Showing posts with label SASTRA. Show all posts
Showing posts with label SASTRA. Show all posts

Saturday, December 26, 2020

Tiga Sahabat #CerpenCLCTerusan2

 


Langit pagi baru saja menurunkan hawa dingin dengan lembut, mataku segera terbuka karena otaku telah diseting untuk rutinitas seperti ini. Sebagai anak perempuan tentu tugas ku lebih banyak, mencuci kain, mengemas barang-barang yang berada di rumah, setelah semua itu selesai maka aku segera pergi ke belakang rumah untuk mengenakan seragam kerjaku bukan seragam biasa seperti orang kantoran dasi ataupun pakaian safari yang kukenakan hanya baju butut, penuh getah dan noda.

Rantang-rantang berisi nasi dan lauknya yang baru saja ku masak tidak boleh terlewatkan  selanjutnnya sepatu kerja juga parang kumasukan dalam kantung berukuran cukup besar untuk menampung semuanya, itu menandakan aku telah siap untuk pergi menuju tempat poling[1] suara mesin motor saling bersahutan satu sama lain hingga jalanan menjadi gulungan debu, debu itu harus ku tembus agar bajuku tidak kotor aku rasa setiap orang akan berpikiran sama tentang hal itu jadilah jalanan kecil seperti arena balap motor cross.

Langit pagi biasannya begitu menarik merah jingga itulah tambahan semangat untuk menatap masa depan, setelah mendengarkan arahan dari seorang mandor kami siap untuk pergi ke ladang tempat kami bekerja aku kebagian di blok 10, hal ini di tandai oleh raungan bel yang serak juga pecah-pecah, seperti suara bel sekolahku dulu tapi ini lebih keras. Tujuannya agar kami waspada mungkin, atau itu prosedur yang memang dibuat oleh perusahaan.

Sepanjang jalan  kulihat  pohon kelapa sawit berbaris rapih juga sisa-sisa pohon kelapa sawit yang dirobohkan oleh buldoser diganti dengan pohon baru. Lokasi kerjaku adalah blok-blok sawit yang mulai tua kabarnnya tahun depan nasibnnya akan sama tumbang dan digantikan oleh yang baru. Pada tempat ini aku gantungkan nasibku juga perut keluargaku, kerap rasa bosan selalu membayangi dalam setiap harinnya, namun itu dapat teratasi oleh gelak tawa dua sahabatku, oh ia.. perkenalkan namaku Jusriani orang-orang memanggilku Nani, setiap harinnya aku ditemani oleh dua sahabat sejati yang kukenal semenjak bekerja di ladang ini.

“hai,,Awal betul”

“haha…tidak juga kamipun baru sampai”

            Kedua temanku ini memang paling spesial karena mereka adalah salah satu alasan mengapa aku masih bertahan di sini. Sahabatku pertama Sumarni ia sosok perempuan cuek pada hal-hal tidak penting tapi kalau urusan sahabat ia akan paling awal untuk memberikan semangat. Tubuhnnya gepal namun rona pipinnya merah membuktikan kalau dia lebih banyak tersenyum dalam hidupnnya. Satu lagi adalah Maya Emmmm….yang jelas mahluk satu ini seperti terbuat dari radio butut maaf Maya tapi kamu tetap sahabatku, mulutnnya akan sangat cerewet mengomentari apa saja yang baru ia dengar. Telinga kami sudah dianggpnnya sebagai gantungan kunci setiap ia mendapatkan gosip baru, kami harus siap mendengarkannya bermenit-menit, namun kalau masalah perhatian kurang lebih sama dengan Marni satu hari saja aku tidak pergi kerja karena sakit satu hari juga mereka berada dirumahku untuk menghibur. Mereka memang manusia-manusia hebat yang Tuhan ciptakan dari semangat bekerja.

            Pertemanan kami sudah cukup lama ya…kurang lebih sekitar empat tahun yang lalu, blok yang luasnnya 10hektar ini adalah tempat kami berjumpa tidak hanya kerja menggosip hal-hal remeh temehpun biasannya kami buat di dalam sini.

Aku sendiri tidak paham apa itu sahabat dalam arti sebenarnnya tapi bagiku pengertian itu tidak penting, rasa yang kami pupuk untuk saling menolong dan mendengarkan cerita satu samalain ku rasa cukup untuk menggambarkan definisi dari persahabatan.

            Cuaca di sini cepat sekali berubah terkadang terang tapi beberapa menit kemudian matahari begitu terik membakar kulit, sehingga kami harus siap mengoleskan sunblock yang kami buat dengan racikan sendiri, dari bedak sehari-hari kemudina dicampur air setelah itu diusapkan pada wajah kami agar tidak terbakar matahari.

Walaupun kerja kami di tengah blok yang ter tutup oleh pohon kelapa sawit tetapi tetap saja matahari akan menerobos dari celah celah dedaunan menembus jauh ke dalam kulit kami, kami tetap perempuan. Pada kodraatnnya adalah pesolek jadi dimanpun itu kami akan selalu menjaga tubuh kami sampai-sampai pakaian kami benar tertutup, Marni pernah nyeletuk! kalau kita adalah Ninja yang bersenjatakan parang, dengan gayannya berdiri dan berlenggak lenggok.

            “Panas betul ya….”ucap Maya lalu kami mengiyakan itu adalah kode buat kami.

            Hari ini matahari memang begitu terik, di dalam blok tidak ada kamera sisi tv yang ada hanya pak Mandor itupun ia harus mengawas dibeberapa blok, jika matahari telah begitu terik maka kita akan mencari satu pohon untuk bersandar sambil mencuri-curi pandang pada daerah sekitar agar ketika mandor datang kami siap pada posisi semula.

