Sumber Gambar |
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang berpusat pada sikap individu yang bebas, dimana
dalam kebebasannya individu harus bertanggung jawab atas apa yang menjadi
pilihannya. Kebebasan yang dimaksud adalah memilih mana yang menurutnya benar
dan mana yang menurutnya salah. Kebenaran hukumnya relatif sehingga manusia itu
berhak memilih sebagai seorang eksintesialis tersebut.
Eksistensialisme
muncul sebagai akibat dari pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi
atau cara manusia itu berada, dengan konsep yang dia miliki sebagai manusia
yang bebas dalam menentukan keberadaannya,manusia bebas menentukan sebuah
pilihan atas dasar pemikirannya sendiri. namun menjadi eksistensialis bukan berarti
menjadi manusia yang berbeda dari yang lain sadar bahwa keberadaan dunia
merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat
sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme.
Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang
kebenaran absolut yang sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran
merupakan kebenaran manusia yang relatif
dan hal itu berarti tidak ada kepastian universal. Hal inilah yang
menyebabkan filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus
pada pendekatan relatif mengenai
kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut
pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan
pada sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya, eksistensialisme memfokuskan diri pada aksiologi.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat
antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan
manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu
bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf
eksistensialis yang sangat terkenal.
Bagaimana
eksistensialisme sebagai filsafat mempengaruhi teori dan praksis pendidikan?
Inilah pertanyaan penting yang akan dibahas dalam makalah ini, dengan
memfokuskan terlebih dahulu pada sifat dasar eksistensialisme,kemudian
dilanjutkan dengan implikasi eksistensialisme dalam pendidikan.
1.
Latar
belakang eksistensialisme
Eksistensialisme adalah salah satu pendatang baru dalam
dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX.
Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih dekat dengan sastra dan seni daripada
filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensialisme memusatkan
perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Eksistensialisme tidak harus dipandang sebagai sebuah
aliran filsafat dalam arti yang sama
sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya. Eksistensialisme mempunyai ciri:
- penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat
tertentu;
- tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran
keyakinan (agama)
- sangat tidak
puas dengan sistem filsafat
tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme
adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui
sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang
individual yang mempunyai tujuan.
Eksistensialisme
berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche
(1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme
dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba
merevitalisasi ajaran Kristen dari dalam
dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi.
Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan
memperkenalkan ajarannya tentang superman
(manusia super).
Eksistensialisme
telah berpengaruh khususnya sejak
perang dunia II. Pencarian kembali
akan makna menjadi penting dalam dunia
yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang
dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu
bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi
sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang
mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas
terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara
eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus.
Sebagai
pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada
masalah filsafat dan belum begitu
eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan
pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van
Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi
memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
2. Posisi filsafati Eksistensialime
a. Realitas sebagai eksistensi
Eksistensi
individu merupakan fokus utama pemikiran eksistensialisme terhadap realitas.
Eksistensialisme dikontraskan dengan pernyataan kaum neo-skolastik yang
menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya dengan waktu.
Contohnya, beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai Pencipta segala
sesuatu – termasuk manusia. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia berkata bahwa
Dia telah mempunyai ide tentang manusia (esensi manusia) dalam pikiranNya
sebelumnya mewujudkannya. Sebaliknya, kaum eksistensialis berpegang pada
pendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dulu, baru kemudian ia
berusaha untuk menentukan apa yang menjadi esensinya atau keapaannya. Ia
berhadapan dengan pertanyaan: “Siapakah saya ini?” dan “Apa makna eksistensi ?”
dalam dunia yang justru tidak memberikan jawaban. Tindakan sehari-hari
kehidupan manusia itu adalah proses mencari esensi tersebut. Karena melalui kehidupan itulah ia membuat
pilihan-pilihan dan menentukan pilihan
yang disukai dan yang tidak Melalui
aktivitas ini ia menyadari bahwa ia seorang individu. Melalui proses ini ula ia
sampai pada kesadaran bahwa ia telah memilih untuk berada (menjadi). Ia
berhadapan dengan eksistensi dan bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya
tersebut.
b. Kebenaran sebagai pilihan
Manusia
adalah pusat otoritas epistemologis dalam eksistensialisme – artinya manusia di
sini bukan manusia sebagai satu spesies,
melainkan manusia sebagai individu yang kongkrit, meruang dan mewaktu. . Makna
dan kebenaran tidak ditentukan dari dan untuk
alam semesta, justru manusia
itulah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagaimana kodratnya. Manusia
mempunyai hasrat untuk percaya kepada makna eksternal dan hasilnya ia
menentukan sendiri untuk percaya kepada apa yang ingin dipercayainya.
