Saturday, May 11, 2019

Ayo Kita Pulang, Nak...Catatan Kecil Guru Ladang Sawit, Sabah-Malaysia

Bersama Anak-Anak Terusan 2
arifsae.com - Kita tidak pernah bisa memilih darimana kita dilahrkan. Dari orang tua seperti apa, atau dari lingkungan mana. Karena itu semua adalah hak “prerogratif” Tuhan. Tugas kita adalah berusaha menggapai harapan, cita dan asa yang kita impikan, karena sukses merupakan pertemuan antara persiapan dan kesempatan.

Itulah yang menjadi harapan saya. Disini. Di belantara himpitan Pohon Sawit, yang membentang dari ujung hingga ujung Negeri Sabah, Malaysia. Negeri Sabah merupakan wilayah negara bagian dari Kerajaan Malaysia yang termasuk kedalam 13 negara bagian dalam persekutuan Malaysia. Wilayah ini merupakan wilayah terbesar kedua, setelah Sarawak, dalam bagian persekutuan itu. Julukan untuk menggambarkan wilayah ini adalah Negeri di Bawah Banyu (Land Below the Wind).

Di rimbunnya Pohon Sawit Negeri Sabah telah menyimpan berbagai harapan dan kesempatan dari anak-anak “kandung” Indonesia. Iya. Di belantara sawit itu, lahir anak-anak Indonesia yang tak tahu jati diri mereka. Sebagian besar, mereka lahir karena mengikut orang tua yang memilih menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Sabah. Ada yang berdokumen resmi secara legal, namun lebih banyak yang illegal. Mereka datang lewat jalur “Tikus”.

Malaysia merupakan negara favorit bagi para BMI ini. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2018, Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia hampir mencapai 3 Juta jiwa. Belum lagi yang tidak resmi. Dari data itu, kita bisa membayangkan berapa banyak orang Indonesia yang mengais rizki di negeri Jiran ini.

Jumlah TKI di Malaysia ini adalah yang terbesar di dunia. Meski banyak dijumpai kekerasan dan kasus, namun tidak bisa disangkal, Malaysia masih menjadi favorit bagi para pemburu kerja dari Indonesia. Alasan yang paling utama adalah faktor Ringgit. Mereka rela meninggalkan Indonesia demi setumpuk materi, dengan secara tidak langsung menelantarkan pendidikan anak-anak mereka.

Pendidikan mereka terlupakan. Ini disebabkan karena di Sekolah Kebangsaan Malaysia, tidak menerima orang-orang yang “berpassport”, apalagi mereka yang ilegal. Sehingga, puluhan ribu anak-anak Indonesai tak bisa menikmati lezatnya bangku sekolah. Salah satunya tentu diwilayah Sabah ini. Itulah mengapa, pemerintah hadir bagi anak-anak Indonesia di Sabah.

Menebar Serpih Asa
Peran pemerintah Indonesa untuk memenuhi pendidikan warga negaranya berlandas komitmen global untuk mencapai sasaran Education for All, yaitu sebuah gerakan untuk memberikan “pendidikan untuk semua”. Pemerintah juga mengeluarkan PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar antara 7-15 tahun untuk mengenyam pendidikan wajib 9 tahun, tidak terkecuali mereka yang berada di luar negeri.

Proses pemberian layanan pendidikan di Malaysia tidak mudah, butuh proses yang panjang. Proses itu bahkan sudah dimulai dari era Presiden Megawati Sukarnoputeri pada tahun 2003 silam, dan baru terrealisasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2006. Dalam kesepakatan Annual Consultations 2006, disetujui akan dikirimnya guru-guru dari Indonesia untuk anak-anak di perkebunan Sawit.

Dari kesepakatan itu, dibentuklah sebuah LSM Humana Child Aid Society tahun 2006. Namun, dilihat dari perkembanganya, hasil output (ijazah) dari Humana tidak bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Indonesia. Hal ini tentu disebabkan “kurikulum” yang digunakan Humana bukan kurikulum Indonesia, melainkan menggunakan kurikulum Malaysia.

