Wednesday, August 21, 2019

Patriot Bangsa dari Kota Perwira: Buku Biografi Usman Janatin

Buku Usman Janatin
Usman Janatin merupakan putera ke-8 dari sembilan bersaudara pasangan Haji Mochammad Ali dan Siti Rukijah. Ia lahir pada tanggal 18 Maret 1943 pada pukul 10.00. Janatin, begitu keluarga memanggilnya, terlahir dari keluarga petani yang religius. Di lingkungan inilah, Janatin terbentuk kepribadiaannya. Ayahnya bekerja sebagai seorang petani sekaligus sebagai kayim, yaitu seorang yang dipercayai sebagai pemuka agama desa. Maka sedikit banyak pola pendidikan yang diterima Janatin juga tidak bias dilepaskan dalam suasana yang religius. Kakak-kakaknya yang sebagian besar merupakan anggota militer menjadikan motivasi tersendiri dalam diri Janatin untuk mengikuti jejak mereka menjadi anggota militer. Terlebih lagi kejadian gugurnya Letkol Kusni, kakak sulung Janatin, yang meninggal karena berperang pada masa revolusi senjata tahun 1949.
Kehidupan semasa kecil Janatin dilalui selayaknya anak kecil seusianya. Janatin menghabiskan masa kecilnya dengan menempuh pendidikan formal dan bermain bersama teman-temannya. Pendidikan formal dimulai dari SR Jatisaba yang ditempuh dari kelas 1 sampai 3. Untuk kelas 3 sampai dengan 6, Janatin harus melanjutkan ke SR Bancar yang berjarak 3 km. Semua jenjang sekolah dasar ini ditempuh Janatin dengan berjalan kaki. Setelah selesai menyelesaikan jenjang sekolah dasarnya, Janatin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di SMP Budi Mulya, Purbalingga.  Di sini, Janatin bergaul dengan berbagai teman yang berasal dari berbagai latar belakang.
Selama bersekolah, Janatin merupakan anak yang tidak terlalu menonjol dalam bidang akademik, namun sangat menonjol ketika mengikuti pelajaran yang membutuhkan ketangkasan fisik. Selepas sekolah, ia tidak lupa menghabisakan waktu untuk bermain dengan teman-temannya, salah satu kegemarannya adalah bermain sepak bola dan bulutangkis. Ia juga tidak lupa membantu pekerjaan ayahnya, seperti mencarikan rumput untuk makanan ternak, dan sesekali membantu di sawah.
Semasa Janatin menjalani tahap akhir pendidikan di SMP Budi Mulya, ia mendengar tentang memanasnya hubungan Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai masa depan Irian Barat. Puncaknya pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden RI Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di alun-alun kota Yogyakarta, sebagai bentuk konfrontasi total dengan Belanda guna memperjuangkan kembalinya Irian Barat. Sejalan dengan kampanye pembebasan Irian Barat tersebut, dilakuan mobilisasi besar-besaran untuk merekrut anggota milieter dan sukarelawan. Pemuda Janatin terpanggil untuk mendaftarkan dirinya sebagai calon Tamtama KKO-AL.
Meskipun ada sedikit penolakan dari orang tuanya, Janatin yang terpanggil untuk membela harkat dan martabat bangsanya nekat mendaftarkan dirinya ke Sekolah Calon Tamtama KKO-AL (secatmoko) di Malang pada tahun 1962. Dengan tahapan seleksi ia berhasil lulus. Berbagai latihan fisik dan mental dilalui oleh Janatin, hingga dinyatakan lulus pendidikan tanggal 1 Juni 1962, Janatin mendapatkan pangkat Prajurit III KKO. Niat Janatin untuk mengusir Belanda dari Irian Barat urung terlaksana, karena tercapai kesepakatan damai antara Indonesia dengan Belanda pasca persetujuan New York tanggal 15 Agustus 1962. Persetujuan New York mengakhir perseteruan Indonesia-Belanda dan Irian Barat dinyatakan kembali ke Pangkuan NKRI melalui perantara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tugas pertama Janatin yaitu mengikuti Operasi Sadar di Irian Barat untuk memastikan penyerahan kekuasaan berjalan lancer.