Karena
eksistensi mendahului esensi, maka pertama harus ada manusianya dahulu baru
kemudian ada ide-ide yang diciptakannya. Semua tergantung pada manusia
individual itu dan ia sendiri yang membuat putusan terakhir tentang apa itu
kebenaran.Oleh karena itu, kebenaran dapat dilihat sebagai pilihan eksistensial
yang tergantung pada otoritas individu.
c. Nilai-nilai dari si individu
Fokus
filsafat eksistensialis adalah dalam aksiologi yang membedakannya dengan
filsafat tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat dikatakan bahwa
“metafisika” eksistensialisme diwakilkan dengan kata “eksistensi” dan konsep epistemologinya adalah “pilihan”.
Oleh karena itu kedua konsep ini membawa manusia eksistensialis memfokuskan
diri pada aktivitas kehidupan dan perhatian filsafatnya diikat dalam lingkup
aksiologi individual sebagai seorang penentu eksistensialis.
Jika
manusia ingin menjadi benar-benar autentik, maka ia harus hidup secara
bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat yang tidak disenangi
bagi seseorang yang bertindak di luar aturan etik tidak begitu dipermasalahkan
dalam pandangan eksistensialis. Adalah penting untuk berbuat tanpa
memperhatikan akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan tindakan yang
tidak bertanggung jawab. Kaum
eksistensialis melihat tidak ada ketegangan setelah kematian. Lawan kematian
adalah kehidupan, dan kehidupan bagi mereka mengharuskan derajat ketegangan sebagai seorang
pribadi karena pribadi tersebut
bertindak berdasar hukum etiknya
sendiri.
Pandangan
eksistensialis tentang estetika dapat digambarkan sebagai sebuah penolakan
terhadap standar umum. Masing-masing individu adalah pengadilan tertinggi dalam memandang tentang apa yang indah. Tidak seorang pun yang dapat membuat
keputusan bagi individu yang lain. Apa yang indah bagi saya adalah indah dan
siapa yang dapat menentang saya?. Dengan demikian keakuan sangat ditonjolkan
baik dalam etika maupun dalam estetika. Ukuran perbuatan adalah kebebasan memilih dengan konsekuensi
pertanggungjawaban atas pilihan tersebut.
3. Beberapa Pemikiran Filsuf
Eksistensialis
a.
Gabriel Marcel (1889 – 1978)
Marcel
adalah filsuf Perancis yang bertitik tolak dari eksistensi. Sudah sejak tahun
1925, sebelum Kierkegaard dan filsuf eksistensialis lain membicarakan eksistensi,
Marcel telah menulis artikel yang berjudul Existence et objectivite
(Eksistensi dan Objektivitas). Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan
objektivitas dan tidak pernah dapat dijadikan objektivitas. Eksistensi adalah
situasi kongkrit saya sebagai subjek dalam dunia. Misalnya, saya ini warga
negara Indonesia, wanita setengah baya, mempunyai watak tertentu, berasal dari
golongan sosial tertentu, mendapatkan pendidikan tertentu, dst. Pendeknya,
eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor kongkrit –
kebanyakan kebetulan – yang menandai hidup saya.
Yang
khas bagi eksistensi adalah saya (sebagai subjek) tidak menyadari situasi saya
itu. Artinya, saya tidak menginsyafi apa artinya eksistensi saya itu dalam
dunia ini. Baru dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain, beberapa
manusia akan berhasil lebih jelas menyadari situasi mereka yang sebenarnya.