Dari keadaan itu, maka secara tidak langsung mendorong terbetuknya Sekolah Indonesia. Dengan surat dari Kementerian Luar Negeri bernomor 120/DI/VI/2008/02/01 tertanggal 16 Juni 2008, yang meminta pada Kementerin Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendirikan sebuah sekolah Indonesia di Kota Kinabalu (Red: Ibu Kota Sabah). Hingga akhinrya, pertanggal 1 Desember 2008, diresmikan dan mulai berjalan secara operasional Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK).

Dalam perkembangannya, SIKK hanya bisa melayani anak-anak Indonesia yang berada disekitar Kota Kinabalu dan sekitarnya. Sedangkan anak-anak yang berada di ladang-ladang Sawit belum terjamah. Sehingga dicari sebuah solusi untuk menyediakan akses pendidikan untuk meraka. Karena semangat inilah, didirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau Pusat Pembelajaran Masyarakat (PPM), kalau dalam bahasa Inggris nya, Community Learning Centre (CLC).

Lewat perjanjian antara Presiden SBY dan PM Najib Tun Razak, dalam The 8th Annual Consultations di Lombok pada 20 Oktober 2011 ditanda tangani sebuah kesepakatan secara legal dan formal tentang pendirian CLC tersebut dan efektif berlaku mulai tanggal 25 November 2011.

Pada akhir 2018, sudah didirikan 114 CLC Sekolah Dasar (SD) dan 45 CLC Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tersebar diseluruh pelosok penjuru Ladang-Ladang Sawit di seluruh Sabah. Kesempatan inilah yang membuat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tujuan utama dari program ini tentu tidak lain dan tidak bukan adalah, mengembalikan mereka ke Indonesia. Mengejar mimpi, meraih cita-cita dan menggapai kesuksesan.

Menuju Puncak Cita
Saya teringat pepatah, Harimau tidak akan mendapatkan mangsa apabila tidak keluar dari sarangnya. Begitupun dengan saya, harus keluar “sarang” untuk mendapatkan “mangsa”. Iya, sejak 2017 saya ditugaskan oleh Pemerintah Indonesia menjadi salah satu bagian dari ratusan guru-guru Indonesia yang ditugaskan di CLC-CLC di Sabah.

Tantangan baru yang saya temui tentu tidak akan didapatkan di Indonesia. Ini luar negeri. Ini Malaysia. Ini Sabah. Bahkan, kata kawans saya, “Sabah Keras”. Keras karena disini suhu bisa sangat panas. Bahkan, pernah mendekati 35 derajat Celcius. Keras karena rumah-rumah guru tidak semewah rumah di Indonesia. Jangan membayangkan Sabah seperti wilayah Semenanjung dengan Menara Peronasnya.

Kami, guru Indonesia yang berada di Sabah mendapatkan fasilitas dari Company atau pihak ladang. Kata kawan saya, “Fasilitas yang akan didapat tergantung amal dan perbuatan di Indonesia.” Joks semacam itu kadang membuat kami terawa, memang ada benarnya. Kalau company itu besar, kemungkinan fasilitas juga baik. Namun apabila company itu kecil, bisa dipastikan, hanya pasrah dan doa yang menyertai langkah.

Misalkan, ada yang rumahnya dari kayu dan rusak. Ada yang tanpa sinyal sama sekali. Ada yang listrik hanya 6-8 jam sehari. Bahkan ada yang perjalanan dari jalan besar utama ke rumah menempuh 2 jam. Bagaimana kami memenuihi kebutuhan? Untuk memenuhi kebutuhan kami keluar ladang untuk ke kota (Bandar). Kalau ada toko (kedai) itu bisa menjadi alternatif, tentu dengan harga yang lebih mahal.

Lalu, sekolahannya seperti apa? Sekali lagi, jangan membayangkan sekolah di Indonesia. Kondisi sekolah hampir sama dengan rumah, tergantung Company. Namun ada beberapa perbedaan antara CLC satu dengan lainnya, yaitu jam belajar. Hal ini disebabkan karena harus berbagi jam dengan Humana. Apabila di ladang itu ada Humana, makan bisa dipastikan proses belajar CLC dilakukan siang hari, antara jam 14.00.-17.00 waktu Sabah. Namun, apabila diladang itu tidak ada Humana, pembelajran bisa dilakukan pagi hari.