            “ini jam berapa?”

            Maya menjawab dengan mengacungkan tangannya ke arah matahati

            “Lihat!! bayangannya sudah menujuk pada perut kita. Berarti itu tandannya kita harus…?”

            hahaha…haha” kami tertawa melihat tingkah Maya yang selalu konyol saat suasana sepi seperti ini

            Tingkah-tingkah seperti tadi telah begitu pekat tertoreh dalah hati kami masing-masing. Rasa sayang hadir begitu saja tidak dapat kami tolak. Setelah kami sepakati untuk beristirahat kami akan mencari rantang-rantang yang kami bawa tadi pagi. Parang dan sepatu bot kami tanggalkan di bawah pohon sawit, dengan cekatan  Marni menebas daun kelapa sawit untuk alas kami duduk bersila menyantap makanan.

            “Apa yang kau bawa Nani? Jangan bilang hanya goreng pisang ya!perutku lapar tadi pagi lupa masak”

            “Tenang saja hari ini aku membawa konto-konto[2] tadi pagi aku bangun cukup pagi jadi sempat membuat ini”

            Selanjutnnya kami bersila membentuk lingkaran, makanan tadi kami simpan di tengah-tengah, pastinnya itu semua agar dapat memudahkan kami untuk mengambilnnya. Biasannya kami akan begitu gesit ketika makanan telah terhidang di tengah kami apalagi si Marni dia orang paling gesit kalau berbicara masalah makanan.

            “May denger…denger kamu mau balik kampung”

            Hah…!!!” aku terkejut benar benar kaget saat marni berkata seperti itu tiba-tiba saja selera makanku hilang.

            Pantas saja Maya lebih pendiam dari biasannya ternyata ada yang ia sembunyikan dariku.

            “Betul apa kata Marni!!!?”

            “belum tahu lagi, kata mama selepas gajih ini”

            “Kenapa mendadak!”

            “sedikitpun aku tidak meminta untuk pulang Nan! Tapi mama tiba –tiba ingin pulang katannya ia sudah terlalu tua untuk bekerja di sini”

            Entah mengapa rasannya mendadak ada yang kosong menusuk bagian hatiku. Tiba-tiba suasana makan yang biasannya riang menjadi pemandangan mengharukan

            Hiks…hiks..” Marni terlihat menetskan Air mata sepertinnya air mata itu turun tanpa disadari makanan yang masih menjejali mulutnnya bercampur air mata. Semakinderas.

            “Kenapa kalian ini!,”

            Kami semua mulai terhening, aku membayangkan hari-hari tanpa Maya pasti akan ada yang kurang, aku rasa begitupun dengan Marni tempat ini tidak akan sama lagi. Maya masih asik dengan makanannya seolah tidak ingin ikut larut dengan kesedihan. Tapi! Itu semua hanya kamuflase yang ia buat aku yakin ia pun tidak menerima keputusan mamanya tapi ia hanya seorang anak yang harus menurut perkataan orang tua.

            “aku masih tidak percaya kau harus pulang! bagaimana dengan kami di sini”

            “kalian akan baik-baik saja tanpa aku, kalian pasti baik-baik saja”

            “Kenapa mudah sekali kau berkata seperti itu May!!”

            “aku yakin persahabatan kita tidak aka berakhir walaupun aku harus pulang ke Indonesia, kita akan tetap sama menjadi seorang sahabat”

            “tidak bisa begitu!!” jawabku, entah kenapa sepertinnya aku tidak menerima keputusan maya dengan mudah, ada yang mengganjal di otaku entah apa itu sepertinnya perasaan kehilangan yang teramat. Sosok maya tidak dapat digantikan oleh siapapun.

            “bukannya kaupun akan pulang?” tanya maya ada Marni

            Ada apalagi sebenarnnya ini, aku belum percaya kenapa mereka menyembunyikan semua ini padaku. Lalu dengan siapa aku harus melewati hari-hari ini.

            “Maafkan aku Nan, aku menyembunyikan ini darimu kau pasti akan sedih, akupun tidak tahu maya akan pulang, kabar ini ku dengar dari adiku, akusama terkejutnnya denganmu”

            “tetapi kenapa bisa bersamaan begitu, bagaimana denganku!!”

            Dalam keadaan ini aku tidak dapat berpikir banyak semuannya mendadak hilang lemas makanpun tak bereasa apa-apa.

*****

            Pagi yang harus kujalani dengan begitu berat, semalam aku mendapat kabar dari kampung jika aku harus pulang dengan segera karena orang tuaku sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Bagaimana dengan kawanku Jusnani, dan Maya pasti mereka tidak ingin mendengar kepulanganku begitu saja. Aku tidak ingin menambah kesedihan mereka dengan kabar orang tua ku, sebisa mungkin ini ku simpan rapat-rapat.

            Bagaimana nanti apa yang harus kukatakan pada mereka, apakah aku harus berbohong tentang semua ini! Atau biarkan saja sampai mereka benar-benar bertannya mengenai hal ini. Rasannya terlalu berat meninggalkan dua sahabat terbaik namun apa boleh buat ayah dan ibu membutuhkanku di kampung. Semoga aku dapat kembali ke sini, atau kita dapat bertemu dikesempatan lain dan berkumpul bersama.

 

*****

            “Ada apa dengan kalian semua!! kenapa merahasikannya dariku!!” entah kenapa nadaku meninggi Tuhan aku tidak ingin kehilangan mereka kenapa mereka harus pulang kampung secepat ini. Ini bukan perkara pulang kampong belaka bagiku terlebih ketatnnya aturan perusahaan mengenai kepulangan pekerjannya belum tentu mereka akan kembali ke sini.

