Tuesday, July 11, 2017

Usman dan Harun, Pahlawan Kebanggaan Nasional (2)

arifsae.com - Masih seputar Konfrontasi dengan Malaysia, tulisan ini masih mengangkat sosok Usman Janatin dan Harun Tohir. Tulisan ini melanjutkan tulisan pertama yang bisa di baca DISINI. Selamat membaca...
KRI Usman-Harun
Terbentuknya Federasi Malaysia
Pasca perang dunia Kerajaan Inggris sebagai pihak yang turut menandatangani Piagam Atlantik tanggal 14 Agustus 1941 berencana melakukan dekolonisasi atas daerah-daerah jajahannya. Salah satu poin penting dalam Piagam Atlantik adalah semua bangsa memiliki hak menentukan nasibnya sendiri, itulah yang mendasari keluarnya kebijakan dekolonisasi. Meskipun demikian, pada praktiknya tak dipungkiri bahwa Inggris tak menghendaki hilangnya sumber-sumber devisa mereka begitu saja. Walaupun beberapa wilayah jajahannya telah diberi kemerdekaan namun Inggris tetap mengikat mereka dalam simpul Persemakmuran (Commonwealth).

Daerah bekas kolonial Inggris di Asia Tenggara yang akan dilakukan proses dekolonisasi adalah Federasi Malaya serta daerah yang terkenal sebagai Federasi 3 S yaitu Singapura, Serawak, dan Sabah. Inggris berencana menyatukan Semenanjung Malaya dengan Borneo bagian utara dan Singapura dalam sebuah negara federasi. Gagasan menyatukan koloninya di Asia Tenggara tersebut pernah dikemukakan oleh Malcolm Mac Donald, Komisaris Tinggi Kerajaan Inggris di Asia Tenggara, tahun 1949, namun saat itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah kerajaan. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Inggris memberikan kemerdekaan kepada Federasi Malaya, sementara Singapura, Sabah dan Serawak tetap berstatus koloni Inggris.

Perkembangan politik yang signifikan berlangsung di Singapura saat Partai Aksi Rakyat atau Peoples Action Party (PAP) memenangkan pemilihan umum. Singapura berhasil memiliki pemerintahan sendiri dalam Persemakmuran dengan Lee Kuan Yew sebagai perdana menteri pertamanya pada tanggal 3 Juni 1959. Selain itu, Singapura aktif memperjuangkan agar Federasi 3 S memperoleh kemerdekaan dari Inggris.

Sikap Singapura tersebut dipandang merugikan Federasi Malaya, terutama dari aspek ekonomi dan pertahanan. Oleh sebab itu Federasi Malaya berupaya keras “menjegal” terbentuknya Federasi 3 S dengan mendesak Inggris agar segera merealisasi penggabungan koloni-koloninya di Singapura dan Borneo Utara dengan Federasi Malaya sehingga menjadi Federasi Malaya. Tuntutan tersebut tersirat dalam pernyataan Yang Dipertuan Agung Malaya Tunku Abdul Rahman di hadapan wartawan di Singapura tanggal 27 Mei 1996, yakni: “Malaya today as nation realize that she cannot stand alone. Malaya must have an understanding with Britain and the peoples of the territories of Singapore, North Borneo, and Serawak.” (Douglas Hyde: 30)

Pemerintah Inggris dan negara-negara Blok Barat lainnya yang merasa khawatir dengan perkembangan kekuatan komunisme di Indonesia, menyetujui gagasan tersebut yang dipandangnya sebagai strategi pembendungan. Keputusan pembentukan Federasi Malaysia mendapat protes keras dari pemerintah Filipina dan sebagian masyarakat di Serawak serta Borneo Utara. Filipina memprotes karena berpandangan bahwa wilayah Sabah merupakan bagian dari Kesultanan Sulu, di Mindanao.