Dalam arti inilah eksistensi berarti lapangan pengalaman langsung, wilayah yang
mendahului kesadaran, eksistensi adalah “taraf hidup begitu saja” tanpa
direfleksi. Tetapi, supaya hidup saya dalam dunia mencapai arti yang
sepenuhnya, perlu saya tinggalkan taraf prasadar itu dan menuju ke
kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap
sebagai nasib saya, saya perlu beralih ke suatu kesadaran yang betul-betul saya
terima secara bebas. Dengan kata lain dari eksistensi saya harus menuju ke
Ada.
b. Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Titik
tolak filsafat tidak bisa lain, kecuali cogito
(kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri). Dalam hal ini ia
membenarkan pendapat Descartes tentang cogito
ergo sum. Tetapi kesadaran itu tidak bersifat tertutup, melainkan
intensional (menurut kodratnya terarah pada dunia). Hal ini dirumuskan oleh
Sartre demikian: Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri
ini tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya. Cogito bukanlah pengenalan dirim melainkan
kehadiran kepada dirinya secara non-tematis.
Jadi ada perbedaan antara kesadaran tematis (kesadaran akan sesuatu) dan
kesadaran non-tematis (kesadaran akan dirinya). Kesadaran akan dirinya
membonceng pada kesadaran akan dunia. Jadi kesadaran atau cogito ini menunjuk
pada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadirian (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya ini merupakan syarat
yang perlu dan mencukupi untuk kesadaran. Kita tidak perlu membutuhkan suatu
Subyek Transendental atau Aku Absolut sebagaimana diajarkan idealisme.
Kesadaran
tidak dapat disamakan dengan Ada, karena Sartre berpendapat Ada itu transenden
(ada begitu saja). Ada yang demikian ini disebutnya Etre-en soi (being in itself), tidak aktif, tidak pasif, tidak
afirmatif, tidak negatif, tidak mempunyai masa silam, masa depan maupun tujuan,
tidak diciptakan dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain.
Berbeda
halnya dengan etre-pour-soi (being for
itself) atau Ada bagi dirinya yang menunjukkan kesadaran. Kalau saya sadar
akan sesuatu berarti saya bukan sesuatu itu atau saya tidak sama dengan sesuatu
itu. Saya melihat lukisan berarti saya sadar bahwa saya bukan lukisan. Jadi,
untuk dapat melihat sesuatu diperlukan syarat mutlak: adanya jarak. Contoh
lain, saya sedang mengetik, berarti saya sadar bahwa saya orang yang sedang
mengetik, tetapi saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang
mengetik. Artinya, saya bisa berhenti mengetik dan menggantinya dengan
berjalan-jalan atau membaca koran. Jadi, negativitas merupakan ciri khas dari etre-pour soi. Kesadaran berarti distansi dan non-identitas.
Kesadaran berarti sama dengan kebebasan.
Dengan
kesadaran manusia sanggup mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Manusia
adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour soi adalah “menidak” Ketiadaan tidak terdapat di luar
Ada. Ketiadaan terus-menerus menghantui Ada. Ada tidak dapat dilepaskan
darinya. Dan adanya etre-pour soi
adalah “menidak”, menampilkan ketiadaan itu.
4.
Eksistensialisme dan Pendidikan
Secara relatif, eksistensialisme
tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang
besar pada sekolah. Sebaliknya,
penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan
melalui pembangunan pendidikan. Mereka
menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan
memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau
menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern.
Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas,
sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-atribut
esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan
sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh
pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi
kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang
baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa
diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam
keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara
asli dan autentik menjadi hilang atau
sangat berkurang.
Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat
membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara
kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit
dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya
tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari
aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan paksaan. Tirani
dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya
adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya. Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi,
produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen
terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan
menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen
pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam
masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan
orang tidak akan diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya
dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut
masyarakat marjinal (Gutek, 1988:123-124).
Secara
filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu
dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya pendidikan.
Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis
dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam
merealisasikan diri secara penuh melalui bebera pernyataan berikut:
- Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup
menghindar dari kehendak hidup yang telah ada;
- Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam
menentukan tujuan hidup;
- Saya wakil yang bertanggungjawab, pribadi yang
terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani
hidup.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada
tata cara guru tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada
pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih
cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan
pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama
siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di
antara mereka yaang sama satu sama lain,
karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut
eksistensialis akan mencari hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan
sebagai acuan hubungan Buber dalam I-Thou
dan I-It. Hal itu berarti, ia akan
memperlakukan siswa secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya
secara personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas
pernyataan Rogers tentang fasilitator. Dalam
aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal
pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami
diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang
bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup,
kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan
dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan
siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan
bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap
perubahan karena ada dinamika dalam
konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif
tersebut, siswa harus memilih mata
pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan
pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.
Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum bahwa fundamen pendidikan tradisional
adalah Reading, Wraiting,
Aritmathics(Three R’s), ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua
sebagai dasar atau fondasi usaha kreatif
dan kemampuan manusia memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini
seharusnya disajikan dengan menghubungkannya secara lebih banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa.
Mereka tidak menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud
individual sebagaimana yang terjadi dalam
pendidikan tradisional.
Ilmu humaniora juga tampak lebih luas dalam kurikulum
eksistensialis, karena mereka memberi banyak pemahaman dalam dilema-dilema
utama eksistensi manusia. Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar
penentuan pilihan manusia dalam dalam
hal seks, cinta, benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang
bermakna lainnya. Mereka menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh,
baik dari perspektif positif maupun negatif,
dan oleh karena itu ilmu mampu
menolong manusia memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora,
kurikulum eksistensialis terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang
bermakna bagi individu disepakati untuk diajarkan.
Bagi kaum eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah
kemungkinan yang tidak terbatas. Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran,
kurikulum dan pengajaran, dan menyampaikan bahwa itu semua sebagai
pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang memiliki hasrat untuk belajar.
Pilihan-pilihan ini tidak harus dibatasi pada sekolah tradisional, tetapi
mungkin ditemukan pada berbagai tipe sekolah alternatif, atau dalam praktek
bisnis, pemerintahan, dan usaha-usaha perseorangan. Ivan Illich meletakkan
empat saran untuk variasi pendidikan dalam masyarakat tanpa sekolah yang
dihargai oleh sebagian besar kaum eksistensialis.
Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar
konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan
dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis
dapat dilihat sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Carl Rogers “kebebasan
belajar” (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill: sebuah pendekatan radikal dalam
pembelajaran anak (1960).
Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh
perhatian khusus terhadap kebijakan
sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada kebebasan individual daripada aspek-aspek
sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).
KESIMPULAN
Filsafat eksistensialisme adalah cara
beradanya manusia yang khas didunia ini. Dengan kata lain kekhasan itu terletak
pada ciri keberadaan manusia. Yang mengalami “keberadaannya” itu. Oleh karena
itu. Memberikan kebebasan pada individu yang seluas-lusanya , tetapi kebebasan
itu bertanggung-jawab, dan tidak keluar dari realitas sosialnya.
Posisi filsafati Eksistensialime adalah Realitas sebagai eksistensi yaitu Manusia
ada dulu, baru kemudian ia berusaha untuk menentukan apa yang menjadi esensinya
atau keapaannya. Kebenaran
sebagai pilihan yaitu Karena eksistensi mendahului esensi, maka pertama
harus ada manusianya dahulu baru kemudian ada ide-ide yang diciptakannya. Semua
tergantung pada manusia individual itu dan ia sendiri yang membuat putusan
terakhir tentang apa itu kebenaran. Nilai-nilai
dari si individu yaitu Jika manusia ingin menjadi benar-benar autentik,
maka ia harus hidup secara bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan.
Akibat yang tidak disenangi bagi seseorang yang bertindak di luar aturan etik
tidak begitu dipermasalahkan dalam pandangan eksistensialis. Adalah penting
untuk berbuat tanpa memperhatikan akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti
membenarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Penerapan
eksistensialisme dalam pendidikan yaitu Eksistensialisme
dapat disandingkan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagaimana
diketahui bahwa pendidikan pada intinya adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Kurikulum pada sekolah
eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran,
penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa
harus memilih mata pelajaran yang terbaik.
Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler
pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.Guru-guru eksistensialis tidak
pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai
pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.Kaum eksistensialis secara umum tidak
menaruh perhatian khusus terhadap
kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada kebebasan individual daripada aspek-aspek
sosial eksistensi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Fasli Jalal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta;
Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya Nusa
Gutek,
Gerald L. 1988. Philosophical and
Ideological Perspectives on Education. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan:
Andrews University Press.
Notonagoro, 1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Penerbit Pancuran Tujuh.
Sartre. 1946. Existensialism as Humanism. Dalam
http://www.marxists.org/reference/archive/sartre. Diunduh
28 Februari 2008.
Humanism dalam http://en.wikipedia.org./wiki/Humanism.Diunduh 28 Februari
2008.