            “mungkin jika urusanku sudah selesai aku akan segera kembali semoga saja compeni masih memberikan kesempatan” ungkap Marni kepadaku

            “Bagaimana denganmu May?”

            “sejauh ini aku belum dapat memberikan keputusan tinggal di kampung atau kembali. Keputusan orang tua lebih penting aku tidak bisa menolaknnya”

            “Nani jangan menangis,kita pasti berjumpa lagi”

Entah kenapa airmataku tiba-tiba meleleh seperti cairan lilin dibakar api. Ada rasa kesal yang menggumpal besar kenapa mereka menyembunyikan semua ini dari ku. Apa yang mereka pikirkan sebenarnnya apakah mereka tidak bisa menimbang perasaanku.

            “Nani jangan bersdih, maaf bukan maksudku untuk merahasiakan semuannya darimu, tapi aku berpikir dan memiliki keyakinan akan kembali ke sini jadi ku anggap ini hanya perpisahan sementara”

            Sosok mereka amatlah berarti bagiku, aku dapat merasakan beberapa hari kedepan selepas mereka pergi pasti kerjaku malas-malasan. Dengan siapa aku berbagi makanan bercerita tertawa. Tiba-tiba mereka memeluku begitu erat air mataku semakin deras turun seperti ada tarikan kuat gravitasi bumi. Jauh dalam hatiku lebih dalam lagi menangis membayangkannya. Akankah mereka akan kembali bersamaku atau aku yang akan mengikuti mereka pulang. Tapi sepertinnya untuk kembali ke Indonesia masih belum ada dalam benaku, keluargaku semuanya di sini. Keluargaku masih membutuhkanku.

            Matahari mulai lembut merabaku, punggungku muali terasa hangat pelukan meraka begitu erat apa yang harus kuperbuat!, hanya rindu ini yang bisa ku titipkan. Kedua sahabatku masih terus mencoba untuk menghibur. Aku tetap tidak bergeming pada khayalanku setelah mereka pergi.

            “ingat kita semua tetap sahabat kemanapun, raga kita pergi” maya mengingatkan kami hati ku mulai menerima segera ku usap air mata yang sedari tadi turun.

            “Ayo kita lanjutkan lagi Makan” Marni mencoba mengalihkan perhatian

            “ia ayo Nan, kerja kita masih banyak Nanti mandor datang kita kena semprot!”

Kami semua segera bergegas menuntaskan makan siang dan kembali bekerja, ilalang dan rumput tak bertuan terus kami tebasi dengan parang panjang andalan kami.Aku masih belum percaya. Setiap tebasan parang sepertinnya semakin berat.

            “Aku sayang Kalian Sahabatku!!” suaraku memecah sepi mereka berdua memandangiku dengan begitu tajam. Anggukan dari mereka pertanda balasan hati yang tulus. Jarak hanyalah sekat dalam ingatan, ketika hati telah merasa bermukim pada teduhnnya diri seseorang disitulah kita akan menyimpan ingatan. Tersenyum lah sahabatku pada waktu yang entah itu kapan. Kita akan tetap sahabat.



[1] Poling Adalah kata lain dari absen yang digunakan oleh para pekerja ladang

[2] Konto-Konto sejenis bala-bala namun campuran didalamnnya biasannya daun pakis

Thursday, December 17, 2020

Teman Baru #CerpenCLCTerusan2


Tahun ini agenda keluarga pulang kampong, ah…untuk membayangkannya saja sudah mual sebenarnnya ini adalah perjalanan kali kedua dalam hidupku setelah 5 tahun lamannya, perjalanan yang menguras tenaga.

Aku masih ingat jelas umurku ketika itu baru genap 12 tahun perjalanan pertamaku menuju Malaysia setamat Sekolah Dasar orangtuaku mengajak untuk ikut dengan alasan khawatir jika aku harus ditinggal jauh dari mereka terlebih pergaulan di kampong yang tidak karuan, seperti balap-balapan motor dan Narkoba ibu memilih mengajaku ke Malaysia.

Bayang-bayang perjalanan yang panjang membuatku malas untuk mengingatnnya, terlebih harus bersembunyi kanan kiri agar perjalanan lancar dari pemeriksaan, sebentar lagi itu akan terulang kini urusannya lebih rumit aku sudah bukan lagi anak kecil tentunnya harus memiliki dokumen untuk keluar dari Malaysia sedangkan sampai saat ini aku belum memilikinya, bagaimana tidak walaupun usiaku sudah cukup untuk memiliki dokumen resmi tetapi karena perawakanku yang ceking kurus, membuat mandor tidak percaya jika aku telah berumur lebih dari lima belas. Jadi, wajar aku khawatir namun ibu meyakinkanku perjalanan ini akan baik-baik saja.

Mataku mulai lelah akhirnnya segera kusandarkan pada kasur yang tak seberapa tebal hingga menunggu mobil jemputan tiba. Pada bagian rumah lainnya orangtuaku masih menerima tamu dan bapak masih sibuk mengikat barang-barang yang bertumpuk, barang-barang itu pemberian para tetangga yang harus kami bawa ada minyak, gula, dan bahan pokok lainnya. Aku mulai tidak perduli karena tubuhku meminta istirahat.

“Yus,yus, bangun ayo cepat, mobil jemputan sudah datang!” tanganku mengucek mata yang masih terasa berat, ini jam berapa pikirku setahuku baru beberapa menit saja aku menutup mata, jam dinding masih menunjukan pukul 12.00 malam dimulai dari sini aku tidak dapat berleha-leha.