Sementara itu rakyat Borneo Utara yang menolak bergabung dengan Federasi Malaysia melancarkan serangkaian aksi demonstrasi dan pemberontakan bersenjata. Pemberontakan tersebut dimotori Partai Rakyat Brunei pimpinan Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud yang menghendaki kemerdekaan penuh Borneo Utara, lepas dari koloni Inggris, dan membentuk Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU). Pada tanggal 8 Desember 1962, sayap militer Partai Rakyat Brunei, yaitu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU), melancarkan serangan ke ibukota Brunei dan berusaha menangkap Sultan Brunei, Omar Ali Saifuddien III. Namun serangan tersebut digagalkan militer Inggris yang mengerahkan kesatuan Gurkhanya. Sebagian pendukung TNKU termasuk Azahari melarikan diri ke wilayah Indonesia. Walaupun mendapat tentangan keras dari sebagian besar rakyat Serawak dan Borneo Utara serta Singapura, namun pembentukan Federasi Malaysia tetap dilaksanakan dan diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.

Komando Dwikora
Awalnya, Indonesia memandang gagasan pembentukan Federasi Malaysia sebagai persoalan internal Malaysia, Singapura dan Borneo Utara. Indonesia sama sekali tidak memiliki ambisi menjadikan Sabah dan Serawak sebagai provinsinya. Namun setelah melihat peran Inggris yang demikian dominan yang disertai pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran, Indonesia berbalik menentang pembentukan federasi. Kekuatan militer Inggris yang dikerahkan Komando Inggris Timur Jauh (British Far East Command) ke Borneo merupakan yang terbesar setelah Perang Dunia Kedua. Presiden Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1962 menyebutnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris di Asia Tenggara. Berakhirnya konfrontasi Trikora, memungkinkan Indonesia mengalihkan kekuatan militernya ke wilayah Kalimantan dan Sumatera yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri RI Subandrio menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bermusuhan dengan Malaysia.

Kemudian guna menyelesaikan masalah sengketa wilayah, Presiden Filipina Diosdado Macapagal berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi di Manila antara tanggal 7-11 Juni 1963. KTT tersebut dihadiri Presiden Sukarno (Indonesia), Tunku Abdul Rahman (Malaysia), dan Macapagal (Filipina). Meskipun Presiden Sukarno menempuh jalur diplomatik untuk menyelesaikan permasalahan di bagian utara wilayah NKRI tersebut, namun tudingan dari Malaysia, Brunei, dan Inggris akan keterlibatan sukarelawan Indonesia dalam konflik di Borneo Utara membuatnya marah besar. Tanggal 27 Juli 1963, Presiden Sukarno mengumumkan akan “mengganyang Malaysia” jika federasi terbentuk. KTT Manila menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila Accord yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno, Tunku Abdul Rahman, dan Presiden Macapagal tanggal 31 Juli 1963. Salah satu pasal dalam Manila Accord menyebutkan hak penentuan nasib sendiri atau referendum di wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Adapun pelaksanaan dan hasilnya diserahkan kepada PBB. Namun belum lagi tim bentukan PBB bekerja, secara sepihak Malaysia dan Inggris mengumumkan deklarasi Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963.

Tindakan sepihak tersebut, dipandang Indonesia sebagai pengingkaran terhadap kesepakatan damai di Manila Accord. Selain itu, Brunei juga langsung menyatakan penolakannya bergabung dalam federasi, disusul sikap serupa dari Singapura. Akhirnya, terjadilah pergeseran pasukan secara masif di perbatasan Indonesia-Malaysia baik di sekitar Selat Malaka maupun Kalimantan. Indonesia juga menyatakan akan memberikan bantuan militer kepada gerilyawan TNKU. Sementara itu, masyarakat dari dua belah pihak pun turut “memanaskan” suhu” konfrontasi. Demonstrasi kerap terjadi di sekitar kedutaan besar masing-masing. Tanggal 17 September 1963, Kedubes Indonesia di Kuala Lumpur didemo dan dirusak. Sebagai balasannya, pada tanggal 18 September 1963, Kedubes Inggris di Jakarta didemo dan dibakar pengunjuk rasa. Nasib serupa juga menimpa Kedubes Singapura dan Malaysia. Selanjutnya tanggal 21 September 1963, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Penyerangan dan penghinaan terhadap lambang negara RI (Garuda Pancasila) di Kedubes RI di Kuala Lumpur membangkitkan kemarahan Presiden Sukarno. Melihat kian meredupnya peluang penyelesaian secara diplomatik, akhirnya tanggal 3 Mei 1964 Presiden Sukarno dalam rapat raksasa di Jakarta mengumandangkan Komando Dwikora, yang berbunyi:
  1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
  2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.