Meskipun tugas di Irian Barat telah dilaksanakan Janatin dengan baik, namun tugas negara yang lain telah menanti Janatin dan prajurit-prajurit KKO-AL lainnya, yaitu Operasi Dwikora. Komando Dwikora dikumandangkan oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk konfrontasi terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang disebutnya bagian dari proyek neokolonialisme Inggris. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Inggris memberikan kemerdekaan kepada Persekutuan Tanah Melayu (Malaya), sementara Singapura, Sabah, dan Serawak tetap berstatus koloni Inggris. Di sisi lain, Brunei yang masih tergantung kepada Inggris juga menjadi rencana besar membentuk Federasi Malaysia.
Pemerintah Inggris dan negara-negara Blok Barat lainnya yang merasa khawatir dengan perkembangan kekuatan komunisme di Indonesia, menyetujui gagasan tersebut yang dipandangnya sebagai strategi pembendungan pengaruh komunis. Keputusan pembentukan Federasi Malaysia mendapat protes keras dari pemerintah Filipina dan sebagian masyarakat di Serawak serta Borneo Utara (Sabah). Filipina memprotes karena berpandangan bahwa wilayah Sabah masih menjadi bagian dari Kesultanan Sulu, di Mindanao, Filipina.
            Sementara itu rakyat Kalimantan Utara yang menolak bergabung dengan Federasi Malaysia melancarkan serangkaian aksi demonstrasi dan pemberontakan bersenjata. Pemberontakan tersebut dimotori Partai Rakyat Brunei pimpinan Azahari yang menghendaki kemerdekaan penuh Kalimantan Utara, lepas dari koloni Inggris, dan membentuk Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU).  
Awalnya, Indonesia memandang gagasan pembentukan Federasi Malaysia sebagai persoalan internal Malaysia, Singapura dan Borneo Utara. Namun, setelah melihat peran Inggris yang demikian dominan yang disertai pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran, Indonesia berbalik menentang pembentukan federasi. Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1962 menyebutnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri RI Soebandrio menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bermusuhan dengan Malaysia.
            Guna menyelesaikan masalah sengketa wilayah, Presiden Filipina Diosdado Macapagal berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Manila antara tanggal 7-11 Juni 1963. KTT tersebut dihadiri Presiden Soekarno (Indonesia), PM Tenku Abdul Rahman (Malaya), dan Presiden Macapagal (Filipina). KTT Manila menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila Accord yang ditandatangani tanggal 31 Juli 1963. Salah satu pasal dalam Manila Accord menyebutkan hak penentuan nasib sendiri atau referendum di wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Adapun pelaksanaan dan hasilnya diserahkan kepada PBB. Namun, belum lagi tim bentukan PBB bekerja, secara sepihak Malaysia dan Inggris mengumumkan deklarasi Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963.
Tindakan sepihak tersebut, dipandang Indonesia sebagai pengingkaran terhadap kesepakatan damai Manila Accord. Akhirnya, terjadilah pergeseran pasukan secara masif di perbatasan Indonesia-Malaysia, baik disekitar Selat Malaka maupun Kalimantan. Sementara itu, masyarakat dari dua belah pihak pun turut “memanaskan” suhu konfrontasi. Demonstrasi kerap terjadi di sekitar kedutaan besar masing-masing.  Puncaknya, tanggal 21 September 1963 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Penyerangan dan penghinaan terhadap lambang negara RI (Garuda Pancasila) di Kedubes RI di Kuala Lumpur membangkitkan kemarahan Presiden Soekarno. Melihat kian meredupnya peluang penyelesaian secara diplomatik, akhirnya tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno dalam rapat raksasa di Jakarta mengumandangkan Komando Dwikora, yang berbunyi: (1) Perhebat ketahanan revolusi Indonesiadan (2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.
              Komando Dwikora menjadi puncak dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia. Berbagai angkatan berbenah untuk menindaklanjuti Komando Dwikora ini. Salah satunya adalah KKO-AL. Sebagai salah satu pasukan berkualifikasi khusus, KKO-AL secara simultan melaksanakan serangkaian latihan operasi yang bersifat khusus pula seperti infiltrasi, demolisi, sabotase, gerilya, dan antigerilya, serta operasi intilijen dan perang hutan. Latihan infiltrasi, gerilya, dan perang hutan menjadi fokus utama mengingat kondisi medan Kalimantan sebagian besar  berupa  bukit-bukit berlembah yang diselimuti hutan rimba lebat. Sementara untuk menghadapi medan operasi di sekitar Selat Malaka, KKO-AL menambahkan serial latihannya dengan materi renang tempur, infiltrasi, dan sabotase melalui laut.