 Tidak pikir panjang aku segera meraih beberapa barang-barang untuk dimasukan ke dalam mobil membantu bapak. Waktu yang kami miliki untuk membereskan barang hanya lima belas menit tidak boleh lebih, karena setiap menitnnya telah diperhitungkan agar sampai dermaga tepat waktu, tidak ada sedikitpun terlintas untuk menikmati perjalanan, aku memilih kursi paling belakang agar tidurku tidak terganggu karena perjalan masih jauh. Dari jendela mobil yang terlihat hanya gelap serta sesekali kilatan cahaya dari arah berlawanan.

Setibannya di dermaga aku mengikuti perintah sopir untuk segera memindahkan barang-barang tubuhku masih limbung akibat perjalanan yang jauh, tapi itu tidak dapat kutunda karena perahu telah menunggu. Menembus batas negara.

Perjalanan ini yang paling panjang dua hari tiga malam di atas perahu sudah seperti rumah sendiri sesekali aku pergi ke tepian kapal untuk melihat lautan luas. Dalam kapal manusia berjubel berhimpitan dengan barang-barang belum lagi pemandangan mabuk laut yang juga ikut mengguncang perutku. Malamnya aku sangat senang karena akan melihat bintang yang banyak diangkasa, merasakan betapa kecilnnya aku di dunia ini hingga mataku mulai lelah dan tertidur. Angin laut berhembus perlahan membangunkanku dan memaksa melipat tubuhku sedemikian rupa agar semakin hangat.

Matahari pagi telah terlihat, begitupun dengan dermaga tempat perahu bersandar bahagiaku tidak terbendung lagi hanya menghitung jam aku akan sampai ke kampung halaman. Dengan gesit ibu segera mencari kendaraan dan ayah menurunkan barang-barang. Terlihat deretan bus yang berbaris rapih.

“bu…bu, bus mana yang akan kita naiki,” aku masih bingung kerana satahuku lima tahun lalu bus di sini tidak sebanyak ini.

“yang itu Yus!” tangan ibu menunjuk kearah bus besar berwana merah.

Setelah memastikan semua barangku masuk ke dalam bus, mataku menatap jendela bus yang berjajar dari luar terlihat begitu penuh, wah, sepertinnya harus berdiri, sudah lelah berhari-hari perjalanan harus berdiri. Untuk memastikan semua itu aku segera naik ternyata hampir semua kursi terisi untungnya ibu telah lebih awal naik setidaknya ada satu kursi yang kosong, tapi apa tega aku membirkan bapak berdiri mukannya terlihat begitu lelah tidak kalah lelahnnya denganku sudahlah biar kursi itu untuk bapak saja. Mataku terus celingkukan kiri kanan ada terselip satu kursi kosong dibagian belakang.

“bu!yus, duduk dibelakang ya, biar bapak yang di sini,” sambil menunggu penumpang lain meroko di bawah  aku berjalan menuju ke belakang.

Dideretan itu sudah ada seorang pemuda aku kira usiannya tidak jauh beda dengan ku,

“hai boleh duduk di sini?” sapaku untuk memastikan kalau kursi itu memang tidak ada yang menduduki.

“O,tentu saja boleh!” jawabnnya ramah tanpa ragu aku segera duduk disamping jendela sambil menikmati pemandangan manusia yang sedang hilir mudik.

Setelah lelah seharian akhirnnya aku dapat duduk dan bersantai, sambil membuka ponsel untuk sekedar update status dimedsos. Raung mesin bus mulai terdengar, pak sopir mulai menekan klakson tanda bus sudah siap jalan, dengan segera para penumpang yang berada di bawah tadi mematikan rokoknnya untuk kemudian bergegas naik kedalam bus.

Mataku masih menikmati ponsel, namun setelah bus berjalan serasa otaku ada yang aneh mataku tidak dapat dengan fokus menatap layar ponsel akhirnnya aku memutuskan untuk menyimpan dalam saku celana.

“Hai, siapa namamu?” aku terperanjat pemuda tadi menyapaku mungkin ia pikir bosan jika harus berdiam diaman,

“hai, Namaku Yusril, kamu?” aku coba mengimbangi pertanyaannya tadi agar percakapan terus berjalan habis bosan juga jika hanya melihat ke jendela yang ada nanti perutku mual.

“Namaku Wandi, kamu  mau kemana atau dari mana?”

“aku baru saja datang dari Malaysia kamu Wan, emh, baiknnya aku memanggilmu Wan, atau di?”

Hahaha, apa saja boleh asal masih Wandi artinnya, Wah, Malaysia asik lah, pasti habis berlibur? aku baru saja dari rumah paman, mau pulang sebentar lagikan masuk sekolah.”

Aku menjawab dengan senyum tipis ada rasa iri ketika mendengar kata sekolah, aku sudah lupa bagaimana asiknnya sekolah karena hari-hariku kuhabiskan di tengah-tengah blok kelapa sawit.

he,tidak aku bukan liburan, ibu dan bapak kerja disana jadi aku ikut dengan mereka,”

“O, lantas di sana kamu sekolah?” tanya Wandi padaku,

“tidak aku membantu ibu dan ayah bekerja, dulu sempat sekolah di Sekolah Dasar tapi itu sudah lama sekali,” sebenarnnya Wandi tak perlu tahu sekolah atau tidak bisa saja aku bilang aku sekolah namun lidahku tidak menjawabnnya seperti itu. Entah kenapa.