Komando Dwikora menjadi puncak dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dan slogan serta jargon “Ganyang Malaysia” menjadi kalimat populer saat itu. Di bawah naungan Internal Security Act (ISA) sebagai payung hukum, Malaysia juga tak kalah garangnya dalam menghadapi anacaman Indonesia. Sejumlah warga keturunan Indonesia yang dicurigai sebagai agen rahasia dan infiltran ditangkap. Kemudian ketika eskalasi konflik kian meruncing, Inggris menggelar Operasi Claret antara tahun 1964 hingga 1966 dan melibatkan kesatuan-kesatuan elit seperti Gurkha, Special Air Service (SAS), Special Boat Service (SBS), serta Royal Marine Commandos. Militer Inggris yang dikerahkan ke Semenanjung Melayu, Singapura, hingga Borneo juga berasal dari negara-negara Persemakmuran, terutama Australia.

Guna mengkoordinasi kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam pelaksanaan operasi-operasi militer, Komando Tertinggi (Koti) membentuk Komando Siaga (Koga) pada bulan Mei 1964. Koga merupakan komando gabungan ABRI dan sebagai Panglima Siaga dijabat oleh Laksamana Madya Udara Omar Dhani. Sejalan dengan keputusan tersebut, Angkatan Laut RI (ALRI) membentuk Komando Armada Siaga (Koarga), Komando Operasi Khusus Armada (Koka), dan Komando Strategis Laut Siaga (Komstralaga). Kemudian untuk menghadapi kondisi   medan di sekitar  daerah  perbatasan laut,  seperti Selat  Malaka dan  Kepulauan Riau,Koti membentuk Kesatuan Operasi A/Koti yang berada di bawah Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Kesatuan Ops A/Koti menjadikan wilayah Kepulauan Riau sebagai basisnya sejak akhir tahun 1963. Pada tanggal 28 Februari 1965, Koga diganti menjadi Komando Mandala Siaga.
Persiapan  Infiltrasi ke Singapura
Sebagai salah satu pasukan berkualifikasi khusus, KKO AL secara simultan melaksanakan seranngkaian latihan operasi yang bersifat khusus pula seperti infiltrasi, demolisi, sabotase, gerilya dan antigerilya, serta operasi intilijen dan perang hutan. Latihan infiltrasi, gerilya dan perang hutan menjadi fokus utama mengingat kondisi medan Kalimantan sebagian besar  berupa  bukit-bukit berlembah  yang diselimuti hutan rimba lebat. Sementara untuk menghadapi medan operasi di sekitar Selat Malaka, KKO AL menambahkan serial latihannya dengan materi renang tempur, infiltrasi dan sabotase melalui laut.

Guna menjaring prajurit-prajurit yang memenuhi standar tersebut, KKO AL melaksanakan serangkaian seleksi personel. Djnatin, yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO, berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor, selama satu bulan pada bulan April 1964. Adapun materi pendidikan meliputi intelijen dan kontraintelijen, sabotase, demolisi, gerilya, dan sebagainya. Pelatihan khusus ini dikomandani Mayor KKO Budi Prayitno dan Letnan KKO Harahap sebagai wakilnya. Selama mengikuti pendidikan khusus ini, para siswa dibagi dalam 13 tim. Setelah lulus dari pendidikan khusus di Cisarua, Prako II Djanatin kemudian ditempatkan di Ops.A/Koti, di Pulau Sambu. Bersama rekan-rekannya, Prako II Djanatin berangkat ke basis menggunakan kapal perang jenis motor torpedo boat (MTB).