           Guna menjaring prajurit-prajurit yang memenuhi standar tersebut, KKO-AL melaksanakan serangkaian seleksi personel. Janatin, yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO-AL setelah bertugas dari Irian Barat, berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor, selama satu bulan pada bulan April 1964. Adapun materi pendidikan meliputi intelijen dan kontra-intelijen, sabotase, demolisi, gerilya, dan sebagainya. Pelatihan khusus ini dikomandani Mayor KKO Budi Prayitno dan Letnan KKO Harahap sebagai wakilnya. Setelah lulus dari pendidikan khusus di Cisarua, Prako II Janatin kemudian ditempatkan di OperasiA/Koti, di Pulau Sambu.
      Untuk memperkuat Operasi A/Koti, KKO-AL mengerahkan sekitar 300 personel mulai dari pangkat perwira hingga kopral. Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Ops. A selanjutnya dibagi menjadi beberapa tim dengan sandi Brahma dan berada di bawah kendali dua basis. Basis II bertugas mengkoordinasikan operasi di Semenanjung Malaya dan Basis VI bertugas di wilayah Kalimantan Utara.
Janatin bertemu dengan Tohir dan Gani bin Arup di Pulau Sambu karena berada dalam satu kesatuan, yaitu Tim Brahma I yang dipimpin Kapten KKO Paulus Subekti.  Janatin, Tohir, dan Gani mendapat tugas yang sama yakni melakukan infiltrasi sekaligus mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris di Singapura.
    Saat memperoleh perintah untuk melaksanakan infiltrasi dan kegiatan intelijen ke wilayah Singapura, Janatin ditunjuk sebagai Komandan Tim, karena dinilai lebih senior dan memiliki pengalaman kemiliteran. Namun kelemahannya, Janatin “buta” dengan situasi Singapura. Tohir, justru sebaliknya, sangat paham dengan situasi Singapura, bahkan hafal gang-gang kecilnya. Oleh sebab itu, Janatin banyak memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.
Guna mengelabui agen-agen rahasia atau informan Inggris dan Malaysia, Janatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said. Bersama dengan Gani bin Arup, Usman dan Harun menyamar sebagai pedagang yang kerap hilir mudik dengan menggunakan perahu kecil. Dengan berkedok pedagang keliling, ketiganya banyak mendapatkan keterangan serta leluasa melakukan pengintaian di beberapa objek vital. Ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan kembali ke basis dengan selamat sebanyak dua kali. Di basis Sambu inilah, didiskusikan beberapa titik sasaran beserta kemungkinan dampaknya.
Pada tanggal 9 Maret 1965, ketiga prajurit komando ALRI tersebut berhasil masuk ke tengah kota Singapura. Dengan pertimbangan yang matang, ketiganya lalu sepakat bahwa sasaran utama mereka adalah gedung megah yang terletak di Orchard Road dan tidak jauh dari Istana Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House. Disinlah bom meledak pada tanggal 10 Maret 1965. Ledakan tersebut merusak beberapa bangunan dan menewaskan 6 orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka.
Mereka lalu berencana kembali ke pangkalan. Meskipun berhasil menyamar dengan menaiki Kapal Begama yang hendak menuju Bangkok, namun mereka ketahuan oleh pemilik kapal dan disuruh untuk meninggalkan kapal esok harinya. Saat diturunkan, mereka mendapati sebuah sebuah motor boat yang dikemudikan seorang Tionghoa. Keduanya lalu nekad merampas morot boat tersebut dan membawanya berlayar menuju Pulau Sambu. Malang di tengah perjalanan mesin kapal tiba-tiba macet sehingga terombang-ambing di laut. Akhirnya pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965 keduanya ditangkap patroli polisi perairan Singapura.