Jawaban tadi membuatku malu memang seharusnnya diusiaku sekarang aku masih sekolah tapi apa boleh buat keluargaku memilih lain. Sempat terpikir ingin sekolah tapi bagaimana dengan bapak dan ibu disana nanti mereka sudah tua membutuhkan tenagaku, apa boleh buat aku kubur dalam dalam keinginan itu.

Wah, sayangnnya tapi tak apa, semoga nanti kamu bisa lanjut sekolah.”

Wandi mencoba menenangkan perasaan ku. Setelah wandi berkata seperti itu ada rasa ingin tahu yang kuat tentang sekolah. Tiba-tiba kami sama-sama diam sepertinnya Wandi sedang mensyukuri hidupnnya, ia masih beruntung bisa sekolah. Aku tidak pernah kecil hati.

“Akupun Ingin sekolah sepertimu Wan, di mana kamu sekolah sekarang wan?” pertanyaanku memancing agar Wandi menceritakan mengenai sekolah walaupun hanya cerita dari orang yang baru ku kenal tapi mendengarnnya saja aku sudah sangat senang, Wandi mulai menceritakannya. Segera kupasang telinga betul-betul untuk mendengarkan wandi bercerita, ia mengawali cerita ketika asiknnya belajar matematika, juga percobaan-percoban yang dibuat pada pelajaran IPA, selanjutnnya taman-teman dekatnnya juga kegiatan ekstrakulikuler yang ia sukai.

Tidak terasa perjalanan makasar bulukumba yang begitu singkat, sudah banyak yang ku dengar dari Wandi mengenai sekolah aku rasa itu sudah cukup. Wandi mulai merapihkan barang barangnnya,

 “sebentar lagi aku turun, nanti kita sambung lagi percakapan kita, boleh aku meminta no hp mu?” aku sangat senang bertemu dengan Wandi. Tidak lupa akupun meminta alamat media sosial yang dapat ku hubungi. Semenjak itu kami memulai pertemanan.

Lambaian tangannya mengakhiri pertemuan kami, semakin jauh Wandi semakin kecil dan menghilang dari pandanganku. Laju bus semakin cepat liukan demi liukan membuat perut semakin mual aku coba menenangkan diriku dengan bersandar pada jendela mobil sambil sesekali menikmati angin sepoy-sepoy dari luar. Tidak lama tujuanku telah sampai gumam hatiku, aku masih melamun membayangkan bagaimana sekolah tapi untuk saat ini biarlah itu menguap bersama asap kendaraan.

****

Matahari tepat di atas ubun-ubunku itu pertanda karjaku hari ini selesai, aku segera pulang untuk mengisi perut membersihkan tubuh dari keringat, setelah itu, membentangkan sajadah untuk berdoa seperti biasannya. Sambil mencari buku yang akan ku bawa pergi sekolah, aku teringat kawanku satu tahun lalu Wandi, apa kabar dia. Sudah satu tahun berlalu nomor ponsel yang kupunya mungkin sudah tidak lagi aktif.

Ponsel yang sedari tadi aku pegang terus ku putar-putar sambil berpikir bagaimana menghubungi Wandi teringat aku pernah bertukar pertemanan di Facebook kursor segera ku arahkan pada mode pencarian untuk mencari namannya, akhirnya! Selanjutnnya ku kirim pesan singkat untuk sekedar bertannya kabar, tak lama Wandi membalas pesanku.

“Kabarku baik bagaimana denganmu,senangnnya aku mendapat pesan dari kawan di Malaysia,” jawab Wandi.

Kami bercerita panjang mengenai sekolah saat ini Wandi sedang mempersiapkan untuk ujian Nasional, aku tidak mau kalah jariku terus menekan huruf-huruf yang berada di layar ponsel, menceritakan tentang pengalamanku pertamakali sekolah dan kegiatanku di Jambore Anak Indonesia Malaysia yang baru saja ku ikuti, Wandi sangat terkejut mengetahui aku sekolah. Ia pikir aku sekolah di sekolah Malaysia. Namun setelah kujelaskan ia baru paham mengenai sekolahku. Pasti ia ikut senang mendengarnya, sebagai teman baik Wandi selalu memberiku semangat kami berdua membuat janji sebagai dua orang teman jauh, suatu hari nanti ketika kami berjumpa kembali kami akan bercerita tentang kesuksesan yang kami perjuangkan.

Jaman semakin maju media penghubung antara satu daerah dengan daerah lain sudah terasa tidak ada batasan lagi setiap orang dapat menghubungi siapa saja yang mereka mau, walaupun tidak semua orang yang kita kenal adalah orang yang pernah bertemu dengan kita, kita tetap memanggil mereka dengan sebutan teman. Hal itu tidak untuk Wandi walaupun saat ini kami hanya dapat menikmati pertemanan melalui layar ponsel tapi kami pernah berjumpa dan akan selalu berjanji untuk berjumpa sekedar melepas rindu saat aku pulang nanti. Aku tersenyum membayangkannya serasa masa depan tidak jauh lagi.

Seperti kuceritakan tadi pada Wandi kini di tempatku mencari rezeki, Malaysia ada sekolah untuk anak-anak seperti kami aku sangat beruntung menjadi bagian dari sekolah tersebut. Jam dinding telah menunjukan pukul 03.00 sore aku segera bergegas menuju sekolah, yang berada dibalik bukit. Kemarin aku mendengar kabar dari Tuan[1] hari ini ada guru baru yang datang untuk mengajari kami, semangatku berkali-kali lipat sandal segera kusambar untuk memudahkan langkah ku menuju sekolah, buku yang hanya satu itu kulipat dan kutenggerkan pada saku celana belakang. Hidup adalah teka teki yang terus berlanjut aku tidak pernah tahu kapan kesuksesan menghampiriku tapi selama ada jalan untuk berusaha aku selalu ada disitu.