Sebagai persiapan menghadapi Dwikora, KKO AL juga memekarkan kekuatannya dengan merekrut anggota masyarakat sipil sebagai sukarelawan dan setelah lulus seleksi ditempatkan di Brigade Tempur KKO AL. Proses rekrutmen sukarelawan juga dilaksanakan di kesatuan-kesatuan ABRI lainnya dan diperkirakan lebih dari 21 juta warga negara Indonesia bergabung. Salah seorang sukarelawan yang bergabung dengan KKO AL adalah Tohir bin Mahdar.

Sebelumnya, Tohir dan sukarelawan-sukarelawan lainnya mengikuti pendidikan dan pelatihan kemiliteran selama 5 bulan di daerah Riau daratan. Pada tanggal 1 November 1964, Tohir dinyatakan lulus dan mendapat pangkat Prajurit II KKO. Setelah selesai pendidikan, Tohir dikirim ke Pulau Sambu dan bergabung kesatuan tempur Ops. A/Koti. Selama berada di Sambu, Tohir yang menngenal baik situasi Singapura, beberapa kali melakukan intelijen dengan menyamar sebagai pelayan dapur. Wajah Tohir yang mirip orang Cina dan fasih berbahasa Inggris, Cina serta Belanda sangat membantu operasi penyamarannya.

Guna memperkuat Ops. A, KKO AL mengerahkan sekitar 300 personel mulai dari pangkat perwira hingga kopral. Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Ops. A selanjutnya dibagi menjadi beberapa tim dengan sandi Brahma dan berada di bawah kendali dua basis. Basis II bertugas mengkoordinasikan operasi di Semenanjung Malaya dan Basis VI bertugas di wilayah Kalimantan Utara. Kesatuan yang berada di bawah Basis II, adalah Tim Brahma I berkekuatan 45 personel, Tim Brahma II 50 personel, Tim Brahma III 45 personel, dan Tim Brahma V 22 personel. Sementara itu, kesatuan yang ditempatkan di bawah Basis VI adalah Tim Brahma IV yang disebut juga sebagai Satuan Tugas Intelijen 104.

Basis II selanjutnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub-basis, yaitu Sub-basis X berpangkalan di Pulau Sambu dan Pulau Rengat dengan sasaran operasi Singapura, Sub-basis T di P. Rupat dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor, Kuala Lumpur dan sekitarnya, Sub-basis Y di Tanjung Balai dengan sasaran Johor bagian barat, dan Sub-basis Z di P. Bintan dengan sasaran Johor bagian timur. Pasukan KKO AL ditempatkan di Sub-basis X, T, dan Y. Tugas utama Basis II adalah mempersiapkan kantong-kantong gerilya di wilayah musuh, melatih gerilyawan membantu dan membantu infiltrasii ke daerah masing-masing, melaksanakan demosili dan sabotase atas objek-objek militer, melancarkan peperangan propaganda, perang urat syaraf, dan klandestin, menghimpun informasi, serta melancarkan operasi kontraintelijen.

Prako II Djanatin bertemu dengan Prako II Tohir dan Gani bin Arup di P. Sambu karena berada dalam satu kesatuan, yaitu Tim Brahma I yang dipimpin Kapten KKO Paulus Subekti. Saat itu, Kapten Paulus Subekti menyamar dengan pangkat Letnan Kolonel KKO dan merangkap sebagai Komandan Sub-basis X. Djanatin, Tohir, dan Gani mendapat tugas yang sama yakni melakukan infiltrasi sekaligus mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris di Singapura. 
Sumber dari Info Historia Buletin Sejarah TNI AL dan Kemaritiman. Bersambung..DISINI.