Sunday, December 20, 2020

Asal Usul Nama Desa Wirasaba

Pamali Adipati Wirasaba

arifsae.com - Wirasaba merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas yang mengelilingi Desa Wirasaba yakni sebelah Utara dengan Desa Tidu, Selatan dengan Desa Kedawung, Timur dengan Desa Kemangkon dan Barat dengan Desa Purwareja Klampok.


Dari beberapa sumber yang penulis cari, sejarah Desa Wirasaba terkenal dengan mitosnya daripada fakta sejarahnya. Adapun mitos yang penulis tulis yakni mengenai kepercayaan orang Wirasaba untuk tidak berpergian pada Hari Sabtu Pahing, memakan Daging Angsa atau Entog, jangan menempati atau membuat rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk abang cerita lengkapnya sebagai berikut : 


Konon pada zaman dahulu, tepatnya pada pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargahutama I menikahkan putrinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah dengan Bagus Sukra yang merupakan anak dari Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Setelah beberapa bulan menikah, mereka saling bertengkar karena merasa tidak cocok. Sang Putri tidak bersedia lagi melakukan kewajiban sebagai seorang istri.


Bagus Sukra tidak tahan lagi menghadapi sikap istrinya itu, akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puteranya itu diterima oleh ayah handanya Ki Gede Banyureka dengan hati kesal. Ki Gede Banyureka menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba Wargahutama I tidak bisa membimbing putranya. Hati yang kesal itu kemudian mulailah berubah menjadi dendam yang bersarang dalam hati Ki Gede Banyureka.


Kadipaten Wirasaba merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang. Pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang) memerintahkan kepada para Adipati di seluruh kadipaten kekuasaannya untuk menyerahkan upeti berupa seorang gadis yang masih suci untuk dijadikan pelara-lara atau penari kesultanan. 


Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upeti seorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wirasaba Wargahutama I menyerahkan Rara Sukartiyah (putrinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan Hadiwijya bahwa putrinya itu masih dalam keadaan suci. Setelah selesai menghanturkan putrinya, segera ia beranjak meninggalkan pendopo kesultanan. Tak lama kemudian, datanglah Ki Gede Banyureka bersama dengan putranya Bagus Sukra menghadap Sultan Hadiwijaya. Mereka mengatakan bahwa Rara Sukartiyah sebenarnya adalah istri Bagus Sukra .


Mendengar laporan tersebut, murkalah Sultan Hadiwijaya karena merasa dirinya telah dibohongi dan dihina oleh Adipati Wirasaba Wargahutama I. Tanpa berfikir panjang Sultan Hadiwijaya langsung mengutus prajurit untuk memburu dan membunuh Adipati Wirasaba Wargahutama I yang belum lama meninggalkan kesultanan.


Setelah Ki Banyureka beserta putranya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah untuk dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi istri Bagus Sukra, tetapi sejak menikah dia belum pernah berhungan badan dengan Bagus Sukra yang berarti Rara Sukartiyah masih dalam keadaan suci.


Mendengar penjelasan Rara Sukartiyah tersadarlah Sultan Hadiwijaya, bahwa keputusan yang telah diambilnya salah karena terlalu tergesa – gesa dan disertai amarah yang membara. Oleh karena itu, ia mengutus prajurit lagi untuk menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan diberikan kepada Adipati Wirasaba Wargahutama I oleh utusan pertama.


Sementara itu, perjalanan Adipati Wirasaba Wargahutama I sudah sampai di Desa Bener. Mereka beristirahat di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah ponggok) sambil menikmati hidangan nasi daan lauk daging angsa. Tiba – tiba datanglah seorang prajurit dari Kesultanan Pajang dengan tombak di tangannya siap untuk membunuh Adipati Wirasaba Wargahutama I. 


Tentu saja sikap prajurit Kesultanan Pajang menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba Wargahutama I. Bersamaan dengan itu, dari kejauhan terdengar suara orang berteriak. Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara, terlihat bahwa utusan kedua melambaikan tangan memberikan isyarat kepada utusan pertama. Prajurit pertama berfikir bahwa lambaian tangan itu sebagai tanda agar dia cepat – cepat membunuh Adipati Wirasaba Wargahutama I. Tanpa berfikir panjang, prajurit pertama segera menusukan tombak ke dada Adipati Wirasaba Wargahutama I. Adipati Wirasaba Wargahutama I pun jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan pada Hari Sabtu Pahing.


Mengetahui bahwa lambaian tangan yang diisyaratkan oleh prajurit kedua merupakan peringatan bahwa pembunuhan Adipati Wirasaba Wargahutama I itu dibatalkan. Akhirnya, kedua prajurit itupun menyesal seperti nasi yang telah menjadi bubur, orang yang telah meninggal pun tidak dapat hidup lagi. Kedua prajurit utusan Sultan Hadiwijayapun meminta maaf kepada pengikut Adipati Wirasaba Wargahutama I dan segera kembali ke Kesultanan Pajang.


Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wirasaba Wargahutama I sempat memberi pesan kepada orang – orang Banyumas khususnya orang Wirasaba untuk tidak berpergian pada Hari Sabtu Pahing, memakan daging angsa atau entog, jangan menempati atau membuat rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Dikarenakan menurut kepercayaan orang Wirasaba dapat mendatangkan malapetaka. 


Selain itu, Adipati Wirasaba Wargahutama I juga berpesan agar orang Wirasaba tidak menikah dengan orang Toyareka karena pernikahan tersebut tak akan langgeng atau berlangsung lama dan selalu dipenuhi masalah tuturnya.


Pesan tersebut juga dijadikan sebuah prasasti pada makam Adipati Wirasaba Wargahutama I yang berada di Desa Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara dan menjadi kepercayaan turun – temurun masyarakat Banyumas. Namun, kepercayaan itu kini sudah semakin menipis karena pola pikir masyarakat yang semakin modern dan menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan demi suksesnya pembangunan nasional.


Sumber Referensi :

Wawancara kepada Bapak Hadi Sunarso, pada tanggal 10 November 2016.

http://seputarpurbalingga.blogspot.co.id/2011/09/babad-purbalingga-adipati-wirasaba.html., diakses tanggal 4 November 2017.

Ditulis Rizki Meilani

UNTUK MEMBELI BUKU ASAL USUL 80 NAMA DESA PURBALINGGA DISINI