[1] Tuan adalah panggilan para pekerja untuk Manager di Setiap Ladang Malaysia

Tuesday, December 15, 2020

Kisah yang Terpisah #CerpenCLCTerusan2

 

Kedai Nur Cahaya

Sore itu. Sepulang sekolah di CLC Terusan 1, aku mengendarai motor kesayanganku untuk pulang kerumah. Tak jauh memang, tapi cukup melelahkan kalau ditempuh dengan jalan kaki. Kondisi Ladang yang panas tak membuatku menyerah untuk belajar. Iya, namaku Adam, yang mengikuti orang tua merantau ke Negara Malaysia. Untung pemerintah Indonesia menyediakan sekolah gratis bagi kami anak-anak yang memang membutuhkan asupan pendidikan. Disamping belajar disore hari, aku bekerja ketika pagi. Umurku yang hampir menginjak 20 tahun tak menyurutkanku untuk mendapatkan ijazah setara Paket B.

“Dam, ikutlah aku pulang.” Suara Ijal yang mengagetkanku dari belakang.

“Ayuk, naiklah cepat.” Kataku menyambut permintaan temanku yang satu ini. Ijal memang teman akrabku, dia juga bernasib sama denganku, sebagai anak perantau dinegeri orang. Kami mengendarai motor pelan. Lumayan tak panas memang, karena matahari menurunkan panasnya dengan lembut. Tak ganas seperti ketika siang hari.

Sesampainya didepan rumah Ijal, dia turun dengan pelan. “Makasih, Dam.” Dia mengucapkan dengan keras sampingku. “Oke, Sampai ketemu besok, Jal”. Sambil kami berbalas sapa dengan tangan. Aku lanjutkan laju motor itu. Tak lama sampai juga dirumah.

Tak lama aku rebahkan badan ini. Bukan dikasur empuk, hanya sebuah kursi sederhana yang terbuat dari kayu diruang tamu. Seperti biasa, Aku buka smarthoneku, aku lihat-lihat media social yang ada dismartphone ku. Saat itu aku buka Facebook, diberanda ku mainkan jari-jemariku, aku geser jari Jempolku kekanan dan kekiri. Tak sadar perhatiannku tertuju kesudut kiri atas. Ada sosok perempuan, nama FB nya Erna Setiani. Penasaranku tumbuh. Seolah ingin mengenalnya.

“Ah, ku Add saja FB nya”, ucapku dalam hati.

Ku pencet tombol Add. Setelah itu, aku tak berharap banyak dia menerima permintaan pertemananku itu. Sambil terus melihat kebawah, kalau-kalau ada curahan hati teman yang kadang lebay-lebay atau hanya melihat berita-berita yang bersliweran di beranda FB-ku. Tiba-tiba, ada satu pemberitahuan muncul.

 Aku buka pemberitahuan itu. Tertulis “Erna Setiani menerima permintaan teman”.

Langusng saja aku buka FB nya. Tiba-tiba detak jantung ini berdetak kencang. Aliran darahku mengalir duakali lipat seperti biasanya. Tak tahu kenapa.

 Batinku berperang. Ingin rasanya berkenalan dengan dia. Namun aku bingung bagaimana harus memulai. Sempat keinginan ini tertahan, tapi penasaran berhasil merobohkan semuanya. Aku beranikan diri. Mencoba menchat dia.

“Hai, Assalamualaikum.”

            Mungkin kata-kata itu pantas untuk memulai sebuah percakapan. Tapi aku tak terlalu mengharapkan balasanya. Toh aku juga tak tau siapa dia. Aku tutup percakapan itu. Beralih kehalaman baru.

            “Hai juga, Waalaikumsalam.” Tiba-tiba sebuah bunyi singkat terdengar di HP ku. Bentuk bulatan dilengkapi fotonya muncul di pojokan HP ku. Detak jantungku bertambah kencang. Tak kusangka dia membalas Chat ku. Bingung menyelimuti diri. Aku tak tahu harus melanjutkan apa lagi. Otakku berputar, merangkai kata untuk membalas chat itu.

            “Boleh kenalan tidak?” mungkin itu kata yang pantas. Menurutku. Tapi tak tahu lah, yang terpenting aku harus secepatnya membalas chat itu. Setidaknya jangan sampai dia menunggu terlalu lama. Dan ternyata ku lihat namanya di FB ada tulisan kalau dia sedang mengetik, jelas balasanku inginya dia meng-iyakan ajakanku berkenalan.

            “Boleh.” Akhrnya muncul juga balasanya.

            “Namaku Mohammad Adam, biasa dipanggil Adam. Namamu Siapa?”

            “Namaku Erna Setiani.”

            “Kamu tinggal dimana?” Aku mencoba meneruskan obrolanku, supaya obrolanku dengannya tak berhenti disini.

            “Aku tinggal di Malaysia”.

            “Berarti sama denganku, aku juga tinggal di Malaysia.” Obrolan ini semakin lama semakin dalam. Meskipun hanya berbalas singkat, tapi setidaknya dia memberikan respon untukku. Itu cukup bagiku. Obrolan itu berlansung hingga malam tak menampakan lagi keramainnya. Kami bercakap-cakap tentang diri kita masing-masing. Seolah kami sangat akrab, dan kenal suadah sangat lama. Hingga dia mengakhiri Chat kami karena ingin tidur.