Kondisi bangunan pun tidak bisa disama ratakan. Ada yang hanya dari kayu, ada juga yang sudah bertembok. Terkadang, yang membuat kami merasa “special” disini karena dituntun untuk menjadi manusia setengah “dewa”. Mengapa? Karena kami harus tau segalanya. Dari urusan sekolah sampai kemasyarakatan. Secara administrasi kami dianggap selayaknya sekolah umum di Indonesia, yang mendapatkan Dana Operasional, menginput Dapodik dan tentu beban se-abreg yang menimpa kami. Dari Kepala Sekolah, Guru, Tata Usaha, kantin, bahkan petugas pembersih jadi satu.

Belum lagi, kami harus menempuh ke Tempat Kegiatan Belajar (TKB), semacam cabang dari CLC, untuk belajar disana. Tidak tanggung-tanggung, puluhan kilometer harus kami tempuh untuk sampai di TKB-TKB itu. Ditambah karena disini kekurangan guru, kami harus meng-handle mata pelajaran yang bukan menjadi passioan kami. tapi itulah keadaan disini, lingkungan dan kondisi geografis yang memaksa kami untuk menikmatinya. Termasuk menikmati proses belajar dengan anak-anak BMI ini.

Kami harus benar-benar memulai dari awal, karena sebagian mereka lahir di Sabah. Tidak tahu kekayaan budaya yang ber-bhinneka di Indonesia. Mereka hanya mengenal asal mereka dari sukunya. Mereka menyebut “suku” dengan sebutan “bangsa”. Apabila ada pertanyaan, “Apa Bangsa kamu?”, mereka akan menjawab, “Bangsa saya Bugis, Bangsa saya Timor, Bangsa saya Jawa.”

Tapi itulah tugas kami disini. Mengenalkan “kecantikan” Ibu Pertiwi, dan membujuk mereka untuk kembali dan membangun negeri. Dengan proses pembelajaran yang seadanya, kami mencoba memaksimalkan segala potensi dan sumber daya yang dimiliki untuk menggajak mereka kembali ke Indonesia, tentu dengan jalan melanjutkan sekolah di Indonesia. Salah satu caranya dengan program beasiswa.

Meraih Segudang Bahagia
Saat ini, sudah ratusan siswa yang dikembalikan ke Indonesia dengan berbagai program beasiswa. Salah satunya adalah beasiswa repatriasi Sabah Bridge dan Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM). Sudah banyak dari alumnus-alummnus CLC di Sabah yang melanjutkan sekolahnya di Indonesia, bahkan sampai perguruan tinggi.

Sejak tahun 2015-2018, sudah ada 453 peserta didik yang melanjutkan sekolah diberbagai penjuru sekolah di Indonesia. Bahkan sudah ada yang sampai perguruan tinggi bergensi di dalam dan luar negeri. Itulah kebanggaan dan kebahagian tertinggi kami sebagai guru ladang di Sabah, Malaysia ini.

Saya sendiri bertugas di CLC SMP Terusan 2, lokasi yang bernaung di Company Wilmar ini memberikan fasilitas yang memadai. Proses pembelajaran dilakuakn sore hari, karena paginya digunakan oleh Humana. TKB yang CLC Terusan 2 miliki ada 3, TKB Andamy, TKB Terusan 1 dan TKB Rumidi. Dan saya menjadi “pengelola”, semacam kepala sekolah mini dari CLC Terusan 2 sejak 2017 hingga kini (2019).

Meski dengan fasilitas yang serba terbatas, kami selalu menggaungkan dan mengajak mereka untuk selalu berusaha dan membuka mindseet mereka. Minimal, mereka harus berusaha lebih baik dari orang tuannya yang bekerja sebagai BMI di Sabah. Mereka bisa. Mereka mampu. Mereka mau untuk pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Begitulah. Hak-hak mereka sebagai warga negara tetap berusaha dipenuhi untuk mengenyam pendidikan. Sehingga mereka bisa memanen hasilnya kelak, menyimpannya dalam setumpuk gudang bahagia. Tentunya untuk turut serta berkontribusi membangun Indonesia. Tidak ada jalan lain, saat ini, kami sebagai guru, mempunyai kata-kata sakral, “Ayo kita pulang, Nak…”[]