami persistiwa tak mengenakan dengan perempuan. Ketika umurnya baru 21 tahun, Tohir menjalin cinta dengan seorang perempuan bernama Nurlaila. Hubungan keduanya bisa dibilang serius. Keseriusan itu yang membawa Tohir untuk bertungangan dengan gadis pujaan hatinya itu.

Kakak sulungnya yang bernama Samsuri menjadi orang yang menyaksikan prosesi lamaran yang dilakukan keluarga Tohir kepada keluarga Nurlaila. Diwaklikanya prosesi lamaran itu karena ayah Tohir telah meninggal dunia pada tahun 1963. Mereka berdua telah bersepakat untuk menjalin rumah tangga dikemudian hari.

Namun rencana itu berantakan, karena setelah Tohir berlayar dalam waktu yang lama dan kembali untuk menemui Nurlaila, Tohir manyaksikan pemandangan yang menyayat hati. Calon pengantinya akan melaksanakan proses pernikahan dengan laki-laki lain, Tohir marah besar. Ternyata laki-laki itu adalah pilihan kedua orang tua Nurlaila, yang berarti pernikahan itu merupakan perjodohan.

Pada hari pernikahan Nurlaila dilangsungkan, dan tamu sedang ramai-ramainya, Tohir datang bersama teman-temannya. Pada saat proses ijab qobul akan dilaksanakan dan pernikahan hampir selesai membacakan proses ijab qobul, Tohir membuat onar dan marah-marah. Ia meminta untuk proses pernikahan itu dibatalkan.

Penghulu yang akan menikahkan mereka akhirnya lari menuju rumah kakaknya Tohir yang berada di Jalan Jember Lorong 61 Tanjung priok. Penghulu itu menemui kakak Tohir, Samsuri untuk mencegah kekacauan yang terjadi. Akhirnya Samsuri mau membujuk Tohir untuk menghentikan kekacauna yang terjadi. Sebagai adik, akhirnya Tohir mengikuti kata-kata kakaknya untuk mengentikan segala ulah Tohir. Ia menerima perkawinan itu meski dengan berat hati.

Pada bulan Juni 1964, Tohir memasuki dunia kemiliterannya. Ia mendapatkan pangkat Prajurit KKO II (Prako) dan menapatkan pelatihan sleama lima bulan didaerah Riau daratan pada tanggal 1 November 1964. Pada tanggal 1 April 1965 Tohir mandapatkan kenaikan pangkat menjadi Kopral KKO I (Kopko I). Selesai mendapatkan pelatihan didaratan Riau sebagai sukarelawan Dwikora, ia mendapatkan tugas untuk menuju Pulau Sambu dan bergabung rekan-rekannya yang lain.

Pengalamannya ketika berlayar berkali-kali ke Singapura menjadikan Tohir ahli dalam penyamaran. Terlebih mukanya yang mirip Tionghoa menjadikan penyamaran lebih mudah. Tohir juga dikenal karena bisa menguasai beberapa bahasa asing, seperti Ingris, Melayu, Tionghoa dan Belanda.

Takdir inilah yang akhirnya menemukannya dengan Janatin di Pulau Sambu. Tohir bergabung kepada Tim Brahman I pimpinan Kapten Paulus Subekti. Tugas dari Tim ini adalahmelakukan demolisi, sabotase pada obyek militer dan ekonomis, juga menyiapkan kantong gerilya, mengadakan propaganda, perang urat saraf, mengumpulkan informasi serta melakukan kontra intelijen.[]

Bagian Buku Usman Jantin dan Harun Tohir, Pesan Bukunya DISINI.