***

            Sejak saat itu, kami semakin dekat. Dekat. Seolah kami sudah kenal lama sekali. Sehari tak mendapat Chat darinya, seakan dunia tak akan tersinari Matahari. Kedekatan ini membuat aku kecanduan, mungkin bisa membuatku kehilangan tarikan nafasku bila tak bisa mendengar kabarnya setiap hari.

            Aku pun heran. Belum pernah sekalipun melihatnya, apalagi bertatapan mata denganya. Tapi kedekatan hati ini membuatku yakin, bahwa hati ini memilihnya untuk membuka pintu hatiku dan menetap dalam rumah jatung hatiku. Daripada hati ini semakin mendapatkan siksaan yang menyiksa, aku beranikan diri untuk mengajaknya bertemu. Dia memang bertempat tinggal tak jauh dari rumahku. Kami akhirnya bersepakat bertemu di suatu tempat.

            “Iya boleh, ketemuan dimana?” Itualah jawaban darinya ketika aku ajak bertemu.

            “Mau ketemuan di Simpang Sapi ya?”

            “Oke.”

            Hati ini berbunga-bunga seperti mekarnya setelah musim kemarau panjang. Kami janjian disuatu tempat. Janjian itu disepakat. Biarlah saya yang mendatangainya. Setidaknya biar dia tidak terlalu jauh pergi dari rumahnya.

            Kami sepakat untuk bertemu hari Minggu. Hari dimana aku libur kerja dan libur sekolah. Aku siapkan baju khusus. Bak orang mau bertempur dengan baju perangnya, aku siapkan perlengkapan tempur juga. Seperti parfum, baju terbaikku. Aku mantapkan laju motorku, kencang. Maklumlah, jalan disini memang harus kencang. Selain jalannya yang mulus, jalannya juga tak terlalu banyak kendaraan.

            Sesampainya dilokkasi yang kami sepakati. Aku menunggu dengan perasaan tak karuan. Entang perasaan apa ini. Grogi, nerfes. Ah apalah namanya, yang jelas jantung ini berdebar kencang.          

Aku hubungi dia lewat telepon, “Hallo, Erna dimana?”

“Disebelah penjual Pisang Goreng.” Ah, semakin tak menentu saja isi dari hati ini. Detak jantungku begitu kencang. Ku palingkan kepala kearah Penjual Gorengan Pisang. Ada seseorang, berpakain merah. Iya, ku rasa dia orangnya. Paras cantik menambah semaraknya baju merah itu. Aku dekati.

***

Sejak saat pertemuan itu. Hati ini tak henti-hentinya dipenuhi dengan bunga-bunga kehidupan. Nampaknya dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Seolah kami sudah saling mencintai meski tak resmi dengan kata-kata. Seolah hubungan ini mengalir seperti air. Kebiasaan Chat juga masih kami lakukan. Tak pernah terlewatkan.

Hingga tiba hari dimana dia Chat yang agak aneh. Entah apa maksudnya.

“Sebenarnya Abang, anggap Erna sebagai apa? Adik ataukah Pacar?” Aku sedikit kaget melihat Chat aneh ini. Langusng aku menjawab.

“Yang jelas bukan adik, bukan pula pacar?” Jawabku.

“Terus Abang anggap Erna apa?”

“Bukan Pacar lagi, tapi Abang ingin hubungan kita melebihi pacar. Abang ingin menjadi suami buat kamu Erna.”

“Hibur Erna, Bang.”

“Ada apa dengan Adik?”

“Hibur Erna, Bang. Hibur.”

Jawabanya membuatku tak tenang. Langung saja aku hubungi dia lewat telephone langsung.

“Adik kenapa?”

Langusng terdengar suara tangisan. Ternyata Erna sedang menangis tersedu-sedu. Perasaan ini bertambah tak tenang. Bertanya-tanya. Pikiran ini sudah melayang, menebak-nebak apa yang sedang terjadi dengannya. Kekhawatiran itu muncul, apalagi mendengar isak tangisnya yang semakin kencang. Ingin cepat-cepat rasanya mendenarkan jawabanya. Apa yang menyebabkannya sampai menangis.

“Adik dilamar orang di kampong.” Dia menjawab pertanyaanku, sambil terus terbata-bata mengucapkannya, karena masih menangis.

Perasaanku hancur. Seolah ada meteor mengantamku dengan kencang. Entah kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Sakit. Sakit sekali. Kalau aku perempuan, sudah ku tumpahkan segala air mata yang masih tertahan dipelupuk mata ini.

“Terus kamu bagaimana?” Sambil memastikan jawabanya.

Pertanyaanku justru membuat tangisannya menjadi-jadi. Isak tangisnya semakin keras. Tanpa mengharapkan jawabanya, aku mencoba menenangkannya.

“Erna, coba Sholat Istikharoh. Aku tidak ingin melihat Erna menangis. Semoga keputusan yang nanti kamu ambil akan jadi jalan terbaik buat kamu.” Itulah kata-kata terakhirku, sebelum percakapan kami akhiri.

Gelap. Seolah taka da hari esok. Sakit hati ini.

“Tapi aku harus kuat. Tak boleh lihat kesedihanku kepada siapapun juga.” Itulah kata yang menguatkan diriku sendiri.

Setelah itu, kami jadi jarang berkomunikasi. Aku tak tahu kabarnya dia. Karena memang dari tradisi kami, ketika orang tua dijodohkan, kami harus menuruti keinginan orang tua ssebagai bentuk bakti kami pada mereka.

1 bulan sudah berlalu sejak perisiwa itu. Hingga ada telephone dating dari HP ku, aku lihat ada nama Erna yang memanggilnya. Aku setengah bahagia. Langsung ku angkat telephone itu.