Setelah melalui proses identifikasi dan diketahui sebagai anggota KKO-AL, Usman dan Harun kemudian diajukan ke pengadilan tanggal 4 Oktober 1965. Hakim J. Chua menolak mengategorikan mereka sebagai tawanan perang, dengan alasan tidak mengenakan seragam militer. Pada tanggal 20 Oktober 1966, pengadilan berdasarkan Pasal 302 Penal Code 119 menjatuhkan hukuman gantung sampai mati. Upaya banding dari dua prajurit KKO-AL menemui jalan buntu, bahkan ketika diajukan Privy Council di London tidak membuahkan hasil. Pada tanggal 12 Mei 1968, Privy Council  secara resmi menolak banding, tanpa proses persidangan sama sekali.
      Sementara itu, situasi politik Indonesia menjelang akhir tahun 1965 juga terjadi perubahan yang signifikan. Era kepemimpinan Soekarno beralih ke Soeharto sejak tahun 1967. Dengan demikian upaya pembebasan Usman dan Harun kini beralih Presiden Soeharto. Peralihan kekuasaan itu membuka babakan baru dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Di bawah kepemimpinan Soeharto dengan rezim Orde Barunya, dilakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia dan Singapura. Republik Singapura sendiri resmi memperoleh kemerdekaan dari Imggris tanggal 9 Agustus 1965.
    Pada tanggal 15 Oktober 1968, Presiden Soeharto mengirim utusan pribadinya Brigjen TNI Cokropranolo ke Singapura untuk menemui Presiden Singapura Yusof bin Ishak dan Perdana Menteri Lee Kwee Yew. Namun, pemerintah Singapura tetap menolak permintaan pembebasan atau keringanan hukuman Usman dan Harun. Pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 1968 pukul 18.00 pemerintah Singapura mengumumkan pelaksanaan hukuman mati tetap dilaksanakan esoknya, tanggal 17 Oktober 1968.
     Saat itulah, para pejabat negara Indonesia tersebut terkagum-kagum melihat ketabahan dan keteguhan dari dua prajurit KKO-AL itu. Tidak terlihat perasaan takut atau putus asa sedikitpun walau hukuman gantung telah menanti mereka. Usman dan Harun tetap dieksekusi gantung pada tanggal 17 Oktober 1968 pukul 06.00 di penjara Changi, Singapura.
Setelah pelaksanaan eksekusi, utusan pemerintah Indonesia Dr. Ghafur dibantu empat pegawai KBRI mengurus jenazah keduanya. Meskipun dipersulit akhirnya, jenazah baru dapat diterbangkan ke Indonesia pada pukul 14.00 dengan menggunakan pesawat dari TNI AU. Pemakaman Usman dan Harun dilakukan dalam sebuah upacara militer pada tanggal 18 Oktober 1968 pukul 13.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur Upacara Letnan Jenderal TNI Sarbini. Keduanya dimakamkan berdampingan sesuai keinginan mereka sebelum meninggal.
         Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti. Kemudian, sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka, pangkat Janatin alias Usman bin Haji Muhammad Ali dinaikkan menjadi Sersan Satu (Anm) KKO-AL dan pangkat Tohir alias Harun bin Said dinaikkan menjadi Kopral (Anm) KKO-AL.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia secara resmi dibuka kembali pada tanggal 31 Agustus 1967 tepat hari ulang tahun kemerdekaan Malaysia yang ke sepuluh. Dibukannya kembali hubungan diplomatic ini menunjukkan berakhirnya konfrontasi yang telah dilakukan selama ini. Ketegangan dengan Singapura mereda praktis setelah kunjungan PM Lee Kuan Yew ke Indonesia. Ketika akan berkunjung ke Indonesia pada tahun 1973, Presiden Soeharto mempersilahkan kunjungan PM Lee Kuan Yew, tetapi dengan satu syarat, yaitu ia harus melakukan ziarah ke makam pusara kedua Pahlawan Nasional tersebut di TMP Nasional Kalibata. Entah apa yang dipikirkan PM Singapura itu, dengan tangannya sendiri ia mau meletakkan karangan bunga di atas makam kedua pahlawan itu. Sejak kunjuangan PM Lee Kuan Yew ke makam Sertu KKO-AL (Anm) Usman Janatin dan Kopral KKO-AL (Anm) Harun tersebut, praktis hubungan kedua negara kembali menjalani babak baru.[]
Untuk Memesan BUKU USMAN JANATIN, Silahkan hubungi DISINI.