Saturday, March 2, 2019

Sawit Pahit [Sebuah Puisi Esai]

Sawit
/1/

Rapuh tatapan tajam ke Sawitan itu,
tak lagi rindang, enam tahun yang lalu.
Jejak langkah akan meninggalkannya,
menjadi serpihan masa lalu.

Sebelum langkah menjejak arah itu, hatinya menjerit;
mendiamkan ramai riuh kenangan.
Dibukanya pintu rumah: hitam pelataran Terusan,
menjadi taman bermain sejak pertama berjalan.

Teringat hari sebelum hari ini
Ketika tangisan ramai setiap hari
Seperti raungan mesin Beggo dipelataran rumah
Mengaum seperti raja hutan menakuti musuh

Sebut saja namanya Fitri, Nurul Safitri binti Salimi–
kesucian hidup artinya.
Nama indah yang berjejar rapi
Menadakan khas nama Malaysia.

Waktu itu dia lahir di Malaysia-
Lahad Datu tepatnya.
Negeri hamparan Sawit di Bawah Bayu
Sabah yang ramah.

Ia pindah, berkali-kali.
Mengikuti langkah arah ibunya, Salimi.
Semua berubah berbeda
Setelah peristiwa invasi dari Abu Sayaf

Apa arti kebangsaan bagiku?
Lirih hatinya menanyakan pada dirinya
Jutaan orang meninggalkan negaranya
Untuk mencari Ringgit di belantara Sawit

/2/
Ibunya, dari negeri Zamrud Khatulistiwa
Ayahnya, orang tempatan Malaysia
Mereka terikat dalam ikatan manusia
Mengagungkan nilai-nilai cinta

Mengharpkan hidup bahagia
Ditengah hamparan sawit,
Kampung Tanduo tepatnya,
30 km dari Lahad Datu

Hingga hari itu datang,
Menyeruak digelapnya malam
Hukum ditelantarkan, segerombol orang datang
Ratusan jumlahnya,
Yang terdengar hanya ketakutan

Seranggan Pengganas Penceroboh Sulu
Suara Takhta Sulu menggema
Menuntut warisan Sultan Brunei
Itu miliku, itu hakku

Langit menghitam oleh letusan peluru
Dari dalam rumah-rumah
Semua terperanga, tak ada yang merasa terjaga
Melindungi diri sendiri dari kemelut

Ada yang memilih menyelamatkan diri
Dari para pengganas yang ganas
Yang siap merampas dan menerkam
Yang siap membunuh orang melawan

Operasi Daulat di daulatkan
Untuk menjinakan pengganas
Di Kampung Tanduo dan Tanjung Batu
Juga di bagian Sabah lainnya

Banyak korban bergelimangan
Menggelepar-gelepar
Memerah banjir darah
Termasuk ayahnya, Abdul Kardir.

/3/
Safitri bersema ibunya mengungsi
Felda Sahabat mnawarkan persinggahan
Bersama sejumlah warga tempatan dan imigran
Memikirkan masa depan, dimana untuk hari kedepan?

Hari-hari setelahnya setelah Hari Berdarah
Safitiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi
Ingatan dan tubuhnya belum mampu
Ibunya membawanya pergi dari kenangan

Sempat pindah ke Sekar Imej
Yang jauh dari keramaian
Sempat ke Andamy
Yang menawarkan kedekatan
Hingga pelabuhan berakhir di Terusan

Hari beganti menaati kodrat ilahi
Ia tumbuh menjadi gadis Sawit
Berkenalan dengan sambutan
Sudut-sudut tak berujung blok-blok

Ketika umur terus menambah
Fitri tak bisa membaca menulis
Celaka, sungguh celaka
Apa yang Negara perbuat padaku?