“Hallo, Assalaualaikum.”

“Walikum salam, bagaimana kabar abang?”

“Alhamulilah sehat. Kamu bagaimana?”

“Sehat juga. Tapi juga sedih.”

“Kenapa sedih?”

“Adik sedih karena terharu bisa dengar suara Abang lagi. Walaupun kita tak bisa jumpa lagi. Aku akan menuruti permintaan orang tua, Bang.”

“Kalau begitu, jangan bersedih. Kamu harus bahagia. Kita akan menjadi sahabat baik walaupun kita tak akan bertemu lagi”

Kali ini airmata ini tak bisa terbendung. Ada sedikit aliran air dipipiku. Tapi tak akan ku biarkan. Harus ku usir segera. Aku tak mau terlihat lemah dimata Erna.

“Terimakasih, Abang sudah menghiburku.”

“Abang doakan, semoga Erna bahagia bersama jodoh disana. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warakhmah.”

“Amin. Semoga Abang bahagia bersama orang-orang yang tersayang. Terimakasih untuk semuanya. Assalamualaikum.” Kami mengakhiri telephone itu dengan balas salamku.

Sejak percakapan terakhirku dengan Erna. Aku bertekad akan memulai hidup baru bersama keluarga tercinta dan teman, seperti Ijal. Teman baikku.

“Dam, ayolah main.” Tiba-tiba suara Ijal terdengar dari luar. Iya ku akan memulai hiup baru. Tanpa perassaan dendam, tanpa sakit hati, aku hanya ingin bahagia. Bahagia dengan kehidupanku, bersama teman-teman disekolah. Aku yakin, suatu saat nanti, akan datang hikmah dan anugerah yang diberikan Tuhan dihati, untuk mengganti kesedihan ini. Untuk saat ini, aku hanya ingin melanjutkan dan menyelesaikan sekolahku. Itu saja.[]

*Kisah diambil dari tokoh utama

 

Saturday, March 2, 2019

Sawit Pahit [Sebuah Puisi Esai]

Sawit
/1/

Rapuh tatapan tajam ke Sawitan itu,
tak lagi rindang, enam tahun yang lalu.
Jejak langkah akan meninggalkannya,
menjadi serpihan masa lalu.

Sebelum langkah menjejak arah itu, hatinya menjerit;
mendiamkan ramai riuh kenangan.
Dibukanya pintu rumah: hitam pelataran Terusan,
menjadi taman bermain sejak pertama berjalan.

Teringat hari sebelum hari ini
Ketika tangisan ramai setiap hari
Seperti raungan mesin Beggo dipelataran rumah
Mengaum seperti raja hutan menakuti musuh

Sebut saja namanya Fitri, Nurul Safitri binti Salimi–
kesucian hidup artinya.
Nama indah yang berjejar rapi
Menadakan khas nama Malaysia.

Waktu itu dia lahir di Malaysia-
Lahad Datu tepatnya.
Negeri hamparan Sawit di Bawah Bayu
Sabah yang ramah.

Ia pindah, berkali-kali.
Mengikuti langkah arah ibunya, Salimi.
Semua berubah berbeda
Setelah peristiwa invasi dari Abu Sayaf

Apa arti kebangsaan bagiku?
Lirih hatinya menanyakan pada dirinya
Jutaan orang meninggalkan negaranya
Untuk mencari Ringgit di belantara Sawit

/2/
Ibunya, dari negeri Zamrud Khatulistiwa
Ayahnya, orang tempatan Malaysia
Mereka terikat dalam ikatan manusia
Mengagungkan nilai-nilai cinta

Mengharpkan hidup bahagia
Ditengah hamparan sawit,
Kampung Tanduo tepatnya,
30 km dari Lahad Datu

Hingga hari itu datang,
Menyeruak digelapnya malam
Hukum ditelantarkan, segerombol orang datang
Ratusan jumlahnya,
Yang terdengar hanya ketakutan

Seranggan Pengganas Penceroboh Sulu
Suara Takhta Sulu menggema
Menuntut warisan Sultan Brunei
Itu miliku, itu hakku

Langit menghitam oleh letusan peluru
Dari dalam rumah-rumah
Semua terperanga, tak ada yang merasa terjaga
Melindungi diri sendiri dari kemelut

Ada yang memilih menyelamatkan diri
Dari para pengganas yang ganas
Yang siap merampas dan menerkam
Yang siap membunuh orang melawan

Operasi Daulat di daulatkan
Untuk menjinakan pengganas
Di Kampung Tanduo dan Tanjung Batu
Juga di bagian Sabah lainnya

Banyak korban bergelimangan
Menggelepar-gelepar
Memerah banjir darah
Termasuk ayahnya, Abdul Kardir.

/3/
Safitri bersema ibunya mengungsi
Felda Sahabat mnawarkan persinggahan
Bersama sejumlah warga tempatan dan imigran
Memikirkan masa depan, dimana untuk hari kedepan?

Hari-hari setelahnya setelah Hari Berdarah
Safitiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi
Ingatan dan tubuhnya belum mampu
Ibunya membawanya pergi dari kenangan

Sempat pindah ke Sekar Imej
Yang jauh dari keramaian
Sempat ke Andamy
Yang menawarkan kedekatan
Hingga pelabuhan berakhir di Terusan

Hari beganti menaati kodrat ilahi
Ia tumbuh menjadi gadis Sawit
Berkenalan dengan sambutan
Sudut-sudut tak berujung blok-blok

Ketika umur terus menambah
Fitri tak bisa membaca menulis
Celaka, sungguh celaka
Apa yang Negara perbuat padaku?